Chereads / The Rosemary / Chapter 25 - Chapter 23: Ngl, it fits you. (Part 1)

Chapter 25 - Chapter 23: Ngl, it fits you. (Part 1)

Sebelum masuk ke 'dunia lain'…

Sifari, Barqi, Alan, Solari, dan Erik sedang bersantai di ruang rekreasi Asrama Putra. Sifari sedang membaca buku, dengan Rota duduk di pangkuannya. Barqi membersihkan pedangnya dengan sehelai kain. Solari sedang mencoret-coret bukunya. Alan juga membaca buku, sementara Erik tiduran di sofa dengan kepalanya hampir menyentuh lantai.

"Jadi, bagaimana caranya untuk membangkitkan Familiar?" sahut Alan tiba-tiba.

"Kenapa kau tiba-tiba nanya itu?" tanya Erik.

"Yah, kukira seru saja kalau bisa punya kawan bertarung, seperti Kapten dan kucingnya," jawab Alan. "Jadinya pertarungan lebih mudah."

Rota mengaum kecil ke arah Alan.

"Sudah kubilang dia tidak suka disebut kucing," ucap Sifari. "Dia ini anak singa tau."

"Ya, ya. Jadi, bagaimana caranya?" tanya Alan.

Sifari menutup bukunya. "Pertama-tama, kegunaan Familiar bukan hanya untuk bertarung saja," jawabnya, "masih banyak kegunaan lainnya. Kau harus lihat bagaimana Toni, Sandi, dan Bang David menggunakan Familiar mereka. Ada yang menggunakannya untuk mobilitas, pengintaian, atau pun mengevakuasi orang dari zona berbahaya."

"Heeehhh… banyak juga kegunaannya…" gumam Erik.

"Daripada melihat Familiar sebagai 'makhluk lain yang keluar dari kekuatanku'," lanjut Sifari, "lihatlah mereka sebagai perpanjangan tanganmu, sebagai bagian dari dirimu."

"Jadi apapun yang kita tidak bisa lakukan saat itu, kita bisa gunakan Familiar kita, begitu, Kapten?" tanya Barqi.

"Yah, kurang lebih," jawab Sifari. "Daripada itu, ngomong-ngomong, Alan, kau harus menghilangkan kebiasaan jelekmu itu."

"Ng? Kebiasaan apa?" tanya Alan sambil menggaruk kepalanya.

"Kebiasaanmu yang suka bertarung tanpa berpikir!" seru Sifari. "Dan aku bukan berbicara tentang teknik, tapi pengambilan keputusan, decision-making."

Sifari memandang ke langit-langit, "Tapi, aneh, lho."

"Hm? Apanya?" tanya Barqi.

"Dulu kata Pak Athlas, keputusan yang baik diambil dari pengalaman…" gumam Sifari. "Dan pengalaman bisa dimiliki karena keputusan yang buruk."

"Kedengaran seperti kutipan mainstream dari Internet," celetuk Solari. "Ngomong-ngomong, Pak Athlas siapa?"

"Ah, beliau dulu guru Sejarah di sini," jawab Barqi. "Cuman, beliau pindah ke Malaysia bulan Juni kemarin."

Alan langsung berseri-seri, "Aku sering bikin kesalahan, berarti aku dalam proses ke sana, kan?"

"Wah, bahaya, Kapten, sepertinya Alan akan bikin lebih banyak kesalahan lagi," kata Erik dengan sinis.

Solari menutup buku gambarnya, "Berbuat kesalahan bukan satu-satunya cara agar kita mengetahui hal itu. Biar kutanya kepadamu, apakah kau harus membunuh orang dulu baru tahu kalau itu salah?"

"Y-ya, ng-nggak, sih," jawab Alan dengan gugup.

"Nah, seperti itu," ucap Solari. "Akal itu belum sempurna kalau hanya digunakan untuk membedakan yang baik dan buruk saja, tapi lupa untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Makanya, pakai akalmu."

"Sa-savage..." kata Barqi

"Yah, memang itu yang dijelaskan soal akal oleh Pak Bayu di kelas kita kemarin," kata Sifari. "Ternyata kau ingat, kukira kau hanya tidur waktu di kelas, Solari."

"Aku bangun dan catat, kok, waktu Pak Bayu jelasin itu," kata Solari sambil tersipu.

"Yah, begini saja, yang penting bagi kita adalah harus tahu mana pertarungan yang bisa kita bisa menangkan dan mana yang tidak," papar Sifari. "Jika pertarungan itu sangat tidak mungkin untuk dimenangkan, maka sebaiknya jauhi saja. Kecuali…"

"Kecuali?"

"…"

***

"Haaahhh… akhirnya bisa makan juga," ucap Solari. "Makanannya enak, lho, ngomong-ngomong."

"Ahahah, kami senang kalau kau senang," jawab Pak Roger dengan tersenyum lebar.

"Memang, sih, enak," kata Erik, "tapi, apa kau memang selapar ini, Kak Solari?"

Erik hanya bisa termanggu jumlah piring kosong yang ada di dekat Solari. Jumlahnya mungkin cukup untuk lima orang. Dan semua itu, masih ia lakukan dengan jubah dan tudung yang menutupi kepalanya. Jadi, sebenarnya, baik Erik, Pak Roger, maupun Lyra benar-benar tidak dapat memastikan ekspresi wajah Solari. Apakah ia sedang menikmati makanannya? Ataukah ia biasa saja? Erik menatap piringnya sekilas. Karena masih banyak makanan yang tersisa, ia pun menaruh dengan enggan piringnya.

"Melihat Kak Solari makan banyak, aku juga merasa kenyang," kata Erik.

"Oh, kalau kau nggak mau, buatku saja," ucap Solari.

Erik pun memberikan piringnya kepada Solari. Segera setelah menerima piring Erik, Solari langsung makan dengan lahap. Erik hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelakuan kakak kelasnya sekarang ini. Sangat berbeda dengan perilaku biasanya yang lebih kalem. Dalam sekejap, sisa makanan Erik dilahap habis oleh Solari. Ia menaruh piringnya bersama tumpukan piring yang lain.

"Biar aku yang membereskan piring-piring ini," ucap Erik.

Erik mengumpulkan semua piring kotor yang ada di meja dan membawanya. Ia berjalan dengan sangat hati-hati. Kadang ia memiringkan tubuhnya ke kiri dan kanan, untuk menyeimbangkan dirinya. Supaya piring yang ia bawa tidak terjatuh.

Tiba-tiba, sesuatu menyenggol Erik. Tubuhnya tergoyang sedikit. Untungnya, ia masih bisa untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.

"Kalo jalan liat-liat dong!" seru sebuah suara pemuda.

Pemuda itu tinggi semampai. Rambutnya pirang muda panjang seleher. Mata birunya tajam seperti kucing. Di atas kepalanya terdapat telinga kucing yang berwarna sama dengan rambutnya. Ia memberikan tatapan yang sinis kepada Erik.

"Hmph, dasar monyet!" umpatnya.

"Emangnya kenapa, sih?! Rese banget!" balas Erik.

"Keberadaanmu di sini menganggu, tahu!"

"Kata siapa?! Dari kemarin aku bekerja terus, tahu!" bela Erik. "Justru kau yang dari kemarin kerjaaannya hanya ngalor-ngidul nggak jelas! Bantuin nggak, ngomel-ngomel doang."

Pemuda pirang itu terkejut, ia hanya bisa menggertakkan giginya. Ia mendengus keras, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Erik.

"Orang yang tak sopan, ya," celetuk seseorang.

Erik menoleh, ternyata Solari yang bertudung. Meskipun wajahnya tertutup, tapi mata birunya masih terlihat dengan jelas.

"Dia itu siapa, sih?" tanya Solari.

"Itu Daniel, anaknya Pak Roger," jawab Erik. "Memang begitu kelakuannya, nggak usah dipikirin."

"Kelihatannya dia benci sekali denganmu," ujar Solari, "memangnya kau pernah buat salah apa sama dia?"

"Nggak ada, tuh, seingatku," jawab Erik. "Dari awal emang begitu dia. Emang udah rese dari lahir kali. Tapi, bukan cuman aku aja, dia juga pernah berantem sama beberapa orang Hanoman lainnya, juga seorang Froggo."

"Oh, begitu?"

"Iya, tapi kalo di depan sesama Cait Sith atau Peri, baiknya bukan main," kata Erik. "Ia bahkan rela mengemis-ngemis perhatian kepada mereka. Dasar rasis!"

"Ternyata bukan cuman rasku saja, ya?" gumam Solari pelan.

"Hm? Apa katamu?" tanya Erik.

"Ah, tidak ada," sanggah Solari. "Ngomong-ngomong, itu piring gimana? Nggak berat apa?"

"A-ah, setelah kau bilang begitu, k-kok, malah jadi berat, ya?"

***

Kala malam telah larut, semua orang terlelap di Scummacio, kecuali para pemuda-pemudinya. Mereka masih terjaga di bawah cahaya rembulan. Edward, Rosie, James, Ronald, dan Donald duduk melingkar dengan sebuah lampu teplok di antara mereka sebagai satu-satunya sumber pencahayaan di kelamnya malam.

"Kayaknya ada yang aneh sama Cait Sith itu," celetuk Edward.

"Aneh? Aneh gimana?" tanya Rosie.

"Biar kutanya, kapan terakhir kali Nona Yura membawa seseorang sepulang dari pekerjaannya di kota?" tanya Edward kembali.

"E-eh, nggak pernah, sih,"

"Nggak pernah, kan," ucap Edward. "Dan coba ingat-ingat, apakah dia pernah menyebutkan punya teman?"

"Nggak juga."

"Berarti kemungkinannya cuman satu, si Cait Sith itu melakukan sesuatu kepada Nona."

"Ya, aku dengar Cait Sith itu punya kemampuan hipnotis," ucap Donald.

"Bayangkan apa yang bisa dilakukan olehnya jika sudah mengendalikan Nona Yura," kata Edward, "dia bisa membawa Nona Yura pergi dari sini, atau lebih buruk lagi, menggunakan Nona Yura untuk memanfaatkan kita."

Mereka semua sedikit tersentak mendengar pernyataan Edward. Semua mengangguk-angguk, menerima kemungkinan dari pernyataan tersebut. Kecuali Rosie, ia menggeleng tidak percaya.

"Tidak mungkin, ah! Kamu ngawur, deh, Edward!" seru Rosie. "Mana mungkin gadis itu bisa melakukan hal licik semacam yang kamu sebutkan. Dia terlihat baik, kok."

"Tidak mungkin? Tidak mungkin?!" ucap Edward dengan nada tinggi. "Rosie, apakah kamu lupa bagaimana orang tua-orang tua kita tewas? Karena mereka ditipu oleh orang asing yang 'terlihat baik'. Karena menaruh kepercayaan kepada orang yang 'terlihat baik', orang tua kita harus merenggang nyawa. "

"La-lalu, bagaimana dengan Nona Yura? Dia juga orang asing yang terlihat baik, kan? tapi, kita percaya saja dengannya."

"ROSIE!" teriak James sambil menggebrak tanah, mengakibatkan mereka semua terkaget-kaget. "Berani-beraninya kau meragukan Nona Yura! Mungkin dia adalah orang asing, tapi dia telah menyelamatkan nyawa kita!"

James menatap Rosie dengan kesal, nafas terengah-engah dihembuskannya karena amarah sebelumnya. Rosie terkejut dengan bentakan yang dilampiaskan kepadanya, namun ia berusaha untuk tenang. Ronald dan Donald saling bertatap-tatapan, karena mereka juga terkejut dengan bentakan James. Edward hanya bisa menghela nafas dan membetulkan kacamatanya.

"James, tenanglah, nanti kau akan membangunkan yang lain," ujar Edward yang berusaha untuk menenangkan James. "Memang benar, Nona Yura adalah orang asing di antara kita. Tapi, segala kecurigaan dan keraguan kita akan Nona Yura telah terhapuskan karena jasanya menyelamatkan kita. Karena jasa itulah kita berhutang budi kepadanya, sekarang giliran kita untuk menyelamatkan dia."

"Oke, Edward, jadi apa rencanamu untuk menyelamatkan Nona Yura?" tanya Ronald.

"Mudah saja, besok pagi, kita usir si Cait Sith itu. Kita punya kekuatan massa yang besar," jawab Edward. "Dengan jumlah kita yang banyak, pasti kita bisa membuat dia pergi."

Ronald dan Donald mengangguk-angguk setuju, sementara Rosie terlihat gelisah dan kebingungan.

"Tidak, Edward, caramu itu terlalu lembek," celetuk James. "Kalau kita usir dia, bukankah dia bisa kembali lagi?"

"Hmmm… ya, memang benar kemungkinan itu bisa saja terjadi," jawab Edward. "Kalau begitu, apakah kau punya cara lain?"

"Ya, bagaimana kalau kita bakar dia?"

To be continued...