Hans mengangkat bahu dan ke dua tangannya, mengisyaratkan ia tidak mengerti apa-apa. Hibiscus terlihat bingung, ia mengarahkan pandangannya ke arah perginya Atkinson. Beberapa saat berselang suara paraunya terdengar memecah keheningan,"Baiklah tuan, kita harus cepat sebelum gelap datang."
"Kita harus sudah mendapat hewan buruan sebelum malam menjelang!"
"Wah! Berburu? Dengan apakah kita akan berburu tuan Hibiscus?!" Hans terlihat antusias dan telah tanpa ia sadar, melupakan kejadian sebelumnya.
"Tuan Hans jangan panggil aku dengan sebutan tuan! Panggil saja aku pak tua Hib,"
"Nanti akan kutunjukkan!" Kemudian pak tua bongkok itu berjalan ke balkon luar, pohon besar pemikul rumah masih menyusuri hutan, akar-akarnya bergantian keluar masuk tanah seperti bor yang berputar, tiba-tiba pak tua Hibiscus mengangkat tangannya, kemudian meniupkan suara siulan keras.
"Wiiiiiiii!~"
"Kiikik!"
Suara kuda terdengar dari atas langit, langit sore itu masih bercampur antara jingga dan biru tua, masih setidaknya beberapa jam lagi hingga matahari terbenam. Hans secara reflek mengangkat kepalanya, menengadah ke arah suara jeritan kuda yang seakan datang dari langit.
Seekor kuda hitam di penuhi kabut turun seumpama titik hitam dari langit. Sebuah simbol aksara muncul dari punggung telapak tangan pak tua Hib.
๏ฟผ
[1] Hanacaraka jawa berisi kata 'teluk' yang berarti tunduk/takluk.
Hans kebingungan melihat sosok kuda yang dapat terbang di langit, kuda itu di selimuti kumpulan asap hitam yang kontras dengan cahaya matahari yang meski sore tetap memancarkan cahayanya.
Dengan kecepatan yang tinggi ia melintasi langit, bermanuver melewati popohonan tinggi dan kemudian dengan sigap mendarap tepat di samping pak tua Hibiscus. Ia menempelkan mukanya ke arah tubuh kecil pak tua Hib. Kedua tangan keriput milik pak tua Hib pun turut mengelus muka kuda hitam itu, tubuh kuda itu tidak jauh berbeda dengan kuda lainnya, namun yang membuat nafas Hans terhenti adalah kuda itu memiliki sayap hitam legam seperti burung. Tepatnya seperti burung gagak, kuda itu memiliki sayap gagak pada tubuhnya, sedang di bagian tengah kepalanya terdapat aksara yang sama seperti yang berada pada punggung telapak tangan pak tua Hib.
"Dia bernama Praus dia adalah binatang magis dan bukan binatang biasa. Ia adalah binatang magis dengan satu aksara semesta, binatang magis dengan satu aksara biasa dipanggil dengan aksaran. Sedangkan binatang magis tanpa aksara di sebut Niharan."
"Baiklah ayo naik,"
"Praus adalah sahabatku, kau tak perlu khawatir."
"Kami berdua terikat dalam perjanjian, sehingga aku dapat menggunakan aksara semesta miliknya." Ujar pak tua sambil menaikan tubuh Hans ke atas tubuh Praus. Meski pak tua Hib terlihat kecil dan lemah namun ia tetaplah seorang Magi bintang satu atau magi dengan satu aksara,"Aku sedikit berbeda dengan tuan Atkinson dan Canabis, mereka adalah magi, sedangkan aku adalah seorang Sarati[2]." Praus kemudian sedikit menunduk dan merentangkan sayapnya dengan elegan, kedua sayapnya membentang hingga empat dpa (delapan meter), sedang panjang masing-masing sayapnya adalah dua dpa (empat meter). Tubuhnya yang sepanjang satu dpa(dua meter) itu melesat ke udara dengan kuat. Hans berpegangan erat pada tubuh tua Hibiscus.
Keduanya melesat melewati pepohonan kemudian terbang tinggi dan mengatasi pohon-pohon itu, Hans masih menutup matanya karena takut. Ia perlahan membukanya saat merasakan deru angin semilir menyentuh wajahnya, membuat rambutnya yang gondrong terlempar ke kanan dan ke kiri.
"WOAH!!" Ia semakin ketakutan ketika menyadari tubuhnya berada puluhan meter di atas tanah, kakinya gemetar dan ia menutup kembali matanya karena takut. Ia membukanya sedikit untuk mengintip, memastikan ia tak akan jatuh dari atas sana.
Setelah tenang ia baru mulai dapat menikmati keadaan di mana Praus terbang dengan kecepatan tinggi, hanya berselang beberapa menit dan ia mulai terbiasa.
Ketika ia membuka matanya sepenuhnya apa yang menyambutnya menggetarkan tubuhnya, di sisi lain hutan terdapat sebuah sungai kecil namun deras. Seekor mahluk besar tengah minum air di sana, Hans terbelalak, mahluk yang ia lihat benar-benar besar dan membuat jantungnya berdegup.
Mahluk menyerupai badak tengah minum langsung dari aliran deras air yang mengalir di sepanjang sungai. Meski mahluk itu memiliki kepala bercula satu persis seperti badak, namun yang berbeda adalah lengan besarnya yang seperti gorila. Tubuhnya di penuhi kulit tebal berlapis yang membuatnya seperti menggunakan baju zirah. Ukuran tubuhnya mencapai dua kali ukuran badak normal, tingginya hingga tiga dpa(enam meter).
"Tua-" Hans hendak membuka mulutnya.
"Ssst!" Tuan Hib terlebih dahulu menutup mulut kecil Hans dengan kedua tangannya.
Permukaan air sungai tiba-tiba bergetar, sosok lain melompat dari dalam dan melontarkan air naik hingga berhamburan keluar. Seekor katak melompat keluar, katak dengan ukuran hampir sepuluh dpa (dua puluh meter) tubuhnya berwarna ungu, dengan dua mata besar dan tentacle seperti gurita.
Meski terkejut sang badak menghujamkan cula miliknya ke arah perut katak itu, tak lupa pula menghantamkan kedua tangannya seperti pengapit untuk memukul kepala katak yang mengerah ke kepalanya. Namun hal itu sia-sia akibat tubuh sang katak licin akibat di penuhi lendir.
Tubuh licin penuh lendir itu seakan membelokkan kekuatan di balik serangan sang badak, menjawab serangan sang badak mulut katak itu terbuka lebar. Ribuan gigi nampak di sana, namun yang lebih mengerikan adalah lidah besar yang memiliki mata dan tanduk seperti pedang.
"Ummhh" Hans meronta, menutup matanya secara paksa. Kedua tangan pak tua Hib seakan seperti tentakel katak yang merengkuh tubuhnya, ia merasa ialah yang berada di posisi sang badak.
Lidah panjang yang memiliki mata itu kemudian melesat, sementara kedua tangan katak raksasa itu memegang kuat sang badak, lidah itu kemudian menusuk bagian dada sang badak-gorila.
Kulit tebalnya, yang terlihat bagaikan zirah kuat yang melindungi tubuhnya, seakan berubah menjadi tahu empuk yang begitu mudah di hancurkan. Tak lama racun dari lidah itu menghancurkan tubuhnya, dan membuat seluruh organnya mencair, katak itu kemudian meminum seluruhnya dan meninggalakan kulit kering di permukaan tanah.
Hal ini belum selesai terjadi namun pak tua Hib dan Hans telah meninggalkan tempat itu, beruntung Praus merupakan mahluk aerial, yang terbang merintangi angin dan awan sehingga mereka tidak perlu menghadapi mahluk seperti itu.
Setelah lama pak tua Hib melepaskan tangannya dari mulut Hans.
"Pak Hib! Pak Hib!"
"Ayo kita pulang!" Bocah kecil itu menangis seperti bocah sembilan tahun pada umumnya. Meski ia lebih dewasa dari anak seumurnya, itu hanya masalah cara berfikir dan ia melihat kenyataan dan bukan melihat pembunuhan dan pembantaian.
"Tenang tuan Hans! Tenang! Uhuk-Uhuk!" Pak tua Hib sedikit terbatuk ketika Hans dengan panik begerak-gerak di atas tubuh Praus. Ia yang telah renta itu berusaha dengan susah payah menghentikan gerakkan tubuh Hans.
"Kau harus terbiasa dengan hal seperti ini! Kau akan lebih sering melihat hal seperti ini nak!" Pak tua Hibs menenangkan beberapa saat, Praus seakan merasakan dan mengerti keadaan sahabatnya itu dan memperlambat kecepatan ia terbang.
"Tapi.. tapi.." Hans mengusap air matanya, kemudian memaksa dirinya tenang dan setelah beberapa saat ia mulai tenang dan memeluk tubuh Praus. Kuda hitam itu seperti merasakan pelukan hangat Hans, ia melepas suara kecil.
"Neiiiggt!"
"Tuan Hans, Praus bilang kau tak perlu takut! Ia akan menjaga kita!" Pak Tua Hib berujar sambil sedikit tersenyum dan mengusap tubuh kuda bersayap itu.
Perjalanan berlangsung beberapa menit lagi, ketiganya sampai di sisi hutan yang di penuhi pohon-pohon pendek, hanya memiliki tinggi beberapa dpa saja. Suara riuh menyambut mereka, ribuan rusa berlarian melewati hutan membuat suara seperti barisan tentara di medan pertempuran. Rusa-rusa ini memiliki tubuh berukuran dua dpa (empat meter), punggung mereka dilindungi bebatuan padat yang membuat mereka seperti memakai pakaian perang.
"Rusa punggung batu!"
"Hans ini buruan kita!" Pak tua Hib berujar dengan mendekatkan kepalanya ke telinga Hans. Hal ini terjadi akibat angin yang berhembus kencang menghalangi suara keduanya, membuat mereka lebih sulit berbicara dan mendengar satu sama lain.
"Mana?!" Tanya Hans kemudian memalingkan wajahnya ke arah berlawanan mengikuti tangan kanan pak Hib.
"WAH!" Ia menjerit kecil melihat ribuan rusa berlarian melewati hutan, beberapa yang cukup besar menghancurkan pohon-pohon yang menghalangi gerak mereka dengan tanduk besar yang keras dan kuat.
"Pak Hib, lalu bagaimana kita memburu mereka? Jumlah mereka terlalu banyak!" Hans bertanya penasaran, sangking penasarannya ia hingga berbalik menghadap pak tua Hib.
"Praus!" Tak menjawab pertanyaan Hans, pak tua Hib justru memanggil nama Praus.
"Kiikik!" Kuda itu menjawab dengan lantang.
"Mohon berpegangan tuan Hans!" Seketika itu pula kuda itu menukik tajam dengan kecepatan penuh, Hans menutup matanya akibat manuver itu. Tubuhnya seakan di jatuhkan dari gunung tinggi, ia merasa perutnya seakan di kocok-kocok.
"Pak Hib, mengapa kita menghampiri mereka seperti ini?!" Hans semakin ketakutan ketika ternyata Praus justru mengejar para rusa itu dan menghampiri mereka secara terbuka.
"Ommm" Rusa-rusa itu mengeluarkan suara ketika melihat dua sayap besar dan tubuh hitam mengampiri mereka dari langit dengan kecepatan tinggi. Praus mengibaskan kedua sayapnya, bersaman dengan aksara yang terhambur ke udara, dan membentuk kepulan asap.
Dalu[3]
[3] Hanacaraka aksara jawa bertuliskan 'dalu' yang berarti malam.
Dua sayapnya kian membesar, menaungi seluruh kawanan rusa dan memberi kesan bahwa malam datang lebih awal. Aksara itu kemudian mengitari seluruh kawanan rusa.
Semua rusa mulai terlihat panik dan saling menabrakan diri pada dinding hitam yang menyelimuti mereka, berusaha keluar dari kungkungan tirai hitam.
Tubuh Praus membesar hingga tiga kali lipat, kemudian cakarnya yang sebelumnya tak cukup besar kini mampu mencengkram rusa yang tengah berontak itu dengan mudah. Cakar-cakar tajamnya menusuk tajam ke tubuh rusa yang tengah berteriak-teriak sembari menggerakan tubuhnya yang bersimbah darah.
Aksara yang sebelumnya melingkupi kawanan rusa perlahan kembali kepada Praus, kuda bersayap itu terbang tinggi mengibaskan sayapnya dengan kecepatan yang lebih cepat dari sebelumya. Hans hampir saja memuntahkan sarapannya, beruntung ia mampu menahannya. Setelah aksara itu kembali pada Praus selubung yang menutupi kawanan rusa itu pun menghilang dan mereka berlari dengan panik ke bagian hutan yang terdalam.
Hans memandang rusa yang menggantung di cengkraman Praus, ia seakan tak kuat menahan rasa penasarannya dan membuka mulutnya bertanya:
"Pak Hib, rusa itu masih hidup?"
Tanya Hans melihat rusa yang tengah bersimbah darah dalam cengkraman Praus.
"Iya tuan, ia masih hidup."
"Kita harus cepat sebelum-" Sampai sini pak tua Hib terdiam.
"PRAUS!!!" Ia berteriak, memegang tubuh Praus erat.
"Ada apa?!" Hans bertanya panik, memutar kepalanya ke arah sana dan sini mencari sumber ketegangan yang tiba-tiba muncul.
"Tuan Hans berpegangan erat!" Suara pak tua Hibs begitu tegang, di sana terdengar pula ketakuan.
"Bruk!"
"Bruk!"
Entah mengapa pepohonan di belakang mereka mulai tumbang satu persatu, dengan amat kasar seakan sesuatu menabraknya dengan keras. Hans beberapa kali membalikan kepalanya namun tidak menemukan apa-apa.
"Aaapa itu pak Hib?!" Tanya Hans mulai panik.
"Lihat ke depan tuan Hans jangan melihat ke belakang!"
"Praus! Terbang lebih tinggi!" Ketegangan belum reda, namun justru semakin jadi.
Pak tua Hib meminta Prause terbang lebih tinggi, namun baru saja kuda hitam mencoba naik ke atas. Sosok besar muncul di hadapan mereka, sosok yang entah muncul dari mana!
Seekor ular besar muncul keluar, tubuhnya di penuhi api.
"Tidak.." Suara tuan Hib dengan nada bergetar.
"Apaa ituu.. Pak Hib!!!" Hans terbelalak, matanya tak mau tertutup meski ia memaksanya.
"Nipusa! Terlebih lagi ia memiliki dua aksara!" Pak tua Hib terlihat semakin tua akibat wajahnya yang memucat. Rusa buruan di kaki Praus pun terlepas dan jatuh ke bawah, meski begitu mahluk itu seakan tidak tertarik dengan hasil buruan mereka.
"Ia tidak mengincar buruan kita pak? Lalu apa?" Hans berbisik sambil menatap dengan takut ke arah sepasang mata berbalut api itu.
"Ia menginginkan Aksara Praus.."
"LARI!!!!" Pak tua Hib menepuk tubuh Praus, aksara yang sama saat perburuan sebelumya muncul kembali, membuat kepulan asap hitam dalam radius seratus dpa (dua ratus meter). Pak Hib dan Praus dapat berkomunikasi batin karena perjanjian anara binatang magis dan manusia menyatukan keduanya, oleh sebab itu meski sudah renta pak Hib hanya akan mati ketika sang kawan, Praus, menemui ajalnya.
Asap hitam yang muncul seperti sebuah tabir yang ia harapkan dapat menyelamatkan hidup mereka,"Sssssssssissss" Suara desisan terdengar ketika kepulan asap itu menghalangi arah pandang sang ular. Pak Hib berbalik dan hendak melepas nafas lega ketika sebuah ekor berbalur api menghantam mereka dengan keras.
Api di ekor tersebut terbentuk dari jiha dengan cepat membakar sayap milik Praus yang membuatnya menjerit. Prause melindungi tubuh pak tua Hib dan Hans, menggunakan sayapnya. Karena tenaga di balik hempasan itu, tubuh kecil Hans terpisah dengan Praus dan pak tua Hib.
Praus meraung keras akibat luka parah di sayapnya, sedang tuan Hib bangun dan membentangkan aksara miliknya.
Aksara itu bercahaya dan terpecah kemudian masuk ke tubuh Praus, dengan cepat menyembuhkan luka-lukanya, namun raut muka tuan Hib semakin pucat. Darah mulai mengalir dari hidungnya, ia membagi jiha yang ia simpan dalam uma miliknya kepada Praus. Lambang aksara di permukaan tangannya meredup, seperti baterai ketika semakin habis daya. Kini hanya tersisa satu per tiga dari sinarnya yang semula.
Praus sigap berdiri, melindungi tubuh kecil pak tua Hib. Sedang kedua mata Hibiscus dengan cemas mencari kemana terpentalnya Hans. Ular api itu seakan tidak memperdulikan keduanya, entah mengapa ia justru mengejar Hans yang terpental ketika mereka masih di udara.
**
Hans kehilangan kesadaran, beruntung hal itu hanya sebentar. Ia membuka matanya, kepalanya masih terasa pusing. Namun ketika ia membukanya tubuhnya bergidik, seluruh bulu di punggungnya berdiri. Dua pasang mata berbalut api, dengan tubuh panjang mengular hingga beberapa puluh dpa menatapnya tajam. Lengan kanannya tak bisa ia gerakkan, sepertinya mengalami frakture yang cukup serius.
Ia terus merangkak mundur dengan bantuan tangannya, kakinya mendorong-dorong agar tubuh kecilnya terus menjauh dari mahluk besar yang mengejarnya. Air mata meleleh bagaikan hujan di kedua pipinya, namun tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Ia terus berusaha mundur, insting dasarnya mengatakan ia harus menjauh dari dua pasang bola mata yang seakan melayang di tengah-tengah kobaran api.
"Bruk!" Tubuhnya seperti menghantam benda kenyal, terasa bulu-bulu halus seperti milik Praus menyentuh bagian belakang tubuhnya. Ia berbalik dan memanggil,"Prau-" Ia pikir pak tua Hib dan Praus lah yang datang untuk menyelamatkannya, namun ketika ia berbalik, ia mendapati seekor rusa besar berdiri tegap menjadi sandarannya.
Bukan rusa yang menjadi hasil buruan, melainkan rusa yang ia temui ketika bersandar di jendela kastil milik tuan Atkinson. Ketika di lihat dari dekat, ternyata tubuh rusa ini jauh, dan jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
Tingginya mencapai lima belas dpa (tiga puluh meter) rusa ini bahkan dapat menandingi tinggi pohon raksasa. Hans memang tidak mengetahui, bahwa pada waktu itu rusa itu bukan berada dalam wujud aslinya.
Melihat kedatangan rusa besar itu, dua pasang bola mata itu seperti terkejut. Tiba-tiba suasana menjadi mencekam, ular api itu seakan ketakutan, namun enggan menyerahkan buruan miliknyaโHans.
Di pusat kepala sang rusa terdapat tiga buah aksara yang bercahaya terang, ia adalah seekor 'Triaran' atau binatang magis dengan tiga aksara semesta.
"Hruumhp!" Seperti tengah marah, rusa itu menghembuskan nafasnya keras dan maju dengan berani. Ular api yang sebelumnya takut itu seakan di butakan oleh nafsunya untuk memangsa Hans ia maju melawan rasa takutnya.
Tunu[4]
[4] Aksara jawa (Hanacaraka) untuk kata 'Tunu' yang berarti menyala
Geni[5]
[5] Aksara jawa (Hanacaraka) untuk kata 'Geni' yang berarti api.
Kedua aksara itu kemudian berpadu, menimbulkan nyala api yang luar biasa. Membakar hutan dan segala isinya dalam radius ratusan dpa. Meski begitu rusa besar itu tidak bergeming, tiga aksara di kepalanya bercahaya. Belum pun aksara itu menampakan dirinya, sebuah tekanan mulai muncul di udara dan membuat angin dan bumi seakan bergetar. Rusa ini memiliki kekuatan yang bahkan bisa menandingi tuan Atkinson, sang jenius dari dunia pengobatan dan seorang Magi yang sangat sakti.
Sebuah aksara pertama muncul di udara.
Usara [6]
[6] Aksara jawa (Hanacaraka) yang bertuliskan 'Usara' yang berarti embun.
Entah datang dari mana, udara kian berkumpul dan membuat nafas menjadi sesak. Udara yang berkumpul itu kemudian menjadi padat dan semakin padat, kemudian berubah menjadi embun yang membawa air. Semakin lama semakin banyak dan dahsyat, Hans termangu, ia terdiam dan tak mampu berkata apa-apa. Wajahnya menjadi pucat akibat udara yang terus berkumpul dan seakan memenuhi seluruh hutan, membuat nafasnya menjadi semakin berat.
Belum selesai sampai di sana, aksara lain muncul berdampingan dengan aksara sebebelumnya.
Perani [7]
[7] Aksara jawa (Hanacaraka) bertuliskan 'Perani' yang berarti nafas.
Hal ini membuat perubahan kondisi alam menjadi semakin nyata dan membuat pepohonan berguncang. Api yang sebelumnya memenuhi ratusan dpa dari hutan kini perlahan berkurang akibat tergerus angin dan embun yang semakin lama semakin banyak.
Aksara kedua membuat siulan di ranting-ranting pohon terdengar semakin kencang, seakan meresponi panggilan dari aksara itu. Butiran-butiran bermunculan dari dahan dan dedauan, memberi rasa sejuk dan kesegaran. Pohon-pohon yang terbakar seakan mendapat pengobatan, perlahan dari dahan yang menghitam mulai bermunculan tunas-tunas baru dengan cepat seakan bangkit dari kematian.
Ular besar itu mengetahui sampai tahap ini pun ia tak akan mampu mengalahkan musuh di hadapannya, seketika itu juga ia memutuskan untuk lari. Namun belum sempat ia begerak, aksara ketiga muncul dengan luar biasa menggetarkan seluruh hutan.
Ribuan pohon yang tersebar dalam radius hampir enamratus dpa (seribu dua ratus meter) seakan bergandengan tangan, melepaskanseluruh daun mereka. Menyambut aksara terakhir yang seakan menyempurnakan kedua aksara lainya.
Wana [8]
[8] Aksara jawa (Hanacaraka) bertuliskan 'wana' yang berarti hutan.
Seperti sebuah nyanyian yang syahdu, seluruh pepohonan dan angin beradu, bersiul-siul membuat ribuan dedaunan berterbangan seperti silet. Sebuah tangan besar terbentuk di udara, terbentuk dari ribuan pohon bercampur angin dan embun. Membentuk sebuah entitas yang tak terbayangkan, menekan ular api itu yang awalnya masih melawan dengan penuh ketakutan. Perlahan apinya pun padam, hingga dua bola mata itu terbelalak.
Diantara kedua mata itu, dua butir benda oval berputar saling berlawanan. Di setiap kepingnya terdapat delapan tetes jiha yang berputar pada poros yang tetap, dua benda itu adalah Uma[9]. Inti kekuatan para pengguna aksara, tempat di mana mereka menyimpan jiha yang mereka kumpulkan dari semesta.
Kedua uma itu perlahan menjadi redup, seakan hampir hancur. Kedua mata yang terbelalak itu pun tertutup dan pecah ke sekeliling. Makhluk ruh pada dasarnya tidak memiliki tubuh, mereka awalnya tidak memiliki pikiran. Hanya saja karena munculnya uma ia mampu menggunakan jiha dan perlahan membentuk tubuh dari kekuatan semesta.
Rusa besar itu kemudian menghampiri tempat dimana tubuh sang ular menghilang, kemudian menggunakan tanduk besarnya mendorong butiran-butiran sebesar telur kasuari itu mendekat pada Hans. Seakan berusaha memberikan benda itu padanya, sedang Hans masih terperanjat dan tak tahu harus berbuat apa.
Catatan kaki:
[1] Hanacaraka jawa berisi kata 'teluk' yang berarti tunduk/takluk.
[2] Sarati, katasansekerta yang berarti pawang gajah
[3] Hanacaraka aksara jawa bertuliskan 'dalu' yang berarti malam.
[4] Aksara jawa (Hanacaraka) untuk kata 'Tunu' yang berarti menyala
[5] Aksara jawa (Hanacaraka) untuk kata 'Geni' yang berarti api.
[6] Aksara jawa (Hanacaraka) yang bertuliskan 'Usara' yang berarti embun.
[7] Aksara jawa (Hanacaraka) bertuliskan 'Perani' yang berarti nafas.
[8] Aksara jawa (Hanacaraka) bertuliskan 'wana' yang berarti hutan.
Tambahan:
Makhluk ruh: Tidak memiliki tubuh, hanya roh yang beroleh uma dan memiliki jiha. Kemudian membentuk aksara dan menjadi satu dengan alam. Setelah membentuk aksara mereka bahkan kadang lebih kuat dari binatang magis.
Nipusa (Nipuna-Sato): Binatang ruh atau binatang magis yang berhasil membentuk satu kata atau lebih. Mereka amat kuat sehingga mampu menggerakan semesta, air, tanah udara, api. Bahkan beberapa bisa mempengaruhi waktu dan masa.