Malam menjelang, perburuan telah usai dan Canabis membawa Hans kembali. Kini ketiganya makan di ruang makan. Hans di penuhi balutan kain putih dengan ramuan-ramuan pengobatan yang aromanya tajam menyebar ke seluruh ruangan.
"Hans! Kau pergi makan di luar saja sana! Aroma ramuan obat itu memuakan hidungku!" Ujar Canabis yang berdiri di belakang tubuh Fidelis.
"Hmmph!" Hans tidak menjawab namun dengan bersusah payah sambil menahan sakit mengigit paha kucing besar yang kini harum dan penuh rempah di tangan kanannya. Kucing hutan nahas itu kini berakhir di atas meja makan, ia di bakar dan di bumbui. Tubuhnya yang besar setidaknya cukup untuk mengenyangkan ketiga orang kawya yang tengah asik makan itu.
"Hans hanya tinggal beberapa minggu lagi sebelum kita sampai di akademi Larczhen, aku berharap luka-lukamu sudah sembuh saat kita sampai," Fidelis berhenti makan dan menatap Hans dengan memalingkan wajahnya. Wajahnya yang pucat itu menatap Hans serius, ia meletakkan garpu dan sendoknya.
"Kau harus berhati-hati nak, karena ujian masuknya bukan seperti sekolah pada umumnya." Ucapnya sambil mengusap kepala Hans, bocah itu hanya mengangguk dengan daging yang masih memenuhi mulutnya.
Hans kembali ke kamarnya, tubuhnya yang penuh luka membuat ia merasa lemas dan beberapa kali meringis. Jendela kamarnya terbuka membuat angin menyelinap masuk membawa dinginnya malam, matanya perlahan-lahan berkedip dan tertutup, ia kemudian tertidur.
**
Empat minggu berlalu begitu saja, Hans berdiri di depan balkon kastil. Perban yang menutupi tubuhnya telah lepas, bekas lukanya pun sudah mengering dan menyisakan bekas-bekas goresan yang hampir tidak terlihat.
Aku berlatih cukup keras, menerima luka-luka yang berbeda selama beberapa minggu ini. Aku sudah sedikit lebih kuat!
Ia mengepalkan tangannya, jiha mengalir keluar menyelimuti buku-buku tangannya. Ia dipenuhi rasa percaya diri, karena saat ini ia tidak selemah dulu!
Ia mengarahkan matanya ke depan, matahari terbit dan gunung yang tinggi menjulang menyambutnya. Gunung itu begitu tinggi dan besar, di selimuti es putih puncaknya. Yang mencengakan adalah seperti halnya kerajaan Elim, seluruh pegununganan di selimuti tembok besar yang tingginya tak terkira akibat di selubungi kabut tebal. Hans mengusap matanya, mengira kedua matanya memiliki masalah karena tak dapat melihat dengan jelas, namun kabut itu tak juga menghilang. Tanpa ia sadar tangan tuan Atkinson merangkul pundaknya sambil menepuknya beberapa kali.
"Kau siap nak?!" Fidelis memandangnya dan tersenyum terpaksa, tersirat keraguan di sudut matanya.
"Tak perlu khawatir tuan! Aku akan baik-baik saja!" Ujar Hans sambil tersenyum.
"Baiklah-baiklah!" Ujar pria bernama lengkap Fidelis Atkinson itu sambil tertawa kecil.
"Baiklah mari kita turun! Aku khawatir mahluk besar ini akan mengganggu prosesi penerimaan siswa baru." Tuan Atkinson berujar bersamaan dengan tubuhnya yang melompat ke bawah dengan ribuan dedaunan menjadi pijakkannya. Hans mengikuti dengan melompat turun dan berayun di sulur dan batang sang pohon pemikul kastil.
Keduanya kemudian masuk ke dalam kereta kuda berwarna hitam. Di balik hutan lebat yang mereka lewati terdapat desa yang letaknya tepat di kaki gunung, desa kecil begitu ramai. Tempat itu adalah sebuah desa kecil yang memiliki beberapa puluh rumah. Terdapat hotel, bar dan beberapa toko penjual senjata dan ramuan-ramuan obat.
Namun yang menarik perhatian bukanlah desa itu, melainakan ratusan kereta kuda berbagai ukuran yang terparkir rapi di depan tembok besar yang mengelilingi seluruh pegunungan.
"Kereta-kereta kuda itu adalah milik para bangsawan dan orang tua yang tengah mengantarkan mereka,"
"Mayoritas yang mendaftar memang terlahir dari keluarga yang berada atau bangsawan,"
"Karena hanya orang-orang seperti ini yang memiliki kesempatan untuk mendengar tentang informasi Akademi yang mengajarkan jiha."
"Untuk orang-orang kalangan bawah mendengar saja mereka tidak bisa apa lagi mendaftar, hal itu sulit,"
"Meski tidak sepenuhnya tidak mungkin." Tuan Atkinson menjelaskan dengan penuh perhatian dan mendetil.
Namun bocah yang ia kira mendengarkan justru tidak memperhatikannya, ia justru terpaku pada pemandangan lain, pemandangan yang membuatnya galau. Kurang lebih sekitar enam ratus hingga tujuh ratus anak di temani orang tua mereka, penuh senyum dan tawa berdiri di depan gerbang besar hitam yang di selimuti kabut. Masing-masing memakai pakaian bagus dan penuh senyum percaya diri.
Hans tanpa ia sendiri sadari diselimuti kesendirian dan kesedihan, namun ia menggelengkan kepalanya.
Hans tidak berlama-lama dalam kesedihannya, ia mengepalkan tangannya,"Aku sudah sedikit lebih kuat! Aku akan menemukan rahasia tentang kedua orang tuaku!"
Fidelis awalnya tidak menyadarinya, namun kemudian melepas nafas. Ia menggandeng tangan bocah itu dan tersenyum padanya. Gerbang tempat pendaftaran di jaga dua orang, yang pertama adalah seorang tua dengan jubah hitam dan yang lain adalah pemuda dengan rambut cokelat kemerahan.
"Kalian hanya perlu menyerahkan seratus koin emas untuk mengikuti ujian masuk Akademi. Setelah membayar seratus koin emas kalian akan diberikan kalung kayu ini, sebagai tanda peserta ujian." Pemuda dengan rambut cokelat kemerahan itu berujar dengan suara lantang.
"Dengan memasuki gerbang ini kalian secara tidak langsung telah menyatakan setuju dengan semua resiko yang kalian terima." Matanya memandang ke sekeliling, masing-masing peserta mengeluarkan kantung kulit berisi koin yang bergemercik ketika mereka ambil dari tas mereka. Kemudian menyerahkannya ke tangan sang pemuda dan memperoleh kalung dengan kayu berisikan nomor pendaftaran mereka.
Satu, dua hingga peserta yang ke tiga puluh masuk ke dalam gerbang besar penuh kabut. Hans masih memperhatikan dengan serius namun suara Fidelis menyadarkannya,"Hans ambil ini!"
Fidelis menyerahkan kantung berisi koin emas pada Hans, ia kemudian mengangguk dan menerimanya.
"Hans, ingat tiga buah benih yang ku berikan padamu kemarin. Masing-masing dapat menyelamatkan mu dari bahaya yang mengancam hidupmu, selama apa yang kau hadapi hanya memiliki dua aksara tiga benih itu dapat menyelamatkanmu," Bisiknya kecil khawatir suaranya terdengar orang lain.
"Kau hanya perlu mengalirkan jiha padanya!" Mendengar ucapan ini Hans terkejut, tiga benih yang ia kira tak ada artinya itu, ternyata adalah benda yang mungkin akan menyelamatkan hidupnya kelak.
"Kau juga perlu beradaptasi, jangan biarkan emosi membuatmu lupa diri!"
"Ingat ini baik-baik nak!"
"Karena mereka adalah bangsawan pasti mereka akan memandang rendah dirimu, tapi jangan terpancing."
"Abaikan mereka dan jangan terlibat masalah dengan mereka, setidaknya sampai kau memiliki kekuatan untuk melawan!"
"Karena mereka tidak akan segan menyakiti atau bahkan membunuhmu di dalam sana! Ini dunia yang berbeda Hans! Tidak ada aku atau Canabis yang bisa menyelamatkan dirimu disana!" Mata Atkinson berkaca-kaca, namun ia berusaha menyembunyikannya.
Sang pemilik kastil seolah melihat anaknya sendiri, hal itu karena ia tidak memiliki anak. Jadi ia menganggap Hans sebagai anaknya, ia berbalik dan menyeka matanya dengan kain kecil yang ia bawa.
"Simpan juga benda yang ku berikan padamu kemarin! Jangan biarkan orang lain mengetahuinya! Karena bahkan para guru akan membunuh dan merampasnya dari padamu jika mereka mengetahuinya! Karena itu sangat mahal!"
"Aku sebenarnya enggan memberikannya padamu, bukan karena aku pelit, tapi aku takut itu justru akan membahayakan dirimu."
"Namun aku tetap memberikannya karena semua buku pengobatan dan banyak hal lain tak mungkin kau bawa saat ujian bukan?"
"Baiklah cepat masuk sebelum pintu ditutup!" Atkinson berusaha keras agar tidak terlihat gugup dan sedih. Meski ia sosok yang luar biasa kuat, namun ia sangat renta dalam masalah perasaan. Pria melankolis ini tak mampu meredam rasa khawatir dalam hatinya.
Hibiscus terlihat datang menjemputnya dengan kereta kuda hitam yang biasa ia gunakan.
Hans membalikan tubuhnya membungkuk, cukup lama ia melakukan itu. Di sudut matanya air mata mengintip, menunggu waktu yang tepat untuk keluar.
"PAMAN!! SAMPAI BERJUMPA LAGI! AKU HARAP KAU SEHAT!!" Ia berteriak keras setelah lama membungkuk berterima kasih. Ia berlari kencang sambil melempar kantung uang ia punya pada pemuda berambut cokelat kemerahan. Pemuda itu kemudian melempar balik kalung nomor milik Hans, bocah itu kemudian menerimanya sambil masih berlari sambil menangis.
Fidelis terlihat galau di dalam kereta kuda, matanya masih terpaku pada sosok kecil yang tengah berlari memasuki gerbang hitam yang di penuhi kabut.
Ia masih merasa tidak nyaman dan mulai menjadi marah, kemudian seluruh jiha miliknya ia kerahkan begitu saja. Pria tua yang selama ini terdiam di belakang pemuda berambut cokelat kemerahan membuka matanya.
Ia pun terkejut, peningkatan intensitas jiha Fidelis begitu sepontan membuat pria tua itu kehilangan kesempatan untuk merespon. Sebuah benih melesat melewatinya dan memasuki gerbang itu bersamaan dengan sosok Hans yang seperti tertelan masuk ke dalam kabut.
"Kau!" Ujar Pria tua itu mengeluarkan Aksara dan jihanya.
Dua aksara tercetak di angkasa, namun jiha dari Fidelis masih mampu menekan pria tua itu hingga ia memuntahkan darah, terluka.
"Hmmmph!" Fidelis mendengus dan pergi meninggalkan tempat itu.
"Tenanglah tuan! Tuan muda Hans pasti baik-baik saja!" Hibiscus berusaha menenangkan Fidelis yang terlalu mudah terombang-ambing dalam emosi.
"Ku harap kau benar!" Ujarnya ketus, memangku dagunya dengan tangannya sambil melihat ke arah gunung besar yang menyembunyikan beribu rahasia.
**
-Kerajaan Elim-
Seorang pemuda berdiri di kelilingi lebih dari dua puluh orang, di belakangnya lima orang kesatria berdiri mengikuti aba-abanya.
"Kalian berlima! Bersiap! Aku akan membuka jalan dan kalian akan mengikuti! Kalian dengar?!" Ujar pemuda berwajah putih, rambutnya hitam terpotong rapi.
"B-baik tuan muda!" Kelima kesatria itu berkeringat, memandang sosok muda yang bahkan hampir menyaingi mereka tingginya.
Di hadapannya dua puluh orang berbaris dengan rapih melindungi dua sosok bocah kembar yang tengah menyilangkan lengannya.
"Baiklah! Kita bergerak!" Ujar pemuda dengan mata sipit itu.
Ia maju membawa perisai besi tebal dan sebuah pedang kayu tumpul, jiha mengalir keluar dari tubuhnya. Ia menabrakan diri pada barisan ke dua puluh kesatria yang menghalanginya, pedang kayu besar yang dibawanya ia hempaskan ke arah barisan yang kemudian terpukul mundur, meski begitu hanya dua orang dari sepuluh orang pada barisan depan yang terpental.
"Kalian di barisan kedua cepat gantikan dua orang yang terjatuh itu!" Bocah dengan rambut ke emasan dan hidung mancung, ditambah sepasang mata berwarna keemasan berujar. Bocah itu adalah Aaron Emmasse, anak dari Lionel Emmasse.
"Tch!" Pemuda dengan mata sipit itu, terlihat kesal. Ia memusatkan jihanya pada tangan kanannya, menghujamkan pedang kayu besarnya itu sambil ia bersalto di udara. Pemuda besar itu tidak lain dan bukan adalah Bernard. Ia semakin tumbuh besar melebihi ukuran anak-anak seumurnya.
Serangan itu mematahkan pedang miliknya beserta tulang para kesatria penjaga barisan!
"Arghh! Tuan muda Bernard ku mohon ampuni kami!" Ujar salah satu kesatria dalam barisan pertahanan. Lima orang di belakang Bernard tidak tinggal diam, mereka masuk dalam celah yang di buat Bernard.
Bernard berkeringat seraya ia bangkit dengan hanya membawa prisai besi di tangannya. Sambil berlari ia berujar,"Maafkan aku!"
"Jangan takut, buat formasi berputar. Kalian yang lain lemparkan tombak kayu itu padanya." Sang Adik Aaric Emmasse berteriak memberi komando, barisan itu kemudian berganti menjadi melingkari Bernard dan para pasukannya.
"Kau memang hebat Aaric, Aaron!" Ujar Bernard, ia tidak menyerah. Matanya menemukan ketakutan di mata para pasukan yang mengelilinginya.
Aaric dan Aaron adalah jenius dalam bidang strategi dan ahli formasi perang, dan hal ini lah yang menjadi kelemahan Bernard. Ia seorang yang memiliki pemikiran sederhana, meski memiliki kekuatan yang luar biasa.
"Tapi ini saja tidak cukup!" Ujar Bernard, ia kemudian melemparkan perisainya. Lemparan itu begitu kuat, beruntung ia melemparkannya ke depan dengan mengutamakan permukaan rata dari perisai, bila ia melemparkan dengan berfokus pada sisi samping perisai mungkin seseorang akan terbunuh siang itu.
Setelah perisai it menjatuhkan satu dari ke dua belas orang yang mengelilinginya, ia mengkat dua orang satu dengan tangan kanannya dan yang lain dengan tangan kirinya.
Formasi itu kemudian hancur begitu saja, dan Aaric dan Aaron pun kalah.
"Tch!"
"Aku malas mengakuinya namun ia benar-benar monster!" Aaric berujar dalam hatinya.
"Hai kalian, bila kalian berdua membantuku di medan pertempuran siapa yang dapat mengalahkan kita bertiga?" Ujar Bernard sambil tersenyum dan memeluk kedua bocah yang merupakan adiknya itu.
"Hah?! Siapa yang rupanya ingin membantumu?!" Ujar Aaron, kemudian menyeret Aaric pergi.
Bernard menggeleng,"Lihat saja aku akan membuat kalian mengakui aku sebagai kakak kalian!"
Ia tersenyum dan kemudian teringat sesuatu, ia bergegas berbalik dan menolong para kestria yang terluka akibat ke ganasannya.
"Mohon maaf ya, kalian harus terluka lagi akibat aku!" Ujar Bernard sambil ia membantu mengangkat beberapa kesatria yang tidak mampu berjalan akibat luka yang mereka derita.
**
Hans mengusap air matanya sembari ia berjalan memasuki gerbang, kabut asap yang sebelumnya menyembunyikan keadaan di dalamnya kini menghilang. Menyingkap hutan gelap yang lembab, mata Hans melihat sekeliling, didapatinya para peserta yang lain pun berada di sana.
Kalung kayu yang tergantung di lehernya kemudian berbunyi:
"Menggapai ribuan awan, menemukan awal sebuah perjuangan. Puncak bukanlah akhir namun sebuah permulaan, temukan aliran ke atas awan, atau perjuangan ini hanya sebuah kesia-siaan. Darah di bayar darah, pengejaran mungkin memberikan kesempatan. Mahluk jahat hanya topeng yang membalut bunga dan madu!"
"Selamat berusaha, menggapai kekosongan atau mungkin harapan!"
"Ujian periode ke lima di mulai!"
Suara yang sama terdengar di telinga seluruh peserta itu mengucapkan sebuah kiasan atau puisi yang aneh. Namun masing-masing dari mereka yang mempunyai intelegensi yang baik mampu menebak, bahwa ini adalah sebuah petunjuk terselubung!
Sedang mereka yang tidak terlalu cerdas hanya menganggapnya sebagai kiasan kosong dan mulai berlari ke arah puncak gunung.
"Menggapai ribuan awan? Menemukan awal sebuah perjuangan? Ini menunjukkan bahwa seluruh kiasan adalah petunjuk."
"Puncak bukanlah akhir namun sebuah permulaan?"
"Sepertinya tujuan akhir semua peserta adalah puncak gunung!" Hans memandang ke atas gunung yang ribuan meter tingginya itu. Ia menelan ludah,"Yang benar saja?! Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa menyelesaikan pendakian ini?!"
"Pasti ada cara lain?!"
"Tapi bagaimana?!" Ia masih sibuk berfikir.
**
Di pintu masuk tempat ujian, sebuah benih menelusup masuk ke dalam tanah, benih itu kemudian retak dan keluarlah akar-akar muda yang kemudian menyerap nutrisi dari jiha yang terkandung dalam kabut yang menyelimuti seluruh pegunungan. Sosok kecil mulai terbentuk, tak lama ia bertumbuh menyerupai manusia kayu yang terbuat dari akar-akar. Kemudian mahluk itu membuka matanya, ia lalu menyelam lebih dalam di bawah tanah dan pergi ke arah di mana Hans berada.