"Mohon maaf tuan Fidelis, kejadian kemarin mengingatkan pada ingatan yang selama ini seperti terkunci di dalam kepalaku,"
"Aku melihat orang-orang bermatian satu persatu di depan mataku, mereka semua tersenyum begitu ramah padaku. Meski aku tidak mengenal mereka, aku tahu mereka adalah orang-orang yang berharga untuk ku." Hans masih dalam pelukan Fidelis dan menangis sejadi-jadinya, setelah mendengar hal itu barulah mereka paham. Hal yang Canabis lakukan kemarin justru membangkitkan kembali sebuah trauma yang jauh lebih dalam dari yang mereka pikirkan. Manusia seringkali mengubur memori yang mereka takuti. Menguburnya begitu dalam hingga mereka sendiri pun lupa, dalam kasus Hans, tetapi berbeda seseorang seperti sengaja menghapus ingatannya.
Suasana menjadi tenang, tiba-tiba Hans merasa seluruh ruangan seperti berguncang, kulitnya seperti digelitik akibat energi mengalir deras dari luar ke dalam tubuhnya. Atkinson, Canabis dan Hibscus adalah Magi dan masing-masing dari mereka memiliki jiha, sehingga mudah mereka menyadari bahwa Hans memasuki umur sembilan tahun. Berbeda dengan Bernard yang membutuhkan bantuan Calvin sang kesatria tua, Hans menerima jiha setiap sehabis latihan. Fidelis selalu memberikan jiha sediki demi sedikit agar tubuh Hans secara otomatis mengenali jiha di semesta.
Teknik ini meningkatkan kemungkinan seorang anak untuk mendapatkan jamahan semesta, namun tidak semua orang bisa mendapatkan perlakuan seperti ini. Tentu karena tidak semua orang memiliki orang tua atau kolega yang merupakan seorang magi.
Terlebih hal itu membutuhkan usaha lebih dari sang magi yang bukan hanya perlu membuang waktu, tapi juga jiha yang ia kumpulkan selama berjam-jam bahkan berhari-hari. Karena mengumpulkan jiha dalam tubuh bukanlah perkara mudah, butuh waktu yang lama dan kesabaran serta kekuatan mental.
Hans masih dalam posisinya yang tengah berdiri dan tubuh yang setengah membungkuk, Atkinson dan dua orang pengikutnya mengeliling Hans yang bermandikan cahaya. Ruangan rumah itu seperti di susupi ombak-ombak cahaya yang memasuki ruangan dari setiap celah, pintu jendela dan setiap bagian kastil yang mungkin mereka masuki.
"Hans! Duduk bersila atau ambil kuda-kuda!" Atkinson berteriak, hal itu sangat penting karena dengan cara itu ia bisa memusatkan jiha pada uma miliknya. Para magi lebih sering melakukan meditasi dalam posisi bersila, sedangkan para kesatria cendrung melakukannya dalam posisi kuda-kuda.
Hal itu karena para magi berfokus pada merawat jiwa dan pikiran mereka menggunakan jiha kemudian menyimpannya dalam uma. Sedangkan para kesatria memakai konsep yang sama sekali berbeda, mereka menyerap jiha dan kemudian mengalirkannya ke seluruh bagian tubuhnya. Kemudian jiha yang telah melakukan beberapa kali siklus putaran mereka simpan dalam uma mereka.
Secara sederhana kesatria berfokus pada tubuh mereka sedang para magi pada mentalitas dan pikiran.
Hans kini dihadapakan pada dua pilihan sulit, antara menjadi seorang magi atau seorang kesatria,"Apa yang harus aku pilih?"
Jiha yang berkumpul semakin banyak hingga menimbulkan badai di luar ruangan, hutan yang tadinya begitu sepi menjadi penuh keramaian. Mahluk-mahluk magis dan binatang magis berlarian menjauh, cahaya begitu besar terlihat di penghujung cakrawala. Atkinson menengok ke sebelah luar dan terkejut, seluruh hutan seakan menjadi sunyi sepi, langit bergemuruh membuat seluruh suara seakan tunduk dan menjadi sepi.
Hans merasa tubuhnya begitu perih, kulitnya seakan mulai teriris-iris.
"Hans cepat! Atau kau mau memanggang dirimu sendiri?!" Atkinson kembali mengingatkan penuh kecemasan.
Apa yang terjadi pada bocah ini?! Mana mungkin dalam satu kota bisa terdapat dua orang yang memiliki tubuh luar biasa seperti ini!!
Apa yang sebenarnya terjadi?!
'Blar!'
Suara petir terdengar menggelegar di luar kastil, Atkinson berjalan keluar dan mendapati ribuan kilat berputar-putar di udara seakan mencari sesuatu.
Dahinya masih mengerenyit tapi ia tidak tinggal diam dan menghabiskan waktunya memikirkan hal yang tak bisa ia temukan jawabannya. Ia kemudian melompat, melepaskan seluruh jiha miliknya ke udara. Mahluk pemikul kastil pun kini terdiam, ia membungkuk ketakutan dan membuat rumah itu beguncang-guncang, musuh alami para mahluk elemen tanaman dan kehidupan adalah petir dan kilat.
Terdengar erangan ketakutan dari mulutnya, ribuan pasang mata mengamati kejadian itu. Hutan ini memiliki ratusan mahluk yang memang telah berhasil memiliki uma dan menguasai aksara, meski begitu mereka diam dan tak berani bergerak.
***
Di puncak air terjun dua belas tingkap.
Umbara memegang palu besarnya erat, ia berdiri dari singgahsananya, menatap jauh ke arah cahaya terang yang mengerumuni satu sisi hutan.
"Sarya, pergi dan periksa keadaan di sana!"
"Jangan terlalu dekat!" Ujarnya singkat, Rusa besar itu mengangguk, memasuki kabut kemudian menghilang.
Benar dugaanku, semesta menyertainya!
Wajahnya menunjukkan rasa antusias, seperti tidak sabar menunggu lima tahun kemudian setelah Hans membuat keputusannya.
**
Cahaya terang itu seperti turun dari langit, sebuah pedang besar seakan turun membelah udara. Pedang yang begitu besar melebih pohon terbesar di hutan sekalipun, lebarnya tiga puluh dpa (enam puluh meter), sedang tingginya tak terkira karena ujungnya tersembunyi di baik awan.
Wilaba [1]
[1] Aksara jawa, Hanacaraka, bertuliskan 'wilaba' berarti wahyu.
Tersemat di pedang besar itu sebuah kata dalam aksara, goresan bercahaya yang membuat seluruh hutan bergetar. Bahkan Atkinson pun membungkuk dan tanpa sadar ia kehilangan kemampuan mengendalikan dirinya, ia seakan harus memberi hormat pada aksara yang semesta tunjukkan.
**
Umbara terlihat beringas, aksara di tubuhnya menyala dan membuat puluhan angin puting beliung bermunculan di langit.
"Kau hendak memaksaku membungkuk padamu hai pemiliki langit?!"
"Tsch!" Matanya nanar memandang langit yang kini di penuhi cahaya, suara gemuruh terdengar, sebuah ucapan yang tak jelas artinya, namun begitu jelas terdengar di telinga Umbara.
"Tidak! Aku tidak akan merendahkan diriku!!" Ia makin mengamuk, kedua belas muridnya telah lama meninggalkan tempat mereka bersemedi dan mengambil posisi bertarung. Suasana menjadi begitu tegang, belum pernah mereka melihat guru mereka semarah ini.
**
Bukan hanya pada Atkinson dan Umbara, seluruh hutan dalam radius ribuan dpa membungkuk penuh ketakutan, bahkan ada yang kehilangan kesadaran. Hal ini jauh berbeda dengan yang Bernard alami.
Hans masih menimbang-nimbang, kulitnya mulai memerah dan ia merasakan rasa sakit yang amat sangat. Ingin ia bersikap egois dan memaksakan menjadi seorang magi namun apa daya ia tak mampu membaca aksara.
Air mata perlahan menetes,"Ayah, Ibu maafkan aku!"
"Aku ingin sekali menjadi magi, namun saat ini aku belum mampu!"
"Aku akan menjadi kesatria terkuat, sangat kuat hingga aku dapat menemukan cara mengubah kebutaan ku ini! Aku berjanji!" Kemudian menggeser kaki kirinya sedikit menjauh dari kaki kananya, Menundukkan tubuhnya, membungkuk hingga seperti ia sedang menunggangi kuda.
Seketika itu pula jiha yang semenjak tadi hanya berputar di permukan kulitnya, kini mulai masuk dari hidung dan mulutnya. Ia menutup matanya, seluruh tubuhnya bercahaya. Jiha seakan merasuk ke dalam tubuhnya melalui mulut dan hidungnya, matanya tiba-tiba terbuka dan di penuhi cahaya, seperti kedua bola matanya menembakan cahaya ke sekeliling di mana arah matanya jatuh.
Seakan telah melakukannya berkali-kali, jiha yang masuk ia gunakan untuk memelihara dan memperkuat setiap sel dan jaringan pada tubuhnya. Otot, saraf hingga tulang-tulangnya menerima basuhan jiha yang membuat ia merasa tubunya semakin kuat.
Apa ini?!
Aku merasa..
Aku.. Aku.. berubah! Tapi apa yang berubah?!
Pertanyaan demi pertanyaan muncul dan hilang bersamaan dengan situasi yang berubah-ubah, jiha membuat situasi di sekelilingnya menjadi begitu kacau.
Tiba-tiba.
Pedang besar di udara seperti mendapat panggilan kuat dari dalam kastil, ia kemudian mengerucut dan mengecil hingga membentuk sebuah pedang berukuran ibu jari. Pedang yang ukurannya tak lebih besar dari ibu jari Hans, namun memancarkan kekuatan yang menggetarkan seluruh daratan.
"ARGHHHHHHH!!!" Bocah itu berteriak, pedang itu seketika membelah dadanya, tanpa mengeluarkan darah. Kulitnya perlahan terbuka, perlahan tiap-tiap jaringan seakan terbuka seperti jahitan baju yang di buka secara perlahan. Otot-ototnya pun terbuka setelah lapisan epidermisnya terbuka, dan menyingkap jantung dan paru-parunya.
Tepat di bagian antara dada dan perutnya, pedang itu mengambang di sana. Tak lama benang-benang cahaya yang sebelumnya tertidur di dalam tubuhnya menyala. Membentuk jaringan baru yang sebelumnya tidak ada, kemudian seperti selang, mereka tertancap pada membran yang terbentuk mengelilingi pedang jiha itu.
Pedang kecil itu kemudian mulai berotasi mengikuti arah rotasi bumi, bersamaan dengan itu jiha mengalir melalui benang-benang yang terhubung pada membran pedang itu dan menyebar keseluruh tubuh Hans.
Ia memandang ke dua tangannya, membuka kedua telapaknya, kemudian mengepalkannya. Tulang-tulang berkertak seperti patahan ranting, bukan karena cidera melainkan beradu satu sama lain. Tulang-tulang menjadi lebih kuat dari sebelumnya, dan ini belum lah selesai, dengan beroperasinya pedang kecil di diafragmanya.
Jiha yang masih tersisa di udara dan di langit kembali terhisap kembali ke dalam tubuh Hans, rambutnya pun kini bercahaya terang. Keringat membasahi seluruh tubuh Hans, bukan hanya keringat, melainkan darah berwarna hitam. Semua racun dan zat-zat yang tak baik bagi tubuhnya terbuang keluar, kali ini terasa perih luar biasa akibat pori-porinya yang tak cukup besar di paksa menjadi saluran keluar zat-zat racun dan darah kotor.
Atkinson berjalan mendekat perlahan-lahan, jiha di sekeliling seperti menghalanginya mendekat. Mereka berterbangan seperti silet yang menyayat tubuh Atkinson.
Keadaan berangsur-angsur normal, cahaya meredup dan langit pun telah tertutup, cahaya tak lagi terlihat menyilaukan di langit hari itu.
Hans masih memandangi tubuhnya, sesekali ia melompat untuk merasakan perubahan yang ia alami. Ia sendiri tak menyadari, tubuhnya bertambah tinggi seperdua puluh hasta atau dua sampai tiga sentimeter.
"Selamat Hans!" Atkinson menaruh kedua tangannya pada pundak kecil itu, Hans mengangkat kepalanya. Wajah sang bocah menunjukkan ekspresi yang aneh, terlihat beberapa rasa bercampur antara senang dan kekecewaan tersemat di sudut-sudut wajah mudanya.
"Tak apa Hans! Pasti ada jalan, atau suatu saat nanti kau mungkin cukup kuat untuk membuat jalanmu sendiri!" Ujar Atkinson yang kemudian di sambut anggukkan keras Hans.
Ruangan yang berantakan seketika menjadi tenang, Hibiscus bergegas membersihkan rumah. Hans membantu membersihkan kekacauan yang tak sengaja ia ciptakan. Hari berlalu begitu saja, Hans menghabiskan waktunya belajar dan berlatih.
Seminggu kemudian~
Seekor kucing hutan berlarian ke sana kemari dengan ketakutan, ukuran mahluk berkuping panjang itu empat hasta (1,8 meter). Tubuhnya yang berwarna ke emasan itu melompat dari satu pohon ke pohon lain, seakan memantul seperti bola ping-pong.
Di belakangnya terdengar suara langkah kaki yang berpacu keras melewati barisan pepohonan yang rimbun, semak-semak menyembunyikan figurnya.
Seorang bocah membawa parang dengan gagang yang lebih panjang dari parang itu sendiri berlari juga dengan kecepatan yang tak kalah cepat. Hanya saja ia tak selincah kucing hutan yang berlari ke sana kemari di dahan pepohonan.
"Hei Hans!"
"Kalau kau mengejar seperti itu, sampai besok pun kau tidak akan mendapatakan apa-apa selain kentutnya!" Sebuah kepala melayang berada tepat di sebelah bocah itu.
"Berisik! Pergi saja sana! Jangan bawel!" Hans mengabaikan Canabis yang tak berhenti mengomel semenjak awal perburuan.
"Setidaknya gunakan otakmu sedikit! Bodoh!" Umpatan demi umpatan keluar dari kepala Canabis yang dengan mudah mengimbangi kecepatan Hans.
"Tch!" Tak membalas, Hans memandang serius ke arah kucing hutan yang makin lama makin jauh dari posisi Hans. Ia mengayunkan parang gagang panjang miliknya, menggunakan sisi tumpulnya untuk mengubah arah larinya.
Matanya menelisik ke sekeliling, tepatnya ke arah mana sang kucing hutan melarikan diri. Dari tempatnya berdiri ia melihat dua celah besar mengintip di balik tingginya pepohonan.
Ia berlari ke arah tebing!
Otaknya berputar dengan cepat, mencari cara untuk mendapatkan kucing hutan itu sebagai piala kemenangan, Hans kemudian menarik nafas, menahannya pada bagian diafragma-nya dan dengan sendirinya jiha mengalir keluar dari uma miliknya.
Kontrol terhadap jiha dilakukan dengan pengaturan pernafasan, ia memusatkan jiha yang tengah mengalir keluar ke kedua kakinya. Seketika itu kecepatannya meningkat drastis, ia seakan terlempar bak peluru yang terlepas dari selongsong senapan.
Sial aku masih belum bisa menguasainya!
Ia mengumpat dalam pikirannya, meski telah berlatih lebih dari satu minggu namun ia masih sedikit belum terbiasa dengan perubahan pada tubuhnya. Reflek dan otaknya belum mampu mengikuti perubahan fisiknya yang terlampau drastis.
Hans berusaha bermanuver menghindari pohon di depannya, ia berhasil, namun hutan yang padat dengan pohon-pohon berbagai ukuran itu, bukanlah tempat yang mudah untuk dilewati dengan kecepatannya yang sekarang. Ia membentur beberapa pohon meski bukan tabrakan secara frontal, namun tubuhnya tetap terasa nyeri akibat goresan-goresan yang perlahan muncul.
Namun ia percaya diri kali ini, kucing itu lari ke bagian hutan yang ia ingat seperti telapak tangannya.
Canabis merasa bingung karena Hans justru mengambil rute yang membawanya makin jauh dari hewan buruannya. Bocah itu masih membawa parang bergagang panjang yang ia pilih sebagai senjatanya untuk pertama kali.
Para kesatria biasanya membawa tombak dan pedang besar, namun bocah aneh itu memilih menggunakan parang dengan satu sisi tajam. Terlebih gagang panjang yang membuat akan lebih sulit untuk melakukan gerakan. Bentuk parang itu justru lebih mirip tombak dengan kepala parang, lebih mirip senjata orang-orang dari negeri timur.
Matanya tersentak, Hans kini mendaki tebing yang yang terbentuk dari tanah dan bebatuan keras yag membentuk tembok alami yang lebih tinggi dari pepohonan. Hans mendaki sambil melompat-lompat, beberapa kali menancapkan parangnya untuk membantunya mendaki.
Canabis bisa melihat jelas keringat yang bercucuran di keningnya, tak membutuhkan waktu lama ia telah berada di puncak dan berlari ke sisi lain tebing kemudian mengendap-endap. Pada titik ini, Canabis menyadari apa yang Hans lakukan, ia merencanakan sebuah penyergapan. Ia memanfaatkan tebing yang membatasi pandangan sang kucing hutan, ia justru menggunakan 'perlindung' yang di sediakan tebing bagi sang kucing sebagai sarana penyergapan.
"Huh, setidaknya ia tidak sepenuhnya bodoh!" Ujar kepala melayang itu pelan, sementara tubuhnya menyilangkan tangannya di sampingnya.
Kucing hutan yang tak menyadari rencana Hans terus belari di koridor yang terbentuk dari dinding bebatuan alami. Ia tidak memperlambat gerakkannya sedikitpun, meski sosok bocah yang mengejarnya tak lagi terlihat. Namun rasa takut memaksanya terus berlari cepat, kucing hutan itu melihat cahaya di ujung celah bebatuan. Ia mempercepat pelariannya, berlari keluar menyongsong cahaya di ujung tebing.
Hans yang telah menunggu di puncak tebing melemparkan parang panjangnya, parang itu berputar cepat di udara. Kucing hutan itu seperti mendapat firasat buruk dan membalikan kepalanya untuk melihat sumber dari semua firasatnya dan mendapati sebuah parang dengan gagang panjang berputar kencang dan melesat ke arahnya.
"Rrrrrrah!" Jeritnya keras sambil melompat ke sebelah kiri untuk menghindari parang yang hendak membelah kepalanya.
Hans yang tidak tinggal diam, berlari di tepi sebelah kiri tebing. Kemudian ia melompat vertikal ke depan seperti orang hendak berenang. Ia menangkap leher besar yang tak mampu menghindar karena ia tengah melompat.
Brug!
Keduanya berguling di atas tanah hutan, menggulung-gulung hingga seluruh tubuh mereka di penuhi tanah dan daun kering. Meski sambil menahan sakit akibat dampak lompatan dan tubuh besar kucing hutan yang menimpanya, Hans tidak melepaskan rangkulannya pada leher sang kucing hutan.
Kucing itu mengamuk, tubuh Hans yang menempel di punggungnya membuat ia kesal. Cakar-cakar kaki belakangnya tak mampu melepaskan tubuh Hans, meski hal itu membuat luka-luka yang membuat punggung dan lengan Hans mengeluarkan darah.
"AH!!!!" Jerit Hans ketika rasa sakit mulai menjalar dari luka-lukanya, namun ia justru mencekik leher besar itu semakin keras. Ia melingkarkan kedua lengan dan tangannya membuat kucing itu meronta makin keras.
Lima belas menit berselang, tubuh sang kucing menegang. Ia berusaha mengerahkan seluruh kekuatannya, menabrakan diri pada pepohonan dan beberapa dahan bahkan menembus tubuh Hans.
Namun ia, si 'kepala batu' tidak melepaskan rangkulannya pada leher sang kucing hutan. Justru semakin memperkuatnya, Hans mengerahkan jiha dari dalam uma miliknya. Kucing hutan yang juga seekor niharan[1] itu pun mengeluarkan jiha dari dalam tubuhnya. Membuat tubuhnya menjadi lebih besar dari sebelumnya, keduanya memiliki jiha meski tak beraksara kekuatan mereka berada di tingkat lebih tinggi dari manusia biasa.
Hampir setengah jam waktu berjalan, Hans berada di penghujung kesadarannya, matanya mulai sayu dan hampir-hampir tertutup. Ketika ia hampir pingsan, sang Kucing hutan mulai melambat dari pelariannya, perlahan berhenti di tengah kerumunan pohon dan terjatuh, mati.
Otaknya kehabisan oksigen, ditambah dengan ia berlari kesana kemari menabrakkan diri pada pepohonan membuat otaknya kehabisan oksigen lebih cepat. Meski dengan jiha ia bisa menggantikan nafas untuk sementara, namun ia pun menghabiskan jiha miliknya dalam pergulatan dengan Hans.
Hans menggeser tubuhnya dengan berguling, tak mampu berdiri. Air mata seakan mengintip dari sudut matanya, hendak menangis namun ia menahannya. Karena ia tahu, Canabis berada di sekitar sini dan ia tidak mau di tertawakan.
Sebelum matanya hendak tertutup ia melihat sepasang sepatu pantofel mendekatinya, mengetahui itu adalah Canabis ia kemudian menutup matanya dan kehilangan kesadaran.
Catatan Kaki:
[1] Wilaba, jawa: Tulisan aksara jawa yang berarti 'wahyu' atau sebuah penyingkapan rahasia semesta/Tuhan.
[2] Niharan: Sebutan untuk mahluk liar biasanya binatang yang memiliki uma dan mampu menggunakan jiha, meski mereka tidak memiliki aksara nihi diambil dari kata 'nihil' yang berarti tidak ada atau nol. Tingkatan mahluk magis di bagi menjadi:
a. Nihiran: Tingkatan binatang magis tanpa aksara dengan jumlah butiran jiha terlihat dari jumlah titik pada kepala mereka.
b. Aksaran: Sebutan bagi binatang magis dengan satu aksara.
c. Diaran: Sebutan bagi binatang magis dengan dua aksara
d. Triaran: Sebutan bagi binatang magis dengan tiga aksara.
e. Deparan: Sebutan bagi binatang magis dengan empat aksara.