Strigifavorus, adalah monster legendaris yang ada di dalam mitos bangsa Elvian. Dikatakan bahwa monster burung hantu itu adalah salah satu peliharaan Dewa, sebagian orang mengatakan perwujudan para Dewa. Tidak ada yang pasti mengenai asal muasal Strigifavorus. Bahkan bagi bangsa Elvian yang berumur panjang pun, menganggap hal itu sebagai dongeng belaka. Hal itu menandakan, cerita tentang Strigifavorus berasal dari masa lampau yang sangat jauh sekali. Begitu jauhnya hingga tak tercatat dalam buku sejarah bangsa Elvian.
Namun hari ini bangsa itu dibuat terkejut tidak percaya, karena dapat menyaksikan secara langsung makhluk yang disebut di dalam mitos. Ciri-ciri monster yang meneror kota mereka pun sama persis. Strigifavorus dalam mitos disebutkan memiliki dua pasang sayap yang besar, hingga dapat menciptakan angin tornado yang mampu menghancurkan mahkluk-mahkluk iblis di masa lampau. Ia juga dikatakan memiliki raungan angin yang dapat menghempaskan apa pun yang ada di depannya. Sungguh apa yang menghancurkan kota mereka adalah perwujudan Strigifavorus dalam legenda.
Para penduduk dibuat panik dan ketakutan, teror yang diciptakan makhluk legenda itu begitu besar. Sebagian besar penduduk percaya itu adalah sungguhan, karena itu mereka berlarian menyelamatkan diri keluar dari kota. Tidak ada gunanya melawan, semua akan binasa pada akhirnya. Itulah yang ada di pikiran orang-orang.
Namun ada sebagian kecil dari bangsa Elvian yang masih memiliki semangat juang. Mereka mencoba menghentikan atau setidaknya memperlambat kerusakan pada kota yang mereka tinggali. Beberapa mencoba memadamkan api yang berkobar dengan Esze, berharap jilatan api 'kan berhenti melahap pepohonan yang menjadi tempat mereka berpijak. Ada juga yang rela membantu evakuasi para penduduk dan mengarahkannya ke jalur pelarian. Tidak lupa dengan orang-orang yang mencoba untuk menghentikan gerakan Strigifavorus dengan melayangkan anak panah dan serangan Esze ke atas langit, meskipun tampaknya sia-sia.
Yang menakjubkan, tidak semua dari mereka adalah penjaga kota atau tentara. Tak sedikit juga rakyat sipil yang berperan penting dalam hal ini. Mereka mengabaikan rasa takut demi menolong sesama dan kota ini dari kehancuran.
Melihat para telinga panjang itu saling bahu-membahu untuk mengatasi krisis ini, membuat hati Indra tergerak. Ia ingin turut berjuang membantu para Elvian meskipun dirinya adalah manusia. Mungkin para penduduk akan bertanya-tanya tentang kemunculan ksatria manusia di kota mereka. Namun ia sudah bertekad akan membantu dan mengesampingkan akibat yang belum terjadi.
Indra berdiri di jalan kayu besar di atas pepohonan. Dahulunya tempat ini adalah area pasar yang sarat penduduk, namun kekacauan terjadi dan menghancurkan sebagian area ini. Pria itu tidak bisa maju lebih jauh lagi, di depannya api berkobar dengan ganas. Suhu di tempat itu pastilah sangat panas, ditambah lagi Indra memakai baju zirah yang membuat temperatur badannya semakin naik. Namun ia menahannya, pria itu tetap tenang dan berkepala dingin. Tatapannya ia arahkan ke atas langit di mana Strigifavorus tengah terbang vertikal ke atas dengan kecepatan tinggi.
"Sepertinya burung itu akan menukik ke bawah. Ini akan jadi kesempatan bagus!" gumam Indra dengan pelan.
Tepat sesuai dugaannya, Strigifavorus seketika merubah arah terbangnya. Menukik tajam ke bawah dengan secepat kilat. Mata manusia biasa nyaris tak dapat mengikuti pergerakannya. Tapi Indra berbeda, setelah nyaris satu tahun digembleng di akademi ksatria, kini ia memiliki refleks dan penglihatan yang bagus. Indra sudah tahu arah ke mana Strigifavorus itu akan bergerak.
Tentu ia tak akan gegabah dengan menerjang maju. Indra dididik di pelatihan ksatria untuk menghadapi segala macam situasi di medan pertempuran. Berbuat bodoh tak sama dengan bernyali tinggi. Karena itu ia diajarkan untuk tetap tenang dan mengamati situasi, lalu mengambil keputusan yang tepat. Mungkin ini adalah pertempuran asli yang pertama baginya melawan monster raksasa seperti itu, namun kepalanya tetap dingin dan tidak sembrono.
Pria itu berjalan mundur menjauhi titik radius tempat Strigifavorus akan mendarat. Kobaran api menjilat apa pun yang ada di sekitarnya, asap pun sudah merebak ke segala arah dan membuat Indra kesulitan bernapas. Ia segera mengenakan sepotong kain untuk menutupi mulut dan hidungnya.
Satu detik kemudian Strigifavorus menghantam pohon Hanarusa Raksasa yang berada tak jauh darinya. Pohon itu tumbang seketika, batangnya yang tercabut dari tanah menempel ke pohon sebelahnya yang tengah terbakar, menjadikan si jago merah mendapatkan makanan tambahan.
Indra menatap lurus Strigifavorus yang ada di depannya. Monster burung hantu itu kini menunjukan gelagat aneh dengan membusungkan dadanya. Ksatria berbaju zirah itu lekas tahu apa yang akan dilakukan Strigifavorus. Karena itu ia segera menghindar ke samping menjauhi area serang sang monster, ke balik reruntuhan batang pohon Hanarusa yang jatuh melintang.
Sesuai dengan insting tajam yang Indra miliki, Strigifavorus mengeluarkan hembusan angin kencang dari mulutnya. Bukan hanya angin biasa saja, melainkan pisau-pisau angin yang melesat ke berbagai arah menghancurkan apa pun yang ditemui. Beruntung Indra sudah melebar dari jangkauan serang Strigifavorus, ia selamat tanpa luka sedikit pun. Setelah mengintip dari balik batang pohon Hanarusa dan merasa sudah aman, ia keluar dari persembunyiannya.
Pria itu sedikit terkejut karena melihat dampak kerusakan serangan barusan begitu dahsyat. Ranting-ranting pohon patah tak beraturan, batang-batang pohon tersayat lebar, jembatan ataupun jalan kayu hancur berantakan. Para penjaga kota yang tengah bertarung pun tidak luput menjadi korbannya. Ada beberapa dari mereka yang tewas terpotong-potong, namun kebanyakan selamat dari maut.
Kemudian para penjaga kota bergegas keluar dari tempat persembunyiannya kemudian mendekati monster. Mereka yang membawa lembing berlari dari jauh dan mengambil posisi ancang-ancang, sebelum akhirnya melemparkan lembing ke arah kepala sang Monster. Sementara orang-orang yang bersenjata pedang, turun dari atas pepohonan dan memangkas jarak dengan dua pasang sayap milik Strigifavorus. Mereka berniat untuk memotong sayap Sang Monster guna membatasi mobilitasnya.
Pedang-pedang mereka memang mampu melukai Strigifavorus hingga mengeluarkan darah dan menjerit kesakitan, namun tak sampai memotong sayapnya. Lemparan lembing dan anak panah pun masih belum bisa menumbangkan burung hantu raksasa itu. Strigifavorus itu memekik kencang, dua pasang sayapnya dikembangkan dan bersiap untuk terbang. Sepertinya dia mulai merasa tidak nyaman berada di atas tanah bersama dengan orang-orang yang ingin membunuhnya.
Namun Indra yang menyadari niat Sang Monster, tidak membiarkan hal itu terjadi. Ksatria itu berlari menuju dahan yang tinggi yang berada tepat di atas kepala Strigifavorus. Setelah berada di titik buta si Monster, Indra menjatuhkan dirinya tanpa ragu. Memanfaatkan berat tubuh dan gaya gravitasi, ia mengayunkan pedang ksatrianya diiringi dengan gerakan memutar badan di udara.
Pedang milik Ksatria Kerajaan Lurivia bukanlah pedang biasa. Kualitasnya tiga tingkat lebih baik dibandingkan dengan pedang yang biasa dijual di toko senjata atau pandai besi. Karena pihak Kerajaan Lurivia memiliki tim pandai besi khusus yang dapat membuat pedang dengan lapisan Diamantite, logam terkuat yang ada di Juiller. Pedang biasa pun akan mudah patah jika beradu dengan pedang ksatria.
Dengan kecepatan jatuh yang tinggi, Indra memberi potongan vertikal pada tubuh burung hantu raksasa itu. Sedetik kemudian, sayap kanan atas milik Stragifavorus jatuh ke atas tanah dengan mengucurkan darah segar dari luka potongan. Waktu seakan membeku. Para Elvian penjaga kota di sekitar terdiam dan ternganga melihat aksi Indra. Mereka tak bisa menggerakkan tubuh, seluruh saraf yang ada di badan mereka berhenti sejenak karena takjub dengan apa yang baru saja terjadi. Sebelum akhirnya seseorang tersadar dengan sosok Indra.
"Manusia? Kenapa bisa ada ksatria manusia di sini?" pekik salah satu penjaga kota dengan bahasa Elvian.
"Eh, benar! Dia manusia!"
"Apa yang dia lakukan di sini?"
"Apa munculnya monster ini juga adalah ulahnya?"
Kalimat-kalimat sinis bersahutan dari mulut kaum telinga panjang itu. Nyaris seluruhnya mengutarakan kebencian dan ketidaksukaan. Bagaimana tidak? Waktu kebangkitan Strigifavorus yang mengamuk dan kemunculan seorang ksatria manusia di kota mereka, datang secara bersamaan. Wajar para Elvian menuduh Indra sebagai dalang kejadian ini. Untungnya saja Indra tidak memahami bahasa Elvian, sehingga pria itu menganggapnya tidak lebih dari sekedar angin lalu.
Strigifavorus mengerang kesakitan, ia meraung-raung tak karuan. Tubuhnya sempoyongan menabrak beberapa pohon Hanarusa di sekitarnya termasuk beberapa yang terbakar. Membuat bulunya tersulut api di beberapa bagian. Namun tak butuh waktu lama bagi monster legendaris itu untuk menahan rasa sakit dan menguasai dirinya lagi. Kini matanya ia tautkan pada sosok Indra yang berdiri di atas pelataran luas yang dibangun di antara pepohonan.
Kali ini ia menarik kepalanya dalam ke belakang, seperti posisi seseorang yang akan bersiap untuk memukul. Melihat posisi musuh seperti itu, Indra sudah dapat menerka jenis serangan apa yang akan burung hantu itu lancarkan. Ia berniat untuk menyingkir. Sekali lagi, instingnya sungguh berperan penting dalam melihat kemungkinan situasi yang akan terjadi. Pria itu merasa kalau dirinya tak akan sempat untuk keluar dari zona serang musuh. Karena itulah ia bersiap dalam posisi kuda-kuda, dan berniat untuk menghindari serangannya di saat yang sangat tipis.
Sepersekian detik kemudian, Strigifavorus benar-benar melancarkan serangan yang Indra duga sebelumnya. Burung hantu itu melontarkan paruh besar nan kuatnya ke depan. Kecepatan itu mungkin sulit dilihat oleh orang awam, berbeda dengan Indra yang sudah dilatih sedemikian rupa di Akademi Ksatria. Matanya dapat melihat jelas pergerakan kepala burung hantu itu. Pria itu pun bersiap untuk melemparkan dirinya ke samping meskipun ia yakin tidak akan berhasil seratus persen.
*BLUGH!*
Tiba-tiba datang segumpal bola angin yang melesat entah dari mana, menghantam kepala Strigifavorus dan membuat monster itu terpelanting ke samping.
Indra yang terkejut, melihat ke arah sumber gumpalan angin itu berasal. Saat itulah pria itu mendapati Anggi yang berdiri tak jauh di belakang, mengacungkan tangannya sembari memegang sebuah tongkat berwarna hitam dengan ukiran berwarna gading.
"Anggi!?"