Derap langkah kaki-kaki sepatu besi menggema di seluruh ruangan itu. Lima orang dengan baju zirah lengkap berjalan dengan gagah perkasa. Ruangan itu terbuat dari batu marmer. Dengan tiang-tiang yang menyangganya, panji-panji yang menggantung dari atas, dan tahta yang berdiri dengan agung di ujung ruangan itu. Di atas tahta itu, duduk seorang raja dengan jubah berwarna putih dan mahkota yang terbuat dari emas serta dihiasi oleh berlian.
Lima orang berbaju zirah itu tiba di hadapan sang raja. Mereka pun melepas helm yang menutup wajah dan berlutut di hadapannya. Seorang ksatria yang berambut panjang angkat bicara, "Yang Mulia, kami melapor setelah kembali dari misi pencarian yang anda tugaskan."
"Lalu, bagaimana hasilnya?" tanya sang raja.
"Negatif, Yang Mulia," jawab sang ksatria.
Seorang ksatria berambut keriting tiba-tiba berkata, "Maaf bila lancang, Yang Mulia, tapi mengapa anda mencari orang berkekuatan seperti itu?"
"Ada sebuah ramalan. Bahwa orang dengan kekuatan ini akan mengembalikan kerajaan ke dalam kejayaannya yang dulu," ujar sang raja. "Dia akan mengangkat kerajaan ini dari keterpurukannya. Membangun semangat rakyat untuk melakukan perubahan."
"Berarti sangat penting, ya," tanggap ksatria keriting tadi.
"Ya, kalau begitu lakukan pencarian sekali lagi, Ksatria Jubah Putih!" perintah sang raja. "Kita harus menemukan api yang akan menyelamatkan kerajaan ini!"
***
"Jadi, karena itulah adab dibutuhkan dalam menggunakan kekuatan," ujar Pak Bayu. "Karena salah menggunakan kekuatan, bisa berakibat fatal. Kekuatan digunakan untuk tujuan-tujuan yang salah. Untuk mengejar kekuasaan, misalnya, atau mencari harta."
Empat orang. Itulah jumlah pendengar Pak Bayu saat ini. Empat Raja Langit. Itu julukan orang buat kami. Berwibawa? Secara nama, iya. Tapi, kalau orang melihat kami yang sedang belajar saat ini, mungkin akan mengerutkan dahi. Bang David terkantuk-kantuk, Sandi juga sama saja. Hanya aku dan Toni yang agak lebih baik. Meskipun, sudah tiga kali aku mengecek jam dinding di kantor Pak Bayu.
Untuk membunuh waktu, aku catat saja apa yang dikatakan Pak Bayu. Walau, dicampur dengan coretan-coretan tentang misi dan kelompokku. Aku menulis misi-misi yang mungkin untuk diambil minggu depan. Aku sudah mengecek Papan Misi dan mencatat beberapa yang mungkin menarik untuk diselesaikan. Seperti kasus keris sakti, kerasukan jin di sebuah desa, dan teka-teki.
Perkembangan kelompokku juga kucatat. Seperti Barqi yang sudah baik dasar-dasarnya, tapi masih sulit untuk mengatasi teknik ilusi. Kemarin, Yura mencoba untuk menggunakan ilusinya kepada Barqi. Hasilnya? Tiga kali pertarungan, tiga kali Barqi kalah. Lalu Alan, yang masih melawan dengan terus terang dan apa adanya—tanpa strategi atau taktik—kalah dua kali lawan Solari dan Eriza. Sementara aku melatih Erik dan Sonia untuk mengendalikan energi mereka. Meskipun, sama-sama masih belum mahir, setidaknya Sonia masih lebih baik daripada Erik yang gagal mempertahankan bola energi selama sepuluh menit.
"Seperti janji kami, guru-guru, pada semester kemarin," kata Pak Bayu tiba-tiba, "kalian semua akan diberangkatkan ke Malaysia."
Bang David dan Sandi yang terkantuk-kantuk, langsung mengerjap-ngerjap dengan daya maksimal. Aku dan Toni juga membenarkan posisi duduk. Perhatian kami semua langsung tersita oleh kalimat Pak Bayu tadi. Keluar negeri, siapa yang tidak tertarik, pula?
"Serius, Pak?" tanya Bang David penasaran.
"Iya, beneran, kok," tanggap Pak Bayu, "masa saya bercanda. Tapi, tentu ada syaratnya."
"Syarat?" tanya Toni.
"Ya," jawab Pak Bayu. "Kalian harus menulis makalah ilmiah minimal sepuluh halaman."
Makalah, ya? Kalau itu, sih, mudahlah. Waktu SMP, aku sudah pernah buat. Tahun lalu juga sudah pernah disuruh menulis sekali oleh Tuan Guru. Eh, tapi…
"Makalahnya tentang apa, ya, Pak, kalau boleh tahu?" tanyaku.
Pak Bayu tersenyum, "Itu terserah kalian masing-masing. Tulis tentang bidang yang kalian sukai. Misalnya, Toni tentang Adab & Etika, Sandi… tentang apa, San, kamu maunya?"
Sandi membetulkan kacamatanya selagi berpikir, "Hmmm… mungkin tentang Sastra, Pak."
Pak Bayu mengangguk-angguk, "Ya, itu boleh juga. Kalau kamu, Sifari, bagaimana?"
"E-eh, mungkin tentang Psikologi, Pak," jawabku.
"Ya, ya, bagus juga," ucap Pak Bayu menanggapi. "kalau kamu, Vid?"
Bang David menggaruk-garuk, "Masih belum tahu saya, Pak."
Pak Bayu tersenyum, "Yah, coba kamu cari apa yang kamu bisa. Misalnya, kamu, kan hafal banyak mantra, mungkin kamu bisa bahas tentang itu."
"Hmmm… tapi, gimana bahasnya?" gumam Bang David.
"Itu nanti kita cari tahu," kata Pak Bayu. "Pokoknya, dari tema-tema tersebut, kamu kaitkan dengan problematika masa kini. Misalnya, Sifari, dengan psikologi, mungkin kamu bisa menjabarkan keadaan psikis Insaneis antara yang menggunakan kekuatannya dengan benar dan dengan yang salah. Toni, tentang adab dan etika seorang Insaneis dalam menggunakan kekuatannya. Sandi apa, David apa. Nanti coba dicarilah. Makalah kalian ini adalah syarat agar kalian bisa ke Malaysia. Karena makalah tersebut, akan dipresentasikan di sana."
"UAPA!?" Kami terkejut. Bang David menggeleng-geleng. Sandi membetulkan kacamatanya dengan gugup. Toni mengernyit, sementara aku ternganga.
"Kenapa kalian? Kayak habis ditembak cewek saja. Harusnya kalian, kan, yang nembak cewek," ujar Pak Bayu.
"Mohon maaf, Pak, bukan begitu," kata Toni. "Tapi, di Malaysia? Berarti di depan…"
"Ya! Audiensnya internasional, jadi kalian harus menulis makalah dengan Bahasa Inggris, presentasinya juga," jawab Pak Bayu.
"Pa-pak, kayaknya saya nggak bisa, deh, kalau begitu," kata Bang David.
"Bisa, kok. Kamu percaya aja. Nanti kita akan bicarakan lebih lanjut dengan Tuan Guru juga," kata Pak Bayu. "Oke, kalau begitu kelas selesai. Kalian boleh kembali."
Kami pun mencium tangan Pak Bayu, lalu beranjak dari kantor beliau. Dari wajah mereka—dan mungkin wajahku juga, kalau ada cermin—terlihat ekspresi kebingungan dan kegundahan. Pastinya, kami bingung. Meskipun kami sudah pernah menulis makalah, tapi untuk menulis dan mempresentasikannya dengan Bahasa Inggris… itu hal yang berbeda. Meskipun aku percaya diri dengan kemampuan Bahasa Inggrisku.
Ironis, ya. Insaneis seperti kami mungkin tidak takut kalau disuruh melawan monster setinggi sepuluh kaki. Tapi, begitu disuruh menulis makalah dan presentasi dengan Bahasa Inggris, nyali kami langsung ciut. Apalagi, orang kenal kami sebagai 'Empat Raja Langit'. Menyedihkan sekali.
"Sifari, lu udah kepikiran mau nulis apa?" tanya Toni memecah keheningan.
"Belum, sih," jawabku. "Mungkin nanti gue mau ngecek perpus, buat nyari bahan."
Ya, jujur aku belum tahu mau nulis apa. Kupikir tadinya mau menulis tentang Pyrokinesis atau sejenisnya, yang berhubungan dengan kekuatanku. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, aku ingat bahwa buku tentang Pyrokinesis sedikit sekali. Cuman ada lima judul, kalau nggak salah. Malah, dua di antaranya adalah novel tentang seorang pengguna kekuatan api. Bukan buku ilmiah. 'Tenggelamnya Sekoci Van Holden' dan 'Red Baron'. Makanya, aku beralih ke Psikologi yang lebih banyak bukunya, meskipun tetap sedikit juga. Nanti aku beli sendiri, deh, buku tambahan untuk referensi.
"Oh! Akhirnya ketemu juga!" celetuk seorang lelaki. Rambutnya disisir ke belakang, dia memakai kacamata hitam dan menyimpan pedang katana di pinggangnya. Dia adalah Adam Marconi. Anak Angakatan Satu, kapten dari Kelompok Tujuh. Dia tersenyum, "Selamat Pagi, anak-anak kelas Falsafah."
"Sekarang udah siang, bego!" seru Toni. "Ngapain, sih, lu pake kacamata hitam? Kayak tukang pijet tuna netra, tau gak."
"Komentar bae, sih, lu, Ton!" balas Adam. "Gue kesini bukan buat itu. Kita dipanggil sama Pak Ares. Disuruh ngumpul."
***
Sonia Kania. Usia dua belas tahun. Lagi pusing, mikirin pelajaran Mantra. Makin lama, Mantra yang kupelajari makin susah. Dulu waktu masih SD, kayaknya gampang-gampang aja. Mantra yang lagi dipelajari kelasku adalah Mantra Penarik, Traho. Yang paling susah adalah menghapalkan premise-nya. Meskipun tidak panjang, tapi rumit juga.
"Ayo, perhatikan lagi!" perintah pria yang berada di depan kelasku. Ia menunjuk-nunjuk papan tulis. Dia adalah Kak Bruno Regalia, guru Mantra untuk tingkat SMP. Perawakannya tidak begitu berbeda jauh dengan adiknya, Kak Toni. Cuman, Kak Toni lebih tinggi dan lebih bongsor saja daripadanya.
"Coba dibaca lagi pelan-pelan," lanjut Kak Bruno. "Angin yang menerpa, tangan yang mengenggam."
"Angin yang menerpa, tangan yang mengenggam," ucap satu kelas bersamaan.
"Ayo sekarang diulang-ulang!" kata Kak Bruno.
Kami pun satu kelas mengulang-ulang kalimat tersebut. Sedikit demi sedikit, tulisan yang ada di papan tulis, dihapus oleh Kak Bruno. Kelas pun dipenuhi dengan gaung suara-suara kami. Aku berusaha menguping progress teman-temanku.
"Angin yang menerkam, tangan yang mencengkram…? Bener, gak, sih?" kata Lucia yang duduk di samping kananku.
Ia masih keliru rupanya.
"Tangan yang menerpa, angin yang mengenggam," ucap Aria yang duduk di depanku.
Woi, woi, kebalik tau!
"ANT*NG*IN YANG MENGHUJAM!" seru Erik.
Tambah ngaco! Kok malah nyebutin obat masuk angin, sih?! Nggak percaya kalau dia satu kelompok denganku. Aku pun juga masih agak-agak lupa. Walaupun mulai bisa sedikit-sedikit.
"Oke! Sekarang Kakak panggil beberapa orang dari kalian untuk maju ke depan dan mendemonstrasikan," kata Kak Bruno. "Coba maju… Glenn!"
"E-eh, baik, Kak!" sahut Glenn.
Ia pun maju ke depan kelas. Di atas meja guru, Kak Bruno telah menyiapkan sebuah cangkir. Itu adalah cangkir yang kami sajikan untuk minum dia.
"Oke, coba sekarang kamu tarik cangkir ini dengan mantra Traho, Glenn," ujar Kak Bruno.
Glenn menarik nafas dalam-dalam. Ia mengangkat tangannya, "A-angin yang menerpa, tangan yang mengenggam, Mantra Pengikat nomor 5, Trahok!"
Gelas yang berada di atas meja pun tertarik menghampiri Glenn. Tapi, dengan secepat kilat. Walhasil, bukannya sampai ke tangannya, malah menghantam hidungnya. Ugh, pasti sakit. Untung gelas itu terbuat dari besi tipis. Jadinya, tidak pecah begitu menghantam baik Glenn maupun lantai. Semua orang dalam kelas tertawa melihat aksi Glenn. Ia pun menutupi hidungnya yang dihantam gelas. Meskipun, yang sebenarnya yang ia tutupi adalah rasa malunya.
Kak Bruno terkekeh, "Wah, tadi sudah hampir benar, tuh, Glenn. Cuman salah di pengucapannya aja, kok." Kak Bruno menunjuk papan tulis, "Seharusnya Traho, T-R-A-H-O. kamu tadi agak mengucapkan Trahok, kan?"
"I-iya, Kak," jawab Glenn sambil tersipu malu.
"Tapi, gak apa-apa. Yang penting kamu sudah mencoba," kata Kak Bruno, berusaha untuk menasihati. Ia mengambil gelas yang terjatuh ke lantai "Oke, kalau begitu, coba sekarang maju… Kirana!"
Seorang perempuan dengan rambut panjang berwarna coklat dan berkacamata maju ke depan kelas. Ternyata ia duduk di samping Aria. Ia terlihat gugup. Beberapa kali ia membetulkan kacamatanya. Ia pun menarik nafas dan mengangkat tangannya. "Angin yang menerpa, tangan yang mengenggam, Mantra Pengikat nomor 5, Traho!"
Gelas yang ada di atas meja pun terangkat. Ia melayang dan mendarat dengan sempurna di tangan Kirana. Kami semua terdiam. Kirana sendiri terlihat tercengang. Lidahnya kelu. Glenn tiba-tiba bertepuk tangan. Kemudian, yang lain pun mengikuti, termasuk aku. Seluruh ruangan kelas kami dipenuhi dengan tepukan tangan.
"Terima kasih, semuanya," gumam Kirana.
Kirana kembali ke tempat duduknya. Begitu ia duduk, ia langsung mendapat berbagai macam pujian dari teman-temanku.
"Wah, kamu hebat banget, Kirana!" sahut Disty, temanku yang berkulit sawo matang.
"Iya, kamu jago!"
"Iya, keren!"
Berbagai lontaran pujian diberikan kepada Kirana. Tetapi, dia hanya tersenyum dan berkata, "Ah, bukan hal yang spesial, kok. Kalian pasti juga bisa."
Aku juga kagum. Aku juga ingin bisa seperti dia. Melakukan hal-hal yang luar biasa. Tapi, apa mungkin?
Tiba-tiba, tepukan sebuah buku menyentuh kepalaku. Aku menoleh. Tenyata Lucia yang menepuk kepalaku dengan buku tulisnya. Dia tersenyum kepadaku.
"Kenapa murung begitu?" tanyanya. "Tenang saja, kamu pasti juga bisa, kok."
"Ya… mungkin…" lirihku.
"Bagaimana kalau kamu coba berteman dengan dia?" tanya Lucia. "Mungkin kamu bisa belajar sesuatu darinya dan begitu juga sebaliknya."
"Ah, nggak usahlah," tolakku halus. "Keliatannya dia anak yang popular. Bakalan susah bagiku untuk berteman dengan dia."
"Oh? Begitukah?" tanya Lucia sambil menyeringai.
Seringaian itu… sepertinya aku sering berjumpa. Sepertinya aku kenal dengan orang yang sering menampakkan senyum yang mengundang tanya itu. Dan sepertinya aku tahu apa yang terjadi selanjutnya bila bertemu seringai itu. Tapi, siapa yang sering menyeringai seperti itu?
***
Di meja persegi panjang ini, kami berkumpul kembali. Setiap kapten—teman-temanku di Angkatan Satu—sudah duduk di sekeliling meja ini. Kami duduk sesuai urutan nomor kelompok. Karena aku kapten Kelompok Lima, kursi di ujung meja menjadi tempatku duduk saat ini. Di sebelah kananku, ada Bang David sebagai kapten Kelompok Empat. Sementara di sebelah kiriku ada Annie, sebagai kapten Kelompok Enam. Di depanku, ada Pak Ares, sebagai guru kami dan penanggung jawab Squad Project. Tapi, kenapa kami kumpul sekarang? Bukannya katanya kami baru akan kumpul dua minggu setelah pembagian kelompok? Ini baru satu minggu lebih sedkit. Ada apa?
"Oke semuanya, mohon maaf, mungkin ini agak mendadak. Tapi, ada beberapa tambahan yang penting untuk saya sampaikan," ucap Pak Ares. "Sekalian juga untuk mengevaluasi kinerja kalian sejauh ini. Jadi, bagaimana pendapat kalian tentang kelompok kalian sendiri?"
"Bagus," jawab Toni singkat, "dan memuaskan."
"Bagus, Pak," jawab Herman, "tapi, ada yang nyolot."
"Bagus, Pak," sahut Riza juga.
"Seajuh ini, bagus," kata Bang David ikut menjawab.
"Emmm… bagus, sih," jawab Annie dengan ragu-ragu, "meskipun ada sedikit masalah."
"Bagus, Pak!" kata Adam dengan penuh percaya diri.
"Saya, sih, tidak ada masalah, Pak," kata Rudi dengan santai.
"Tidak ada kendala yang signifikan dalam kelompok saya," kata Sandi.
"Ba-bagus, Pak, kalo kelompok saya," kata Rolan.
Semua sudah menjawab. Sial, tinggal aku saja yang belum menjawab. Aku tadi kurang cepat dalam menjawab. Eh, masih ada Jofie, deh. Dia belum menjawab juga. Tapi, dari mimik wajahnya, sepertinya dia sudah siap untuk menjawab. Dan benar saja…
"Meskipun ada keributan dan isu sana-sini," ucap Jofie, "tapi, menurut saya, kelompok saya sudah bagus."
Itulah jawaban dia. Berarti tinggal aku yang belum. Semuanya pun menatapku. Karena aku belum memberikan jawaban sama sekali.
"Sifari," kata Pak Ares, "tinggal kamu saja yang belum menjawab, lho."
"A-ah, i-iya," tanggapku dengan gugup.
Duh, harus ngomong apa, nih? Apa kujawab jujur saja? Ya sudahlah.
"Agak susah sebenarnya untuk menilai dari satu misi yang baru kami jalani. Karena masih banyak yang harus kami lakukan," ujarku. "Meskipun, menurut saya kelompok saya sudah bagus, tapi, masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan. Salah satu anggota saya saja sudah ada yang mungkin minta pindah."
Semuanya terkejut. Mata mereka terbelalak.
"Oi, seriusan, tuh, Sif?!" seru Rudi.
"Emangnya lu ngapain?" celetuk Adam.
Berbagai pertanyaan dilontarkan kepadaku. Tapi, aku hanya menjawab dengan, "Ya… nggak tahu. Itu keputusan dia. Aku pun nggak maksa. Cuman, aku memberi dia pilihan. Kalau memang masih ingin dipindahkan, ya… aku pindahin. Tapi, aku tidak menyarankan memang."
"Tapi, keluar, ya…" ucap Pak Ares. "Kalau menurut saya, lebih baik dipertahankan dulu. Biarkan saja beberapa bulan. Sebelum kalian bertukar anggota."
Kami menangguk-angguk. Wait, what?!
"Pa-pak, tukar kelompok?!" kata Toni.
"Se-serius, Pak!?" seru Riza.
"Yah, jangan dong, Pak," kata Bang David.
Dan berbagai macam komplain lainnya dilontarkan oleh teman-temanku. Aku hanya terdiam. Aku memang sudah menduga hal ini. Tapi, kalau diingatkan lagi… sedih juga rasanya.
"Yah, tenang saja," kata Pak Ares, "kalian baru akan bertukar bulan Januari nanti. Kalau semua berjalan lancar. Selain itu, ada hal yang lebih penting sekarang." Pak Ares membuka dan menyalakan laptopnya. "Saya ingin menanyakan, siapa wakil kapten di kelompok kalian?"
"Eh? Buat apa, Pak?" tanya Annie.
"Tentunya, wakil kapten ini adalah tangan kanan kalian. Orang yang kalian percaya untuk mewakilkan diri kalian, ketika kalian berhalangan," ujar Pak Ares. Kami manggut-manggut. "Mereka ini juga adalah kader kalian, untuk menjadi kapten di tahun depan. Jadi, siapa saja wakil kapten kalian, mulai dari Toni."
"Saya? Kalau saya Julio, Pak," jawab Toni.
Hah, cukup mengejutkan. Kukira dia akan memilih adiknya, Agatha, sebagai wakil kaptennya. Ternyata Julio, ya? Padahal, kalau diadu, mungkin Agatha lebih kuat daripada Julio. Apalagi dengan kekuatannya 'STORM'. Julio sendiri, aku belum pernah melihat kekuatan dia. Apa dia sudah mencapai derajat 'Individualitas'?
"Oke… Julio, ya?" ucap Pak Ares. "Oke, Herman, siapa wakil kapten kamu?"
Herman cengengesan, "Ehehe, saya Furkan, Pak."
"Oke, Furkan, ya," tanggap Pak Ares. "Riza?"
Sejauh ini, semua wakil kaptennya siswa Angkatan Dua semua. Yah, sudah sepantasnya, kan? Mereka, kan, satu tingkat di bawah kami. Memang harus mereka yang menjadi tangan kanan kami.
"Saya Alex, Pak," jawab Riza
Heh? Alex? Dia, kan, anak Angkatan Tiga! Serius, tuh? Beda dengan yang lain. Alex, ya? Kurasa tidak buruk juga. Dia salah satu murid top di angkatannya. Dia juga popular. Banyak orang yang berteman dengan dia. Beda jauh dengan Alan yang sering dicaci dan dikucilkan teman seangkatannya. Alex juga merupakan setengah dari murid Angkatan Tiga yang telah mencapai derajat 'Individualitas'. Karena dia adalah salah satu dari Tujuh Pelindung Angkasa, sama sepertiku, Rudi, Solari, dan Agatha. Kekuatannya adalah 'LIGHTNING'.
Pak Ares mengangkat alisnya, "Hah? Serius itu, Za? Alex? Anak Angkatan Tiga? Kenapa bukan yang Angkatan Dua? Bukannya kamu punya dua orang Angkatan Dua di kelompok kanu?"
"Iya, Pak. Tapi… gimana, ya… saya kurang percaya gitu sama Zeno dan Ashraf," bela Riza. "Saya lebih percaya aja, gitu, sama Alex."
Pak Ares menggeleng, "Bukan begitu masalahnya. Kalian semua tahu Mandala, kan?" Kami mengangguk. "Kepala Divisi Militer sekarang, itu lulusan akademi tahun '98. Padahal, masih banyak senior-senior dia yang masih bisa dipilih. Tapi, malah dia yang dilantik menjadi Kepala Divisi."
"Terus akhirnya gimana, tuh, Pak?" tanya Adam.
"Yah, oleh senior-seniornya dia dimusuhin habis. Tidak ada senior yang sudi untuk menerima perintah juniornya, kan?" ujar Pak Ares.
Oh… ternyata begitu. Pantas saja tidak ada Mandala yang datang ke Bercos. Dalam Mandalanya senidri saja sedang ada masalah internal. Tapi, berapa banyak prajurit Mandala yang memusuhi Kepala Divisi ini? Apakah si Freon brengsek itu juga?
"Nah, saya tidak mau sampai hal itu terjadi kepada kalian," lanjut Pak Ares. "Dimana terjadi junior 'ngelangkahin' seniornya. Yang akibatnya, ada kekacauan pada struktur hiearki kalian, murid-murid."
Kami semua tertunduk, memikirkan perkataan Pak Ares barusan. Beberapa dari kami mungkin punya rencana yang sama, menempatkan junior di atas senior. Tapi, sepertinya langsung mereka urungkan keputusan itu. Zeno dan Ashraf sebenarnya tidak buruk untuk dipertimbangkan menjadi wakil. Apalagi Zeno. Dia adalah murid paling top di Angkatan Dua. Baik dalam pelajaran maupun pertarungan. Yang dapat menyamai dia dalam kedua aspek itu, hanya Barqi seorang. Ashraf juga tidak buruk. Dalam hal pertarungan dia selevel dengan Zeno. Meskipun dalam hal pelajaran, dia agak keteteran.
"Jadi, saya mau kamu ganti pilihan wakil kamu, Riza," ucap Pak Ares. "Kamu harus pilih antara Zeno atau Ashraf. Titik."
"Cih," gumam Riza pelan.
"Oke, lanjut lagi, David," kata Pak Ares. "Siapa wakil kamu?"
Bang David menggaruk-garuk kepalanya sambil mengerenyit, "Duh, gimana, ya, Pak. Gara-gara Bapak larang Angkatan Tiga buat jadi wakil, saya terpaksa untuk milih Ilsan."
"AHAHAHAH!" Adam tiba-tiba tertawa.
Semuanya juga terkikik, berusaha untuk menahan tawa mereka. Termasuk aku. Ilsan. Dia adalah murid Angkatan Dua yang baru masuk juga seperti Solari dan Eriza. Badannya jangkung dan kurus. Rambutnya berjambul bagaikan Dandy dan kulitnya gelap. Dia adalah orang yang sangat kocak. Mungkin dia jarang tidur di kelas seperti Barqi dan Eriza. Tapi, dia adalah orang yang paling susah untuk menangkap pelajaran. Akan kuceritakan lain kali tentang betapa kocaknya dia menjawab pertanyaan Pak Bayu. Yang pasti, orang akan sangsi apabila orang seperti dia menjadi wakil kapten. Nggak tanggung-tanggung, wakilnya Empat Raja Langit lagi. Yah, mungkin dia bisa? Semoga saja.
"Oke, Ilsan, ya?" kata Pak Ares memastikan. "Selanjutnya, Sifari. Wah, kamu punya tiga orang Angkatan Dua. Jadi, yang mana yang menjadi wakilmu?"
Hmph, jawabannya sudah pasti, "Barqi!" ucapku dengan yakin.
Yang lain hanya melihat seakan mereka sudah tahu. Yah, Barqi, kan, sebenarnya banyak diincar oleh mereka. Meskipun, akhir-akhir ini Barqi terlihat murung. Dia juga tak terlalu banyak ngobrol denganku lagi. Apakah karena dia kalah kemarin di Bercos?
"Duo Fire Cyclone, seperti biasanya, ya, Sifari?" tanya Annie.
"Duo yang berhasil mengalahkan empat monster tingkat B dan satu monster tingkat A dalam tempo satu bulan," celetuk Rolan.
"Bakalan jadi trio, tuh, kalau si Alan boleh ikut," ucap Rudi. "Kadang si Jofie juga nebeng."
Ah, duo Fire Cyclone, ya? Sudah berapa lama sejak julukan itu terdengar terakhir kali? Karena sibuk dengan kegiatan angkatan di akhir semester tahun kemarin, aku jadi jarang mengambil misi dengan Barqi. Setelah menjadi Kelompok Lima, baru julukan itu terdengar lagi.
"Oke, selanjutnya, Annie," kata Pak Ares. "Siapa wakil kapten kelompokmu?"
"Oh, ya, Agatha Friska, itu wakilku," jawab Annie.
Agatha Friska. Ya, namanya mirip dengan adiknya Toni. Dia murid Angkatan Dua yang baru masuk seperti Solari dan Eriza. Kalau sampai dijadikan wakil di tahun pertamanya, harusnya, sih, dia menjanjikan, kan? Solari dan Eriza juga tidak buruk, sebenarnya. Tapi, Barqi lebih cenderung kupilih karena dia lebih sudah kukenal lebih lama saja.
"Oke, kalau begitu, selanjutnya, Adam, siapa wakil kaptenmu?" tanya Pak Ares.
"Wakil saya… si ini, Pak… si Ganesh," jawab Adam. "Soalnya gak ada lagi yang Angkatan Dua di kelompok saya selain dia."
Ganesh, sepupunya Toni juga. Tapi, dia agak berbeda. Dia lebih jail dan unpredictable. Sebenarnya, menurutku, dia cocok sebagai wakilnya Adam.
"Oke, lanjut, Rudi! Siapa wakilmu?" tanya Pak Ares.
"Saya si Umra Zhirad, Pak!" jawab Rudi dengan penuh keyakinan.
Yang namanya Umra ada dua, sebenarnya. Yang satu, ada di Kelompok Delapan bersama Rudi. Dia anak Angkatan Dua. Yang satu lagi, Umra Thadan, ada di Kelompok Sebelas bersama Jofie. Dia anak Angkatan Tiga. Nah, yang di Kelompok Delapan ini dia orangnya sangat lempeng mukanya. Dia hanya punya tiga ekspresi. Diam, tertawa, dan kesal. Itu saja. Dia juga sangat menyukai segala hal yang berbau Die Jaeger, lemabaga pengatur Insaneis di Jerman. Mulai dari sejarahnya, ia tahu. Gaya berpakaiannya dia ikuti. Bahkan, dia bisa berbahasa Jerman, meskipun hanya sedikit.
Akhirnya, semuanya pun telah mendapat giliran untuk menyebutkan wakil kapten masing-masing tanpa masalah. Kecuali Rolan. Seluruh anggota dia adalah murid Angkatan Empat. Jadi, mau tidak mau harus dari Angkatan Empat. Selebihnya, Sandi menunjuk Arkha sebagai wakilnya dan Jofie menunjuk Hasto.
"Oke, semua sudah saya data wakil kaptennya," ucap Pak Ares. "Jadi, wakil kapten ini adalah orang yang bertanggungjawab akan kelompok kalian, apabila kalian sedang berhalangan."
"Oh, iya, soal tukeran anggota itu… beneran, Pak?" tanya Toni.
"Iya, bener," jawab Pak Ares. "Tapi, nggak usah terlalu dipikirkan sekarang. Yang penting kalian berusaha untuk mempimpin anggota kalian yang sekarang."
Pertukaran anggota. Sepertinya memang diperlukan. Karena Pak Ares ingin kami bisa bekerja dengan siapapun itu, kan?
"Oke, sekian saja untuk rapat hari ini. Terima kasih atas kehadiran kalian semua," ucap Pak Ares.
Kami semua pun beranjak dari kursi. Kami menghampiri Pak Ares dan mencium tangannya. Kemudian, kami keluar dari ruangan rapat.
"Sif," sahut Jofie. "Kau mau kemana?"
"Aku mau ke perpustakaan dulu," jawabku. "Ada beberapa buku yang harus kucari."
"Oh, oke. Kalau begitu aku duluan ke hall, ya," kata Jofie.
Ia pun pergi meninggalkanku. Sementara, aku pergi ke arah perpustakaan Aku harus ke perpustakaan untuk mencari bahan referensi untuk menulis makalah yang ditugaskan Pak Bayu. Pasti bakalan perlu banyak buku, nih.
***
Bel berbunyi. Tanda kelas sudah selesai. Aku menghela nafas panjang. Setelah kelas Mantra tadi, kami ada kelas Sejarah. Lagi-lagi pelajaran Sejarah bikin aku pusing dan ngantuk. Seperti yang lainnya, aku keluar kelas dengan semangat. Aku punya keperluan soalnya. Yaitu ke perpustakaan. Aku perlu mengambil beberapa buku untuk tugas sejarah yang baru diberikan oleh Pak Bima tadi. Sebenarnya kami, sih, yang perlu buku. Tapi, aku memutuskan untuk mencari buku duluan. Supaya banyak pilihannya. Early bird gets the worm, kan?
"Sonia!" sahut seseorang memanggilku. Dia mengejarku yang sudah berjalan agak jauh dari kelas.
Aku pun menoleh. Ternyata Kirana yang memanggilku. Lho, ada apa? Kok, tiba-tiba dia memanggilku?
"Ka-kamu Sonia, iya, kan?" kata Kirana memastikan sambil terengah-engah.
"I-iya. Ada apa, ya?" tanyaku kebingungan.
"Ja-jadi begini… aku ingin mencari buku untuk tugas Pak Bima tadi, dan ketika kutanya siapa yang bisa membantuku untuk mencari buku, ada yang menyarankan kamu," ujar Kirana.
Perasaanku tidak enak. Kok, ada yang menyarankanku? "Memangnya siapa yang memberi saran kepadamu?" tanyaku.
"Lucia," jawab Kirana.
Da-dasar Lucia! Ternyata ini maksudnya dia tadi, toh. Dia yang mengatur agar aku bisa berkenalan dengan Kirana. Nggak perlu, tahu! Nanti juga bisa kenal, kan. Maksa banget, sih! Mau nggak mau aku harus bantu dia, kan. Hhhhh!!! Ya sudahlah.
"Oke, tapi, aku nggak terlalu tahu banyak buku, sih," kataku merendah, "jadi, mungkin aku tidak terlalu bisa membantu kamu."
"Ah, nggak apa-apa. Yang penting sebenarnya aku ada ingin ada teman untuk pergi ke perpustakaan, sih," jawab Kirana santai.
***
Aku menyapu pandanganku ke seluruh buku di rak. Berusaha untuk mencari buku yang terkait dengan risetku. Satu dua buku yang dirasa cocok, sudah kutemukan. Tapi, masih ada yang ingin kucari. Aku pun menoleh kepada ruangan bersekat di ujung perpustakaan. Papan nama yang berada di atasnya mungkin sudah membuat murid manapun bergidik.
'SEKSI TERLARANG', begitulah yang tertera. Bagian ini memang terlarang bagi siapapun, kecuali guru. Setidaknya, sampai awal tahun ajaran ini. Kami, murid tahun kedua di kelas Falsafah diizinkan untuk memasuki Seksi Terlarang ini. Dikarenakan guru-guru berpikir kami mungkin perlu menggunakan buku-buku yang ada di dalam. Sebagai bahan referensi tentunya.
Mengapa ada Seksi Terlarang? Kenapa dilarang? Ada apa saja di dalam? Apakah ada murid yang pernah iseng untuk menyusup ke dalam? Pertanyaan-pertanyaan ini pasti akan muncul di benak pikiran. Yah, Seksi Terlarang ini ada untuk menampung buku-buku yang dirasa akan berbahaya apabila dibaca oleh orang yang awam pikirannya. Karena penasaran, pasti sekali dua kali ada saja murid yang menyelinap masuk. Termasuk aku. Aku pernah sekali menyelinap masuk untuk melihat ada apa saja di dalam.
Ternyata di dalam ini, ada banyak buku-buku yang berat. Baik secara konten maupun fisik. Kitab Mantra tingkat tinggi, buku tentang Falsafah Supranatural, bahkan yang sesat-sesat seperti sekte-sekte terlarang dan buku tentang pembangkitan manusia juga ada di sini. Bukan hanya itu, ada juga artefak-artefak kuno di dalam Seksi Terlarang ini. Mungkin artefak ini tidak dipajang karena dikhawatirkan akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi jika disebabkan oleh tangan-tangan iseng murid di sini.
Bukan hanya soal apa yang ada di dalam perpustakaan sebenarnya. Tapi, apa yang ada di depannya. Ya, itu adalah guru sekaligus pustakawan kami, Pak Hadi Wasain. Ia terkenal sebagai guru yang killer, padahal wajah orientalnya menunjukkan pribadi yang ramah, sebenarnya. Tapi, beliau lumayan ketat soal perpustakaan. Pengembalian buku yang dipinjam harus tepat waktu. tidak boleh tidak, kecuali ingin mendapat hukuman. Buku yang dipinjam juga harus dikembalikan dengan keadaan yang sama ketika diambil. Tidak boleh berisik di perpustakaan. Tidak boleh makan di perpustakaan. Dan tidak boleh masuk Seksi Terlarang tentunya. Karena adanya Pak Hadi, jangankan masuk, menatap Seksi Terlarang saja tidak ada yang berani.
Lalu, bagaimana aku bisa menyelinap dulu? Yah, anggap saja aku sedang hoki waktu itu. Tapi, sekarang beda. Aku punya alasan untuk keluar masuk Seksi Terlarang ini. Jadi tidak ada lagi rasa waswas ketika masuk ke dalam sana.
"Siang, Pak," sapaku berusaha untuk basa-basi. "Saya minta izin untuk masuk ke Seksi Terlarang. Soalnya saya ingin mencari beberapa bahan untuk makalah saya. Mungkin beberapa ada di Seksi Terlarang ini."
"Oh, ya, Sifari, ya," kata Pak Hadi. Ia sedang memilah-milah buku sambil melihat layar computer yang berada di depannya. Sepertinya dia sedang melakukan input data buku. "Silakan saja. Tapi, sebelum jam makan siang, saya harap keperluan kamu sudah selesai. Karena perpustakaan akan saya kunci."
"Baik, siap, Pak," jawabku.
Aku pun membuka pintu yang berada di samping meja Pak Hadi. Kutekan saklar yang berada di dekat pintu masuk. Menjadi teranglah seluruh ruangan itu. Ruangan yang memiliki banyak rak buku. Rak di ruangan ini memang sangat banyak. Meskipun tidak sebanyak yang ada di luar Seksi Terlarang. Buku-buku yang ada di atas rak ini banyak yang sudah berdebu. Karena memang jarang ada yang menyentuh.
Aku berjalan mengarungi setiap rak di setiap lorong. Mencari buku yang pas untuk jadi bahan referensi. Lama kelamaan, aku pun tiba di lorong dan rak yang belum pernah kujamahi sebelumnya. Mataku menatap atas dan bawah untuk mencari buku. Tiba-tiba, langkahku terhenti. Mataku terbelalak, melihat suatu hal yang tidak lazim. Suatu hal yang seharusnya tidak berada di perpustakaan. Sebuah konsol game.
Aku memang tidak pernah punya konsol game dari kecil. Orang tuaku tidak pernah mengizinkanku untuk membelinya. Tapi, bukan berarti aku belum pernah melihat konsol gam sebelumnya. Bentuk konsol game yang ada di hadapanku saat ini, mirip sekali dengan 'SlayPation 1'. Konsol yang lumayan nge-hits waktu aku kecil. Sekarang sudah sampai ke model keempatnya saja. Tapi, aku masih ingat betul bentuknya. Dengan kompartemen CD yang membuka ke atas dan berada ditengah-tengah konsol, serta warna abu-abu yang khas itu.
Konsol itu berdebu. Aku pun menyapu debu yang ada di atas konsol itu. Ketika debu sudah tersingkir, aku merasa janggal. Tulisan 'SlayPation' yang seharusnya ada di atas konsol itu tidak ada. Yang ada hanyalah tulisan berwarna emas, "LEGEND OF HYTHENA".
To be continued…
Next: Enter the New World.