Chapter 51 - Chapter 51 "Putus Asa"

Setelah tenagaku kembali, setidaknya cukup kuat untuk berdiri dan bergerak, aku bergegas pergi ke arah Kota Arnest. Pastinya aku menunggangi kuda bersama Indra. Berjalan jarak jauh dengan kondisi badan yang belum pulih sangat tidak memungkinkan. Karena itulah Indra menyarankanku untuk naik kuda bersamanya. Kami berdua pergi duluan, sementara yang lain tertinggal di belakang. Karena semua barang-barang kami dimuat di atas kuda milik Erik, jadi ketiganya mau tidak mau harus berjalan kaki.

Kuda perang milik Indra dengan gesit menaiki dan melompati akar-akar pohon Hanarusa Raksasa dengan mudahn. Sungguh pergerakan yang tak akan mungkin ditiru oleh manusia, apalagi bagi orang yang masih cedera sepertiku.

Sepanjang perjalanan aku menyadari hal yang tidak biasa terjadi di hutan ini. Entah kenapa air yang biasanya membanjiri tempat ini setelah matahari tenggelam menghilang!

"Airnya ... surut," ucapku lirih, yang tidak menyadari pikiranku terselip keluar.

"Awalnya hutan ini tergenang air, namun mendadak surut bersamaan dengan kemunculan monster itu."

Kata-kata Indra menggelitik gendang telingaku, embusan napasnya menyentuh bagian belakang leher dan membuatku geli. Saat ini aku tengah mengendarai kuda yang sama dengan pria botak itu. Jujur saja, posisi ini membuatku tak nyaman. Awalnya aku ingin duduk di belakangnya, namun pria itu bersitegas melarangku. Alasannya adalah menunggangi kuda sama sekali berbeda dengan mengendarai sepeda motor. Apalagi dengan medan hutan ini yang tidak teratur. Ia khawatir aku akan terjatuh di tengah perjalanan nanti.

Tidak ingin memperpanjang urusan, aku mengiyakan usulannya.

Semakin lama, kami semakin mendekat ke arah tujuan. Dari kejauhan aku melihat awan-awan yang menggantung di angkasa menyala terang seperti pagi hari. Namun saat ini matahari baru saja tenggelam. Asap-asap membumbung tinggi dari arah kota dan menyebar mengikuti arah angin. Walau jaraknya masih jauh, dadaku merasa sesak. Bukan karena asap, melainkan sesuatu yang lain.

Membayangkan Kota Arnest luluh lantah karena ulahku ... membuatku merasa ngeri.

Indra sudah bercerita padaku tentang kondisi kota yang kacau balau oleh amukan monster burung hantu yang sebelumnya kulawan. Aku tidak bisa membayangkannya jadi nyata. Akan ada banyak perasaan bercampur aduk jika itu terjadi, dan yang paling besar mungkin adalah rasa bersalah.

"Apa tindakanku ... salah?" ucapku lirih yang lagi-lagi tak sadar telah terselip keluar dari dalam pikiran.

"Anggi, aku tidak akan membenarkanmu! Aku juga tidak akan menyalahkanmu. Tidak ada yang mengira hal ini akan terjadi. Jujur, aku tak berani mengatakan kejadian ini adalah kecelakaan. Itu sama saja meremehkan nyawa-nyawa yang sudah melayang dan membenarkan tindakanmu."

Aku melirik ke belakang untuk sesaat. Dari ujung mata, aku bisa melihat jelas wajah Indra yang tampak dewasa dan berwibawa. Begitu gagah dan mempesona layaknya ksatria utama sebuah kerajaan.

Ucapannya benar. Aku tidak boleh membenarkan perbuatanku dengan mengatasnamakan 'kecelakaan'. Aku dengan sadar mengusik tempat monster burung hantu itu bersemayam demi kepentingan pribadi. Tak bisa dipungkiri, kekacauan di Kota Arnest adalah buah dari campur tanganku juga.

Yang paling kutakutkan adalah banyaknya orang yang akan menjadi korban. Jika korban yang jatuh semakin banyak, aku mungkin akan dihantui perasaan bersalah seumur hidup. Pada saat ini pun tanganku tak berhenti gemetar membayangkan akan separah apa keadaan di sana.

Detik demi detik berlalu. Semakin aku bergerak mendekati kota, perasaanku semakin tak karuan. Bangunan-bangunan mulai terlihat, amukan monster itu sepertinya belum sampai kemari. Terlihat dari utuhnya rumah-rumah yang ada di pinggir kota ini.

Indra menghentikan laju kudanya dan turun dari atas pelana, kemudian membantuku turun dari atas kuda. Aku melihat lebih jauh ke pusat kota. Api berkobar di mana-mana, asap pekat membumbung tinggi ke angkasa. Untungnya saja angin tidak bertiup kemari, kalau tidak aku mungkin akan dikepung asap dan kesulitan bernapas. Kuseret kakiku memanjat anak tangga yang akan membawaku ke atas pepohonan. Lalu meniti jalan kecil dan jembatan kayu yang menghubungkan antar pohon.

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke tengah kota. Di sana aku melihat kengerian yang selama ini kubayangkan. Banyak pohon Hanarusa yang tumbang dan tercabut dari akarnya, tidak sedikit pula yang hancur tak berbentuk. Padahal di atas pohon-pohon itu terdapat bangunan yang sarat penduduk. Api menjilati nyaris seluruh pusat kota. Karena Kota Arnest dibangun di atas pohon, maka tak sulit bagi lidah-lidah api untuk melahap pepohonan, apalagi dibarengi oleh angin yang bertiup cukup kencang. Gendang telingaku dipenuhi jeritan dan minta tolong. Para penduduk kota tampak berhamburan dan mencoba melarikan diri keluar kota. Semua orang tak ragu untuk saling sikut dan berebut melewati jalan dan jembatan yang kecil. Bahkan ada beberapa orang yang terjatuh dari atas pohon karena saling berdesakan.

Di tengah kekacauan itu, badanku terjatuh berlutut di atas jalan kayu tatkala ada seseorang berlari dan menyenggolku. Aku tidak mampu berdiri, kepalaku menunduk ke bawah. Bukan karena kehabisan stamina, melainkan rasa bersalahlah yang membuat kedua kaki ini—kehilangan tenaga untuk menopang badan. Tubuhku sulit digerakkan. Seakan-akan ada tangan para penduduk yang kehilangan nyawanya karena perbuatanku, membelenggu seluruh badan ini.

Aku jatuh dalam kehampaan. Jauh ke dalam dunia penuh keputusasaan di mana banyak sekali emosi negatif berkumpul di dekatku.

Apa perbuatanku salah?

Apa memang sebaiknya perjalanan mencari Kristal Roh ini tidak dimulai sejak awal?

Saat aku lahir di Bumi, negaraku adalah tempat yang damai. Menjalani hari-hariku sebagai pelajar sekolah di mana aku tidak mengenal pertumpahan darah sama sekali, adalah hal yang sangat menyenangkan dalam hidup. Memang ada hal seperti perang atau kasus kriminal, namun aku hanya melihatnya di televisi. Belum pernah sekalipun aku melihat orang kehilangan nyawa dengan mataku sendiri. Entah mengapa aku baru tersadar hal sekecil itu patut disyukuri.

Bahkan ketika aku tinggal di dunia Juiller ini, memang aku menjalani kehidupan sebagai kriminal kecil di dunia bawah. Tapi aku tidak pernah sekalipun membunuh seseorang. Nyaris menghilangkan nyawa Elzhar pun membuatku ketakutan. Apalagi dengan ratusan orang yang tewas di depan mata karena ulahku sendiri?

Andai saja aku tak datang ke kota ini!

Andai saja aku tak mencari tahu tentang Kristal Roh!

Andai saja aku tak memungut pin bodoh itu!

Jika itu terjadi, aku pasti takkan berada di dunia mengerikan ini. Aku tak akan datang ke kota ini dan membunuh penduduknya. Aku menyesal. Benar-benar sangat menyesal. Aku tidak bisa menahan beban rasa bersalah dan tanggung jawab yang terlampau besar ini.

Siapapun, tolong hentikan semua iniiiiiiiii!!

"Anggi!"

Sedetik kemudian kudengar suara Indra yang tinggi. Begitu kencangnya hingga suaranya terdengar jelas di antara kekacauan ini. Aku mendongak pelan-pelan ke atas, aku dapat melihat mata pria ini yang menusuk tajam. Telapak tangannya yang besar ia letakkan di kepalaku, mengusapnya kencang, lalu ia berjongkok hingga pandangannya denganku berada di ketinggian yang sama.

Apa? Apa yang ingin kau coba lakukan? Kau ngin menghiburku? Kau pikir kau bisa? Yang kuinginkan hanyalah menghentikan semua hal ini entah apa pun caranya.

"Anggi!" tukas Indra, tangannya belum lepas dari kepalaku. "Aku tahu kau sangat terpukul. Akan kucoba menghentikan monster gila itu sebelum membinasakan kita. Sementara itu kau di sini tenangkan dirimu dulu. Setelah pikiranmu dingin, kau bebas melakukan apa pun."

Belum sempat kubalas ucapannya, lelaki itu bangkit dan membalikkan badan. Kemudian berjalan mendekati pusat kota, ke tempat yang tak seorang pun mau berada di sana. Menuju arah yang berlawanan dari semua orang-orang berlari. Punggung pria itu tak gentar sedikit pun. Seakan-akan kegagahan armor ksatria yang ia kenakan sangat menyatu dengan mental baja milik Indra.

Saat ini, itu adalah sosok yang sangat kudambakan. Aku ingin menjadi seperti dirinya. Tanganku tanpa sadar mencoba meraih punggung itu namun tak sampai.