Chereads / The Rosemary / Chapter 22 - Chapter 20: Enter the New World

Chapter 22 - Chapter 20: Enter the New World

"Jadi, mendingan yang mana?" tanya Kirana kepadaku. "Pangeran Aryasastra atau Ki Bagas Hadikarya?"

Kirana menunjukkan dua buku kepadaku. Yang satu tebal, tapi terlihat baru. Sampulnya berupa hardcover dengan tulisan timbul berwarna kuning mencolok, 'Mawar Tanpa Duri: Riwayat Hidup dan Perjuangan Pangeran Aryasastra'. Kertasnya pun masih putih berkilau. Sementara, yang satu lagi tampak tipis, tapi terlihat tua. Tulisan 'Pikiran dalam Penjara: Renungan Ki Bagas Hadikarya' yang terpampang di sampul sudah terlihat pudar. Sampulnya sudah lecek dan kertas bukunya pun sudah menguning. Aku mengambil buku yang tipis dari tangan Kirana.

"Hmmm… kita bagi dua aja," jawabku, "aku ambil yang ini, kamu boleh ambil yang itu."

"Ya, boleh saja. Tapi, kok, kamu dapet yang tipis, aku dapet yang tebel?" tanya Kirana.

"A-ah, ng-nggak, kok. Nggak ada maksud tertentu. Cuman feeling aja," kataku.

"Ooohhh."

Duh, hampir aja ketahuan. Pikiran dia tajam juga. Tapi, meskipun aku dapat buku yang lebih tipis, belum tentu buku ini lebih mudah. Karena pakai bahasa lama, kan? Pasti bakalan sulit juga untuk memahaminya.

"Ya sudah, kalau begitu, kita laporkan ke pustakawan, yuk," ajak Kirana.

"Oke," kataku.

Kami pun beranjak dari rak-rak buku. Yang kami tuju adalah sang penjaga buku-buku ini. Pawang dari rak-rak yang berbaris ini. Sang Pustakawan, Pak Hadi. Dia sedang membaca sebuah buku sekilas, kemudian mengetikkan sesuatu di komputer, kemudian mengambil buku baru. Hal itu terulang secara terus menerus.

Kirana yang pertama menghampiri Pak Hadi, "Permisi, Pak, kami ingin meminjam buku."

"Oh, ya?" tanggap Pak Hadi. "Nama kalian siapa?"

"Kirana Cienna."

"Saya Sonia Kania."

Pak Hadi mengetikkan nama kami, kemudian bertanya kembali, "Apa judul buku yang kalian pinjam?"

Kirana meletakkan bukunya ke atas meja Pak Hadi, aku pun juga meletakkan bukuku. Pak Hadi melihat dengan saksama. Sambil menatap buku pinjaman kami, ia kembali mengetik di komputernya. Tak lama, tiba-tiba terdengar suara printer mencetak kertas. Pak Hadi menarik dua carik kertas dari printer tersebut. Kertas itu berbentuk seperti struk belanja. Kemudian, ia mengalirkan energinya ke kedua kertas tersebut, sehingga kertas itu seperti terbakar sesaat. Pak Hadi menempelkan kertas dengan selotip di dalam cover-nya. Pak Hadi mengembalikan buku-buku itu kepada kami.

"Yang ada di dalam buku itu adalah tanda peminjaman kalian, di sana tertera tanggal peminjaman dan pengembalian dari buku yang kalian pinjam," papar Pak Hadi.

Aku melirik kertas struk tersebut. Hei, benar juga. Di kertas ini tertulis tanggal peminjaman—yang mana adalah hari ini—dan tanggal pengembaliannya, yaitu minggu depan.

"Tapi, itu bukan tanda biasa," lanjut Pak Hadi. "Saya sudah mengalirkan kekuatan saya, Gembok dan Kunci, pada kertas-kertas itu. Jadi, apabila masa tenggatnya sudah berlalu, maka kekuatan saya akan aktif dan buku itu akan terkunci. Tidak akan bisa dibuka.

"Oh, ya, begitu juga kalau kalian melakukan pelanggaran lainnya terhadap buku ini. seperti merusak, mencoret-coret, dan lain sebagaiannya. Buku ini akan terkunci dengan otomatis."

Heeehhh!? Sampai segitunya? Ketat banget. Nggak nyangka kalau peminjaman di ASTRIS sebegini ketatnya. Aku dulu belum pernah minjem buku, sih, waktu ke sini dulu. Jadinya nggak tahu, deh. Pantesan Kak Adel pernah misuh-misuh soal perpustakaan. Terutama soal pustakawannya.

"Kalau kami tidak sengaja merusak bukunya bagaimana, Pak?" tanya Kirana. "Seperti ketumpahan minuman dan lain-lain?"

Kirana, kamu punya nyali juga untuk bertanya di tengah penjelasannya. Nyawa kamu ada sembilan apa? Kucing? Kalau aku, sih, nggak berani. Tapi, sebenarnya, mungkin itu yang ingin aku tanyakan.

"Ya, kalau masih bisa diperbaiki, maka saya minta agar kamu memperbaikinya," jawab Pak Hadi. "Kamu nanti datang dulu ke sini, supaya bisa saya buka gemboknya, baru kamu perbaiki."

"Baik, Pak. Saya mengerti," ucap Kirana.

"Dan menghilangkan buku berarti harus mengganti buku yang sama atau membayar denda seharga buku yang dihilangkan," kata Pak Hadi.

"Baik, Pak," kata aku dan Kirana bersamaan.

"Oke, silakan, kalian boleh membawa bukunya," kata Pak Hadi.

Aku dan Kirana pun beranjak dari meja Pak Hadi. Tapi, ketika kami hendak pergi ada sebuah suara pintu terbuka dari belakang kami. Aku pun menoleh. Begitu juga Kirana. Aku kaget, karena pintu yang terbuka adalah Seksi Terlarang. Seksi yang terlarang bagi siapapun juga. Hanya guru yang boleh memasuki area itu.

Namun, kekejutanku bertambah. Karena yang keluar dari area itu memakai seragam jas berwarna abu-abu. Tanda bahwa dia adalah murid tingkat SMA (mereka juga memakai seragam jas berwarna biru di hari lain). Berbeda dengan kami, murid tingkat SMP, yang memakai seragam jas hijau (atau warna merah di hari lain). Murid SMA itu adalah si landak berambut merah. Kaptenku. Kak Sifari. Dia membawa buku banyak sekali. Ada sekitar lima tumpuk.

Dengan santai, ia melewati Pak Hadi sambil berkata, "Pak, mohon maaf, ya, saya pinjam semua ini," katanya sambil menunjukkan buku-buku yang ia bawa.

"Oh, ya, tidak apa-apa, Sifari," sahut Pak Hadi. "Jangan lupa dikembalikan, ya."

Ia berjalan, sampai akhirnya berpapasan dengan kami.

"Hei, Sonia! Jangan lupa, ya, setelah makan siang kita kumpul," kata Kak Sifari kepadaku. "Kita perlu membahas misi kita yang selanjutnya."

Ia pun berlalu begitu saja, setelah menyampaikan pesan itu kepadaku. Aku pun terdiam. Memangnya harus ngapain lagi? Apalagi setelah ia lewat begitu saja di hadapan Pak Hadi. Tanpa ada rasa gugup karena meminjam buku.

"Sonia," sahut Kirana. "Kakak itu… dia kapten kelompokmu, ya?"

"Iya, memangnya kenapa?" tanyaku.

"Kekuatan dia apa, sih?" tanya Kirana balik. "Kok dia bisa melewati Pak Hadi begitu saja?"

"Jangan tanya," jawabku singkat. "Meskipun aku yakin itu bukan kekuatan dia. Tapi, hanya keberuntungan bodoh, saja."

"Tapi, ada yang aneh, lho, Sonia," kata Kirana.

"Hah? Apaan?" tanyaku.

"Padahal jelas-jelas dia sedang menyembunyikan sesuatu, tetapi kok, Pak Hadi nggak sadar, ya?" ujar Kirana.

Hah? Jelas dari mananya?

***

Seluruh gedung aula sedang ramai dipenuhi murid. Semua mengambil makanan yang telah disediakan di ujung aula. Masing-masing laki-laki dan perempuan punya barisannya sendiri yang berbeda meja. Setiap murid berbaris mengambil makanan satu persatu. Ada juga yang sampai menambah porsi. Tentunya dengan diam-diam. Ada pula yang ketahuan, sehingga kena protes teman-temannya.

Sifari sudah menyelesaikan makannya. Ia mengembalikan piring ke tempat piring kotor. Bersama dengan puluhan piring kotor lainnya. Tiba-tiba seorang gadis mengahmpirinya. Gadis itu berambut jingga sepanjang punggung.

"Kak Sifari!" sapa perempuan itu. "Makan bareng, yuk!"

"Ah, Maria, maaf, ya. Aku sudah makan tadi," tolak Sifari dengan halus.

"Nggak apa-apa, kok. Kan, bisa nambah lagi," kata Maria. "Atau temani aku makan saja?"

"Maaf, ya. Aku sedang ada keperluan kelompokku," kata Sifari sambil tersenyum. "Mungkin lain kali, oke?"

Sifari pun beranjak pergi dari Maria. Meninggalkan sang gadis terpaku. Tanpa disadari, mata Maria berkaca-kaca. Dadanya terasa sakit. Ingin ia berkata sesuatu, tapi terhenti di ujung lidah perkataan itu.

"Jadi benar adanya, Kak Sifari?" gumam Maria. "Kalau kau menyukai si somplak itu?"

***

Dasar, timing-nya Maria nggak pas banget. Tiba-tiba ngajak makan bareng pas aku ingin kumpul dengan kelompokku. Mau nggak mau, harus aku tolak. Meskipun, aku harus berbohong. Karena aku nggak akan menerima ajakan dia lagi. Mungkin kalau dulu, masih aku terima. Tapi, sejak insiden itu… kurasa nggak akan lagi.

Lagian, dia, kan, punya kelompok sendiri, kan? Kenapa nggak bareng kelompoknya saja? Tunggu… Maria itu kelompok… berapa…? Eh, Kelompok Enam, kah? Kaptennya Annie, ya? Yah, tidak bisa berharap banyak, sih, dari dia. Aku pun juga masih kesulitan dalam mengatur kelompokku. Seperti sekarang saja, misalnya, beberapa dari mereka yang ogah-ogahan untuk berkumpul. Meskipun akhirnya berkumpul, tetap saja ada komplain sana sini.

"Kak Sifari! Tuh, kan, telat lagi!" seru Sonia protes. Ia membuka sebuah buku dan mendengus dengan kesal.

"Perasaan belum lama, deh," belaku.

"Tau, belum lama, kok, dasar cebol!" kata Alan sambil meledek Sonia.

"HAH!? Siapa yang kau panggil cebol, dasar barbar!" balas Sonia.

Terima kasih, Alan. Tapi, pembelaanmu terhadapku nggak berguna. Lebih baik kau diam, deh. Yang ada masalahnya tambah besar kalau kau ngomong.

"Sudah, hentikan kalian berdua," perintah Barqi. "Kalau mau debat, lakukan setelah penjelasan dari Kapten."

"Maafkan aku, Kapten!" kata Alan meminta maaf. "Tapi, memang pikiran si cebol ini harus diluruskan terlebih dahulu."

"Cih! Padahal sendirinya bodoh," gumam Sonia sambil mendengus.

"Sudahlah, Kapten! Cepat mulai saja!" seru Solari. "Sebelum ada pertumpahan darah antara si otak otot dan ratu es ini."

"O-oke…"

Tumben-tumbenan Solari angkat bicara. Biasanya dia diam saja.

"Jadi, maksudku mengumpulkan kalian disini adalah untuk membicarakan misi kita selanjutnya," ujarku.

"Misi selanjutnya?" tanya Sonia. "Bukannya kemarin kita baru mendapat misi?"

"Ah, misi mencari kucing hilang itu, ya?" ucap Yura. "Yah, memang bukan misi yang menegangkan seperti yang pertama, tapi seru juga."

"Apanya yang seru, kalau kerjaan kita cuman nanya ke tetangga soal berapa banyak ikan teri yang hilang akhir-akhir ini?" protes Eriza.

"Bener, tuh," celetuk Erik. "Mana Kak Sifari, Kak Barqi, Alan, dan Kak Solari semangat banget lagi. Aku, kan, jadi harus ikut juga."

"Tapi, ternyata kucingnya lucu, kan!" bela Barqi. "Apakah kau tidak melihat di foto klien?! Mata tanpa dosa itu… bagaikan panah yang menghujam jantungku…"

Semoga kau tidak mati, Barqi.

"Yah, sudahlah. Masalah itu, kan, sudah selesai," kataku berusaha untuk menenangkan. "Lagipula, dengan adanya Rota, tugas kita jadi lebih mudah, kan?"

"Yang mana baru kau keluarkan di lima belas menit terakhir," ujar Sonia. "Kak Sifari, kalau kau mengeluarkannya sejak awal misi, lima belas menit misi kita sudah selesai!"

"Mau bagaimana lagi! Dianya ngambek nggak mau keluar," belaku. "Familiar juga punya perasaan, tau!"

Solari berdeham. Tanda tanya dan kekecewaan tampak tergambar di wajahnya. Oh, ya, misi!

"Oke, jadi misi yang aku maksud adalah misi bebas yang bisa kita ambil sendiri. Bukan yang terikat dengan jadwal kita," paparku. Aku pun mengeluarkan buku catatanku, "Setelah kupilih dan kupilah, ada tiga misi yang bagus untuk kita ambil…"

"Jangan bilang mencari kucing hilang lagi," celetuk Sonia dengan sinis.

"Bukan, kok!" kataku membantah. "Pertama, seorang mahasiswa Universitas Nasional Depok kerasukan jin dan ia kabur ke dalam sebuah hutan di daerah kampus tersebut. Tugas kita adalah untuk menemukan mahasiswa tersebut dan mengeluarkan jin yang ada di dalam jiwanya."

"Hmmm… tugas ini cocok untuk kelompok kita karena ada Yura yang onmyoji," kata Eriza.

"Ya, aku pun tidak masalah," tanggap Yura. "Selama aku bisa menyelamatkan orang."

"Yang kedua," lanjutku, "seorang konglomerat yang tinggal di kota ini tengah kehilangan vas berharga miliknya. Besar kemungkinan vas tersebut dicuri. Tugas kita adalah untuk menemukan vas itu dan orang yang mencurinya."

"Heeehhh… tugas mencari lagi? Yang benar saja…" keluh Erik.

"Tak masalah buatku," ujar Alan. "Tapi, pencarian kita bisa luas kalau semakin lama mencarinya. Belum tentu sang pelaku masih berada di sekitar area si konglomerat."

Aku melanjutkan, "Yang terakhir adalah sebuah teka-teki dalam bentuk puisi yang harus diselesaikan. Karena ujung dari teka-teki tersebut adalah harta warisan dari orang tua klien. Dan itu saja kukira. Bagaimana? Ada usulan?"

Mereka semua terdiam. Berusaha untuk berpikir keras demi sebuah keputusan. Sebenarnya, dari tiga misi tersebut, tidak ada yang tidak rumit. Semua misi ini bisa menjadi rumit, baik dalam segi teknis maupun konsep. Sebenarnya aku lebih tertarik untuk memilih yang ketiga. Karena ia lebih simpel.

"Kalau menurutku, Kapten, lebih baik kita mengambil misi yang pertama," kata Barqi angkat bicara.

"Ya, aku juga setuju dengan Kak Barqi," kata Yura.

"Oh? Kenapa begitu?" tanyaku penasaran.

"Ya, dibanding dengan dua misi yang lain, misi yang pertama lebih terasa kemanfaatannya," jawab Barqi. "Karena, pasti orang yang kerasukan ini menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan pada satu kampus. Maka dari itu, kita harus mengambil yang ini terlebih dahulu."

"Oh? Begitukah?" tanggapku.

"Maaf, Kak Barqi," kata Alan menyela. "Memang misi yang pertama akan lebih banyak berguna bagi banyak orang, tapi teknisnya akan sulit."

"Seperti?" tanya Yura.

"Yah, sebagai awalan, sepertinya bukan hanya kita saja yang terlibat. Pasti ada juga satgas dari kampus. Mandala juga mungkin akan terlibat," jelas Alan. "Kita disana, kemungkinan besar, hanya menjadi tenaga tambahan saja. Bukan sebagai investigator utama."

"Hmmm… benar juga," kataku menyetujui. "Kalau begitu, menurutmu, misi mana yang seharusnya kita ambil, Alan?"

"Menurutku, kita ambil misi yang kedua saja," jawab Alan.

"Ha? Mencari vas untuk konglomerat?" kata Erik sangsi. "Kita cuman jadi babunya orang kaya doang, tau!"

"Ya, lagipula, mereka seharusnya meminta bantuan detektif swasta, dan bukannya kita," ucap Barqi.

Barqi sepertinya masih agak skeptis dengan kejadian di Bercos. Ya, bagaimana tidak. Itu sebenarnya bukan misi untuk level mereka. Itu seharusnya misi yang ditangani oleh kelasku. Kalau mereka tahu bahwa Om Ares yang sengaja mengirim kita ke sana, bagaimana, ya, reaksi mereka? Tapi, apakah mereka sudah tahu?

"Oke, kalau begitu, bagaimana dengan misi yang ketiga? Sepertinya mudah," kataku mengusulkan.

"Ogah," ucap Sonia.

"Mbuh," kata Alan.

"Ng-nggak, deh," kata Eriza.

"Ahahah…" Erik tertawa dengan gugup.

"Maaf, Kapten, tapi… bagaimana, ya…" kata Yura dengan nada sungkan.

Solari hanya terdiam.

"Masalahnya, Kapten," kata Barqi. "Misi yang ketiga ini, punya tujuan yang sama seperti misi kedua, dan kesulitan teknis yang sama seperti misi pertama."

Sakit. Ternyata saranku ditolak mentah-mentah. Dasar, kalau begitu kalian mau misi apa? Semuanya dipermasalahkan. Padahal tinggal pilih satu saja. Oh? Apa aku coba taktik ini saja, ya?

"Oke, Sonia," kataku, "sekarang kau yang menentukan. Misi mana yang harus kita ambil?"

"Eh?! Kok aku!?" kata Sonia terkejut.

"Yah, di misi terakhir (Bercos), kamu, kan, diculik. Jadi sebagai permintaan maafku, kubiarkan kau memilih misi yang kita akan ambil," kataku menjelaskan. "Bagaimana?"

Sonia terlihat bingung. Ia berusaha untuk berpikir keras. Lembaran buku yang dibacanya dari tadi, dibolak-balikkan dengan cepat. Ia menghela nafas, menutup bukunya, dan menatapku dengan lamat-lamat.

"Oke, Kak Sifari," katanya. "Aku pilih yang pertama."

Barqi berteriak dengan semangat. Yura tersenyum. Sementara Alan tertunduk lesu.

"Memang apa alasanmu?" tanyaku.

"E-eh? Bukannya kerja kita lebih gampang kalau cuman jadi pembantu?" kata Sonia dengan polos.

"Hmph, dasar pemalas!" ledekku sambil menyeringai.

Sonia hanya merespons dengan mengubur wajahnya dengan buku yang dibacanya tadi. Sepertinya sambil mengumamkan sesuatu. Aku hanya tersenyum. Yah, yang penting kita sudah mencapai keputusan, kan? Aku pun bisa duduk dengan tenang.

"Oh, ya, Kapten," kata Alan. "Dari tadi ingin aku tanyakan, untuk apa tumpukan buku itu?"

Aku pun melirik tumpukan buku yang berada di dekatku. Ah, ya, ini adalah buku-buku yang kubawa tadi untuk referensi makalah. Ada sekitar tujuh buku. Meskipun belum tentu semuanya terpakai, sih. Ada juga yang iseng kuambil karena ingin kubaca. Di antara buku ini, ada yang dari perpustakaan utama, ada pula yang dari Seksi Terlarang.

"Eh? Tapi sepertinya yang ini bukan buku?" kata Erik.

Ia menarik sesuatu berukuran seperti buku juga, tetapi bukan buku. Kerasnya benda tersebut membuat Erik kebingungan. Pastinya. Soalnya itu, kan, bukan buku.

"I-ini… ko-konsol game?!" seru Erik terkejut. "Tunggu, ada yang berbeda…"

"Ini SlayPation, kan? Yang seri pertama, pula," kata Barqi. "Tapi, tulisan di atas ini…"

"Legend of Hythena…" gumam Solari. "Game macam apa itu?"

"Memangnya kita boleh membawa konsol game ke sekolah?" tanya Sonia.

Aku tersenyum kikuk, "Ti-tidak."

"Dari mana kau mendapatkan ini, Kapten?" tanya Yura.

"Dari perpustakaan. Dari Seksi Terlarang," jawabku.

"UAPA!?"

"Ma-maksdumu dari seksi yang terlarang itu?" tanya Alan. "Yang tidak boleh dimasuki oleh siapapun, kecuali guru?"

"Ya, yang itu."

Sonia terbelalak, "Jangan-jangan kau mengambilnya tanpa izin?"

"Yah… secara teknis aku sudah izin," jawabku. "Meskipun tidak spesifik."

"Yakin tidak akan terkena masalah, tuh, Kapten?" tanya Barqi dengan khawatir.

"Santai saja!" kataku menenangkan. "Lagipula kelihatannya konsol ini menarik."

"Memang kau ingin main game saja, kan?" kata Sonia dengan sinis. Ia menghela nafas, "Kalau ada masalah, jangan bawa-bawa aku, lho, ya?"

Kulihat Erik dengan saksama memperhatikan setiap sisi dari konsol tersebut. Atas, bawah, kanan, kiri, semua ia lihat. Ia membolak-balikkan konsol tersebut. Agar dapat meilhat dengan baik sisi-sisinya. Dahinya berkerut, ketika melihat sisi tertentu. Dan begitu pula ketika melihat sisi yang lainnya.

"Aneh…" gumam Erik.

"Hm? Apanya yang aneh?" tanyaku.

"Aku tidak menemukan lubang untuk mencolokkan kabel power. Ataupun kabel untuk menyambungkan ke TV," ujar Erik.

Kami semua terbeblalak. Terutama aku. Aku langsung merebut konsol itu dari tangannya. Setiap sisi dari konsol itu aku perhatikan. Setelah kucari berkali-kali, ternyata memang benar kata Erik. Tidak ditemukan satu pun lubang untuk mencolokkan kabel power, ataupun kabel untuk menghubungkan konsol ini ke televisi.

"Kenapa bisa begini?" gumamku.

Aku meletakkan konsol itu di atas meja. Kebingungan menghampiri jiwaku. Aku pun berpikir, apa maksud dari tidak adanya kedua hal ini? Apakah sang pembuat salah bikin? Sehingga ditaruhnya alat ini di perpustakaan kami? Hmmm… tidak mungkin… kan? Ah! Jangan-jangan!

"Aku paham sekarang!" seruku. "Tidak adanya kedua lubang tersebut bukan sebuah kesalahan!"

"Hm? Lalu? Kenapa bisa begitu, Kapten?" tanya Barqi.

"Ini akan hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang pernah melihat isi dari Seksi Terlarang, sih," ujarku. "Semua artefak yang berada di Seksi Terlarang adalah benda-benda yang memiliki unsur supranatural."

"Jadi, maksudmu, konsol ini supranatural?" tanya Solari.

"Ya, dan hanya bisa diaktifkan dan digunakan oleh orang yang memiliki kekuatan supranatural," jawabku. "Karena itulah alat ini berada di perpustakaan kita."

"Tapi, bagaimana cara mengaktifkannya?" tanya Yura.

"Jangan-jangan kita semua harus menaruh tangan di atas konsol ini," celetuk Sonia, "lalu, mengalirkan kekuatan kita?"

Semuanya menoleh kepada Sonia. Aku pun menyeringai. Begitu juga dengan Barqi, Alan, dan Erik. Kami berangguk-anggukan satu sama lain.

"Jangan. Jangan coba-coba," kata Sonia dengan nada tegas.

"Ayolah, Sonia! Apa salahnya mencoba?" bujukku kepadanya. Aku meletakkan tanganku ke atas konsol game itu. "Kan, tidak ada jaminan, kalau konsol ini benar-benar masih berfungsi."

Barqi juga ikut meletakkan tangannya. Alan dan Erik juga mengikuti. Kemudian, Solari ikut meletakkan tangannya di atas konsol tersebut. Kami pun menatap para perempuan di kelompok kami. Mengundang mereka untuk mencoba juga. Dapat terlihat keraguan pada wajah mereka, terutama Sonia, yang terlihat ogah untuk ikut campur.

Eriza tiba-tiba meletakkan tangannya di atas konsol.

"Hah, Kak Eriza!? Kau juga?!" kata Sonia terkejut.

"Maaf, ya, Sonia. Sebenarnya aku juga penasaran dengan konsol ini," kata Eriza. "Tidak ada salahnya juga mencoba, kan? Kita belum tahu cara alat ini bekerja dan belum tentu alat ini bekerja."

Yura ikut meletakkan tangannya di atas konsol. Sonia pun makin tambah terkejut. Dia satu-satunya yang belum meletakkan tangannya di atas konsol. Dia agak ragu-ragu untuk meletakkan tangannya.

"Apa jaminannya kalau konsol ini tidak mungkin bekerja?" tanya Sonia.

"Aku tidak bisa menjaminkan apapun," jawabku. "Tapi, jika sesuatu terjadi pada kita, aku akan berusaha agar tidak ada satu pun dari kita yang celaka."

Sonia menghela nafas, "Oke, itu janjimu. Kalau sampai tidak kau penuhi, akan kujadikan kau es serut, ya?"

Kok, jadi begitu taruhannya? "O-okelah," jawabku gugup. Kalau taruhannya begitu, malah aku jadi ragu, tau!

Sonia pun meletakkan tangannya di atas konsol, seperti kami. Akhirnya, berkumpulah tangan kami di atas konsol kami. Aku pun mengalirkan kekuatanku. Begitu juga yang lain. Mereka juga mengalirkan kekuatan mereka kepada konsol ini. Beberapa detik kemudian… tidak terjadi apa-apa?

Aku pun tersenyum, "Heh, ternyata benar, kan, konsol ini sudah tidak ber-"

Tiba-tiba cahaya putih memancar dari konsol tersebut. Cahaya tersebut membutakan pandangan kami. Lalu, badan kami serasa ditarik kedalam konsol ini. Lama kelamaan, seluruh badan kami pun terhisap ke dalam konsol.

"DASAR KAPTEN BODOHHHH!!!" teriak Sonia sebelum terhisap ke dalam konsol.

Kami pun menghilang.

***

Kegelapan dan kesuraman menyelimuti langit. Gemuruh guntur menggelegar. Bersamaan dengan turunnya hujan dengan deras. Dan kilat yang menyambar-nyambar. Seluruh tanah menjadi basah dan licin. Membuat tidak ada seorang pun yang ingin pergi dari tempat tinggal mereka. Yang teduh nan nyaman.

Kecuali seorang pria. Dengan jas hujan berwarna hijau tua miliknya, ia menerobos hujan. Pria ini tiba di sebuah tanah lapang. Meskipun tidak dapat disebut tanah yang benar-benar lapang. Karena di seluruh area tersebut, terdapat beberapa gundukan tanah dengan pedang-pedang di atas gundukan tersebut.

Pria tersebut mendekati sebuah gundukan tanah, kemudian berlutut di hadapannya. "Tenang saja, saudara seperjuanganku. Kali ini, kita akan yang akan memenangkan peperangan. Karena sang Singa telah tiba."

***

Aduh! Kepalaku terasa sakit! Sepertinya aku tak sadarkan diri. Dasar Kak Sifari! Katanya alatnya nggak bekerja, nggak tahunya bisa, kan! Malah sepertinya error. Karena aku sampai tak sadarkan diri begini. Lihat saja, akan beneran kujadikan es serut dia! Yang lain juga seharusnya kesal, kan? 'Berusaha agar tidak ada yang celaka' apanya? Janji tinggal janji saja.

Aku pun membuka mataku. Ternyata aku terbaring di sebuah kasur. Ini di UKS sekolah, kah? Tunggu. Kenapa aku memakai baju tidur? Kapan gantinya? Siapa yang gantiin? Aku langsung tersadar sepenuhnya. Kulihat sekelilingku, ini bukan UKS. Ini seperti sebuah kamar. Dengan ranjang, meja rias, lemari. Ini tampak seperti kamar seseorang. Tapi, siapa? Ini bukan seperti kamarku juga.

Tiba-tiba, aku merasa ada yang menggelitik dari bagian belakang tubuhku. Tepatnya di atas pantat. Tempat dimana tulang ekor berada. Aku menoleh ke belakang tubuhku. Kemudian, sebuah ekor berbulu putih menyembul dari tempat yang menggelitik tersebut.

'EEEEEHHHHH!!!???'

APA-APAAN INI???!!! Kok ada ekor di tubuhku!? Karena kaget, aku pun terjatuh dari ranjang. Aku pun bangkit dari jatuh tersebut. Secara tidak sengaja, aku menoleh ke cermin di meja rias yang dekat dengan ranjang.

"HYYYAAAAAHHHHH!!!!" aku refleks berteriak kaget dengan kencang. Aku menutup mulutku dengan tidak percaya. Telingaku berubah menjadi telinga kucing.

Sebuah ketukan pintu terdengar, "Nona, ada tidak apa-apa?" tanya seseorang dari luar ruangan. Dari suaranya, sepertinya seorang ibu-ibu.

"I-iya, saya tidak apa-apa," jawabku.

Sebenarnya itu bohong, sih. Mana ada aku tidak apa-apa! Tiba-tiba, aku punya ekor dan telingaku menjadi seperti kucing. Bagaimana bisa?! Apakah hidupku tidak bisa lebih aneh lagi? Pertama diculik preman, sekarang berubah menjadi manusia kucing. Sepertinya aku paham apa yang dia maksud dari dia 'terkutuk'.

To be continued…

Next: Kingdom of Hope