Chereads / RE:VERSE / Chapter 28 - 7. Werebeast

Chapter 28 - 7. Werebeast

Selama tiga ribu tahun terakhir beberapa daftar nama dari orang-orang kuat selalu aku tandai sebagai bagian dari penghormatanku pada mereka. Selain Hestia, beberapa makhluk lain seperti Heaven Dragon God dan Glastila adalah nama-nama yang sampai saat ini tidak mungkin aku lupakan. Bisa bertarung satu lawan satu dengan mereka adalah suatu berkah tersendiri bagiku.

Beberapa daftar nama yang masih aku ingat memang benar-benar memiliki sosok yang nyata di dunia ini. Namun, di antara nama-nama itu, entah bagaimana, muncul beberapa nama baru yang sama sekali tidak aku kenali.

Mungkinkah mereka tidak menampakan diri di masa sebelum aku dikirim kembali ke masa lalu? Ataukah mereka sudah mati dan masa lalu telah berubah akibat campur tangan sihir ilusi misterius yang digunakan oleh Sang Pahlawan?

Aku jatuh ke dalam pemikiranku sendiri saat kami berempat masuk ke dalam bangunan guild.

Sejak tadi malam, saat Alma melaporkan hasil temuannya, satu nama misterius yang sama sekali tidak aku kenali kembali menambah daftar nama dari orang-orang yang mungkin dapat mengancam keselamatanku di masa depan. Walaupun dia bukan termasuk salah satu dari Enam Pendeta, pengetahuannya yang luas tentu saja tidak bisa aku anggap remeh.

Aku bukanlah orang yang dengan bodohnya meremehkan hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran. Seseorang yang lemah sekalipun tentu saja dapat membalikan keadaan dengan sebuah taktik. Jadi, mempelajari sosok ini lebih dalam haruslah menjadi salah satu prioritasku. Lagipula, terakhir aku meremehkan seseorang yang jauh lebih lemah dariku membuatku berakhir di masa lalu.

"Selamat datang di guild petualang. Saya adalah resepsionis Anda. Ada yang bisa saya bantu?"

Seorang gadis berambut cokelat membungkuk sebagai tanda penghormatan. Dia tersenyum ramah seraya menatap hangat pada kami dengan kedua bola mata cokelatnya. Rambutnya yang kemarin kusut kini telah terawat kembali dan diikat dengan gaya rambut twin tail. Walau aku tidak tahu selera para manusia, secara pribadi aku menganggapnya sangat cocok dengan sebuah gaun abu-abu yang dia gunakan.

"Belle, bagaimana harimu? Apakah kau baik-baik saja?" Alma bertanya padanya seraya menampilkan senyuman yang manis.

Semua orang tentu saja menghentikan setiap kegiatannya dan sedikit mencuri pandang ke arah kami. Hal ini tidak aneh mengingat Alma sudah menjadi rahasia umum di antara para petualang. Jadi, aku memutuskan untuk mengabaikan semua mata yang menaruh perhatian padanya. Namun, tampaknya hal ini membuat Gabriel dan Hellen menjadi gelisah.

Di antara percakapan ringan yang kami lakukan bersama dengan gadis resepsionis yang baru saja memulai pekerjaannya hari ini, sebuah suara yang begitu familier memenuhi isi kepalaku. Aku mengenalinya sebagai sebuah sihir telepati dan langsung fokus hanya pada suara tersebut.

[Gadis bernama Carmen berada di salah satu kursi. Dia berambut cokelat dan memakai jubah seorang pendeta.]

Kalimat singkat seperti itulah yang langsung masuk ke dalam pikiranku. Tempo ucapannya memang sangat cepat dan sedikit tidak jelas. Mungkin karena efek dari Alma yang mengirimkan telepati di tengah pembicaraan yang dia lakukan dengan Isabelle. Oleh karena itu, aku memilih untuk tidak membalas hasil laporannya dan langsung pamit pada mereka untuk mendekati seseorang yang dia maksud.

Carmen Estrella Campbell adalah nama yang benar-benar asing di telingaku. Selama tiga ribu tahun aku di dunia, tak sekali pun aku mendengar nama ini pernah disebutkan. Sama seperti Demigod dan Robbert, sosok ini benar-benar baru pertama kali aku temui. Tampaknya banyak sekali perubahan yang terjadi di dunia baru ini.

Mengingat kembali apa yang disampaikan oleh Alma, kelihatannya gadis ini adalah seorang pendeta dari ordo. Dia mungkin cukup kuat untuk menjadi rekan kerja Robbert. Namun, kenapa gadis pendeta --yang bukan seorang petualang-- sepertinya berada di tempat ini?

Yah, hal sepele semacam itu hanya membuatku sedikit penasaran saja. Sama sekali tidak ada sesuatu yang penting di dalamnya.

"Em, permisi. Boleh aku duduk?" Aku bertanya pada seorang gadis yang tampak sibuk membaca sebuah buku tua di mejanya.

Bentuk wajah dan baunya benar-benar asing. Aku yakin bahwa sebelum diriku dipaksa kembali ke masa lalu, kami memang tidak pernah bertemu satu sama lain. Selain itu, dia sama sekali tidak memancarkan aura apa pun. Sama persis seperti apa yang dilaporkan oleh Alma padaku tadi malam.

"Tentu saja, aku senang jika ada laki-laki muda yang mendekatiku." Dia tersenyum ramah, menunjuk salah satu kursi cokelat yang berhadapan dengannya.

Walaupun usiaku ratusan ribu tahun lebih tua darinya, penampilanku saat ini tidak lebih dari sekadar anak laki-laki berusia enam belas tahun. Jadi, adalah hal yang normal jika gadis itu menganggap bahwa diriku lebih muda darinya. Lagipula ini bukanlah sesuatu yang patut untuk dipermasalahkan.

Mendengar persetujuannya membuatku tanpa ragu untuk duduk di kursi tersebut. Kini aku dan dirinya hanya dipisahkan oleh sebuah meja kayu bundar kecil yang dipenuhi piring-piring berisi berbagai macam sayuran segar.

Tampaknya dia adalah seorang vegetarian.

"Sebelumnya, perkenalkan, namaku Yehezkiel." Aku mengenalkan diriku padanya terlebih dahulu. Namun, dia memotong kalimat yang akan aku ucapkan kemudian.

"Kakak kandung Almaria, benar?"

Atas pertanyaannya tersebut, aku menganggukan kepala.

"Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan padamu. Kau boleh memercayainya atau tidak. Namun, tolong dengarkan aku baik-baik."

Gadis itu menggeser salah satu dari dua gelas bambu berisi cairan berwarna merah ke arahku. Selain itu, kata-kata dan gerak tubuhnya mencerminkan orang yang memang sudah bersiap untuk membuka topik. Hal ini membuatku yakin bahwa dia telah merencanakan semuanya dengan baik bahkan sebelum kami berada di sini.

Menyadari itu semua membuatku sedikit terkesan padanya.

"Senjata yang digunakan oleh adikmu memiliki efek samping yang sangat berbahaya. Dia mungkin dapat menahan dua atau tiga senjata itu sekaligus. Namun, jangan biarkan dia menggunakan semuanya. Kalau tidak, aku tak berani menjamin bahwa dia akan tetap menjadi manusia."

Suaranya terdengar sangat pelan dan penuh nada kehati-hatian. Mungkin dirinya tidak ingin ada seseorang yang menguping pembicaraan kami. Untungnya, semua orang masih fokus mendengarkan percakapan yang dilakukan Alma dan Isabelle di meja resepsionis.

Mendengar pernyataan yang dia ucapkan dengan raut wajah serius membuatku sedikit tertarik. Gadis ini jelas mengetahui beberapa detail tentang demoniac weapons. Jadi, mengingat namanya untuk beberapa alasan menjadi hal yang memang harus aku lakukan.

"Sejauh apa yang kau tahu tentang senjata-senjata itu?" Aku bertanya penuh penasaran.

Mendengar pertanyaanku, Carmen menghela napasnya seraya memejamkan mata untuk beberapa saat sebelum menjawab.

"Belum saatnya kau mengetahui masalah semacam ini. Aku tidak mau hal-hal kejam membebani pikiranmu. Biarkan kami, orang-orang dari ordo yang mengurusnya. Sebagai seorang kakak, peranmu hanyalah untuk mencegah adikmu bergantung pada senjata-senjata terkutuk itu."

Tepat beberapa saat setelah gadis itu menyelesaikan kalimatnya, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain seraya menyunggingkan senyum tipis. Melihat gerakannya membuatku yakin bahwa ada sosok lain di belakangku. Jadi, aku memilih untuk tidak melanjutkan percakapan kami walaupun masih banyak sekali hal yang ingin aku tanyakan padanya.

"Selamat pagi, Tuan Pendeta. Maaf mengganggu waktu Anda. Namun, kami perlu mendiskusikan sebuah quest dengan El."

Menurut suara yang kudengar, itu adalah suara Gabe. Namun, nadanya yang begitu sopan membuatku agak tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Jadi, aku memalingkan wajahku sesaat untuk mengonfirmasi dua orang gadis dan seorang bocah laki-laki yang kini berdiri tepat di sampingku.

"Ah, silakan. Dan, walaupun aku adalah salah satu dari sedikit pendeta yang bekerja di bawah perintah langsung Sang Demigod, tidak usah terlalu sopan seperti itu padaku. Bicaralah dengan santai."

Gabe dan Hellen tampak terkejut dengan kalimat yang wanita ini ucapkan. Sementara itu, raut wajah Alma benar-benar tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Dia terlihat berusaha untuk terkejut juga. Namun, sayangnya iblis ceroboh itu gagal melakukannya. Untung saja dia menempati posisi paling belakang sehingga Gabe dan Hellen tidak menyadarinya. Lagipula sekalipun posisinya di depan, kurasa mereka berdua tetap tak akan menyadarinya. Hal yang aku khawatirkan justru kesan Sang Pendeta terhadap raut wajah Alma.

Lupakan saja, menurutku sesuatu seperti ini sama sekali tidak penting.

Melihat bagaimana Gabe dan Hellen bereaksi, aku jadi sedikit penasaran akan satu hal. Sebenarnya seberapa istimewa status yang disandang orang ini di mata para penduduk?

"Ta-tapi, berbicara santai dengan salah satu pendeta dari Kuil Ortodox terlalu tidak sopan. Kami tidak cukup kurang ajar untuk melakukan hal semacam itu!" Hellen buru-buru menjelaskan dengan suara yang cukup keras.

Setelah itu, Gabe dan Hellen menunduk penuh hormat padanya. Alma yang masih berdiri kebingungan segera mengikuti apa yang kedua orang itu lakukan dengan sedikit canggung.

Tampaknya status antara pendeta kuil biasa dengan kuil tempat tinggal Demigod memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini cukup normal mengingat hampir semua kedudukan juga memberlakukan hal yang sama. Maksudku, seorang prajurit kerajaan dari ibukota tentu saja akan dianggap lebih mulia daripada prajurit dari Orde Bianca yang ada di Kota Trowell, bukankah begitu?

Aula ini kembali ramai dengan bisikan dari berbagai arah. Para petualang tampaknya baru menyadari bahwa ada salah satu orang penting di antara mereka. Jadi, tentu saja hal ini membuat suasana kembali sedikit gaduh. Namun, tidak separah ketika sosok Alma dikenali sebagai Putri Iblis.

Kelihatannya pesona Alma masih jauh lebih tinggi daripada gadis ini. Seharusnya dia merasa sedikit bangga akan prestasi tidak berguna ini dan memilih untuk menyombongkan diri alih-alih ikut membungkuk padanya. Yah, semua itu tidaklah penting sebenarnya.

"Aku hanya seorang gadis biasa yang terpaksa mengikat kontrak dengan kuil. Jadi, aku terpilih bukan karena kemampuanku sebagai seorang pendeta, melainkan karena bakat sihir unik yang aku miliki. Setelah kontrakku selesai, aku akan kembali menjadi diriku yang dulu. Maka dari itu aku minta kalian untuk memperlakukanku dengan biasa."

Carmen menjelaskan situasi yang menimpanya sekaligus dengan alasan yang mendasari kenapa kami tak perlu repot-repot menghormatinya.

Sebenarnya aku sama sekali tidak peduli dengan kisah hidup apa yang telah dia alami. Namun, mengetahui bahwa dia dipaksa untuk tunduk di bawah kepemimpinan ordo membuatku sedikit lega. Kau tahu? penundukan orang melalui kekerasan biasanya hanya akan menimbulkan penghormatan palsu. Jadi, aku yakin kesetiannya terhadap ordo tidak sekuat yang aku bayangkan sebelumnya.

"Jadi, apa yang ingin kau diskusikan padaku?"

Mengucapkan sebuah pertanyaan dengan maksud untuk sedikit mengubah topik, pembicaraan kami mulai mengarah pada sesuatu yang cukup membuatku sedikit tertarik.

------

Senin, 05 November 2018

Pukul 12:36 PM

Riwayat Penyuntingan

• 04 Februari 2019

• Minggu, 21 April 2019