Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 12 - Aksara 9, Memori

Chapter 12 - Aksara 9, Memori

"Masa lalu memaksa berjalan di muka, bak nakoda.

Belasan, ratusan hingga ribuan lembar sesal ku timbul di bawah arahannya.

Hendak kemanakah sauh ini ku gantungkan, wahai dermaga hatiku, biar rasa ini bersandar di kasih dan sayang-mu.

Mungkinkah kita membohongi hati? Tak bisa, namun kita bisa menyadarkannya.

Bahwa masa lalu telah usang, dan masa depan tak lelah menunggu kamu untuk pulang."

- Hibiscus Ramos

Sehari setelah pertemuan dengan Danyang.

Beberapa ratus meter dari lokasi pohon raksasa yang tengah berjalan membelah hutan. Sebelas orang duduk di atas tanah dalam genangan penuh darah, mereka terlihat pucat dan ketakutan. Sinar bulan menyingkap tubuh mereka, tubuh lemah yang merinding penuh dengan ketakutan terhadap sesuatu yang tak di ketahui.

"Ampun!"

"Ampun!"

"Biarkan aku mati saja!"

"Cuku-!" Belum sempat ia berucap demikian, sebuah tangan keluar dari mulutnya, memaksanya menganga dengan lebar hingga matanya memerah dan mengeluarkan darah—menangis darah—suara jeritan tertahan keluar dari sela-sela mulutnya. Namun sosok itu seakan tidak mendengarkan-nya dan merangkak keluar.

Kesebelas orang itu mengalami hal serupa, tak lama sosok hitam transparan dengan aura kematian muncul keluar dari tubuh mereka. Kesebelas orang itu tersungkur ke tanah, darah bersimbah, namun mereka bangkit lagi dan berdiri. Sebelas bayangan jahat itu kemudian menunggangi tubuh mereka, menggunakannya sebagai media dan menyelimuti masing-masing dari mereka.

"Ahhhhh!" Sebelas orang itu menjerit kesakitan ketika tubuh mereka mulai terkelupas, dan digantikan oleh bayang-bayang hitam yang sekakan menjadi kulit baru bagi tubuh mereka. Beberapa saat kemudian kedua mata mereka berubah menjadi hitam seutuhnya, memandang ke arah di mana pohon besar tempat Hans dan rombongannya tengah berjalan menyusuri hutan.

**

Canabis tengah menyajikan teh pada tuan Atkinson, setelah selesai, ia merasakan pohon besar yang mereka naiki bergidik dan perlahan berhenti bergerak.

Di balkon rumah, paras Canabis yang melayang di sebelah tubuhnya berubah menjadi beringas dan haus darah. Seolah ia akan membunuh siapa saja yang ada di dekatnya.

"ARRRRAAAAAAAAAH!!" Auman keras pohon itu seketika terdengar dan mengagetkan seisi rumah.

**

Hans berlari keluar dari kamarnya, ketika ia keluar dari kastil dan berdiri di balkon. Matanya jatuh pada sosok Canabis yang bermandikan kabut merah, kabut yang seolah terbuat dari darah. Tepat di depannya, sebelas orang berpakaian hitam berdiri di kelilingi aura hitam yang membuat mereka seakan bermandikan api berwarna hitam. di belakang mereka terlihat bayangan hitam setinggi tiga meter bertubuh hitam. Masing-masing berbentuk seperti manusia, tanpa wajah, namun memiliki mulut yang terus menjerit. Menunggangi kesebelas orang yang seakan terhimpit tubuh besar mereka.

Seraya mahluk-mahluk itu keluar dari tubuh mereka, masing-masing dari mereka pun turut serta menjerit. Jeritan yang sungguh pilu, yang datang dari dalam hati mereka, teriakan penyesalan.

"Menjual tubuh kalian pada Iblis?!"

"Dasar bodoh!" Ujar Canabis dingin.

Seolah mendengar ucapan Canabis, jeritan itu terhenti, tak lama mata ke sebelas orang itu tertutup, namun sebagai gantinya sebuah mata terbuka di dahi mereka—mata merah dengan pupil biru. Tak lama suara terdengar dari mulut para mahluk hitam itu,"Berikan aku jiwamu!"

"Berikan!" Teriakan itu datang bersamaan dengan tubuh mahluk-mahluk itu membalut tubuh para manusia itu.

Kesebelasnya melompat ke arah Canabis, menimpanya sambil mengayunkan tangan mereka yang membesar oleh karena aura gelap yang menyelimutinya.

Canabis mengangkat kapaknya, menyilangkannya ke depan untuk melindungi diri. Tubuh Canabis terkungkung kekuatan di balik serangan kesebelas orang itu. Bersamaan dengan itu, jiha milik Canabis yang berwarna merah seperti darah terhempas keluar dari tubuhnya, menyelimutinya seperti angin lesus (puting beliung).

"BANGSAT!" Ujarnya.

Brugg!!

Swossh!

Ia mengayunkan kapak yang di penuhi jiha miliknya menghempas kan ke sebelas orang yang kini tersungkur di tanah. Dengan tegap ia berdiri dengan tubuh dan kepala yang tersambung, matanya melotot seperti reog yang tak berkedip.

Ia maju dan menginjak salah satu dari kesebelas orang itu,"Aku akan mencincang kalian!" di injaknya kepala orang itu hingga terpendam ke dalam tanah, bayangan hitam yang menungganginya seakan tak terima dan mengamuk.

Canabis seolah tak perduli, cahaya merah yang menyelimutinya kemudian terbentuk menjadi dua pedang di tangan kanan dan kirinya.

Aksara-aksara berkumpul di udara, Canabis kemudian berucap,"Nikmatilah kelamnya Penyelsalan!"

Supena [1]

[1] Sebuah tulisan aksara jawa (Hanacaraka) bertuliskan 'supena' atau mimpi dalam bahasa sansekerta.

Aksara-aksara itu kemudian seakan berbenturan di udara dan membentuk ilusi yang membuat ke sebelas orang itu berhenti bergerak. Mereka adalah Ahengkara[3], manusia-manusia yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan jiha. Namun demi kekuatan, mereka menjual tubuh dan jiwa mereka pada para demit dan setan, sehingga mereka kerap juga disebut sebagai pengabdi setan!

Namun mereka yang menghalangi jalan Hans dan Fidelis hanyalah Ahengkara rendahan yang bahkan gagal menaklukan demit yang mereka manfaatkan dan justru demit itu yang menggunakan tubuh mereka. Ketika seluruh jiwa mereka telah termakan, maka demit itu akan memiliki tubuh mereka.

Para Ahengkara ini telah kehilangan kesadarannya, termakan oleh mahluk jahat yang menempati tubuh mereka sehingga hanya memiliki kemampuan berfikir yang rendah pul. Ilusi yang terbuat dari aksara buatan Canabis seakan menjadi penjara yang mengurung mereka.

Canabis tertangkap dan tengah memohon untuk di biarkan hidup, sementara Hans bersimbah darah. Mereka dengan bernafsu menyedot seluruh jiha dari tubuh Canabis, tentu hal ini tidak benar-benar terjadi melainkan hanyalah ilusi yang tercipta dari aksara milik Canabis.

Canabis berjalan perlahan, ia berbisik sembari ia berjalan entah apa yang ia ucapkan. Hans yang tengah melihat kejadian itu dari atas, ketakutan. Matanya melihat sosok mengerikan yang bahkan lebih mengerikan dari Canabis. Namun matanya membelalak dan berteriak kecil,"AH!!" Hal itu karena Canabis menyembelih salah seorang yang berada paling dekat dengannya. Ia bergerak maju, di tangan kanannya sebuah kapak berbentuk 'T' menggantung, terseret dan berderit-derti di atas tanah. Suara itu cukup keras namun tidak membuat sebelas ahengkara itu tersadar.

Canabis mengangkat kapaknya dan mulai memukul seorang dari kesebelas orang itu, membuatnya tersungkur, kemudian menginjak kepala sosok hitam itu penuh dengan kebencian.

Hans melihat semuanya itu, ia mematung, kepak di tangan Canabis terangkat mengarah ke arah leher sosok yang masih mematung kehilangan kesadaran.

"Tidak!!"

"Jangan!" Tanpa sadar Hans melenguh kecil, tubuhnya gemetar, ia seakan terbawa ke sebuah dunia lain. Ke dalam ingatan yang tertimbun jauh di dalam benaknya, tubuhnya bergetar dan ia terjatuh ke atas lantai kayu di balkon rumah.

Masih berusaha mengangkat kepalanya, ia berujar lirih,"Biarkan mereka hidup.."

"Mereka sudah tidak berdaya!" Ujarnya lagi, saat ini ia mulai menangis. Air matanya tanpa sadar mengalir turun dari pipi dan berjatuhan ke atas permukaan lantai kayu. Ia berusaha berdiri, namun kepalanya terasa begitu berat, ingatan dan gambar-gambar mengerikan lain bermunculan. Namun, bukan tentang Canabis yang tengah membantai para ahengkara, namun bayangan lain yang ia sendiri tidak mengerti dari mana itu datang.

Tak lama ia kehilangan kesadaran, Fidelis Atkinson sang pemilik rumah pun diam. Meski ia tahu, bahwa membiarkan anak di bawah umur itu menyaksikan pembantian adalah hal yang salah. Namun ia sendiri pun tak bisa menahan diri, matanya memerah, ia berusaha keras untuk menahan diri tidak membantai mereka.

Dendam.

Kebencian.

Kesedihan.

Tergambar jelas di dua buah bola mata yang kini merah seakan berdarah, ia tidak memperhatikan sosok bocah yang kini kehilangan kesadaran di depan balkon. Ia menarik nafas panjang, menutup kedua matanya barulah semua hal itu lalu dari pikirannya.

Ia kemudian berjalan ke arah Hans, dan membawanya masuk ke dalam. Ketika di gendongnya, tubuh bocah kecil itu bergetar, mulutnya terus meracau, mengucap kata 'jangan' berkali-kali, air mata dan keringat bercampur membasahi pakaiannya.

Pria itu kemudian terdiam, raut wajahnya menunjukkan rasa menyesal.

**

"Raden, bersembunyilah!" Suara terdengar dari sisi kanan Hans.

Matanya tidak bisa melihat apapun selain kegelapan, teriakan dan jeritan terdengar di kanan dan kirinya. Tak lama ia berusaha menggerakan tubuhnya, berusaha membuka tabir gelap yang menutupi penglihatannya. Sobekan seakan muncul di arah pandangnya, namun apa yang menyambutnya membuat ia bergetar, ratusan mayat bergelimpangan.

Itu adalah sebuah medan pertempuran, ia masih ketakutan, namun ia mendengar suara lain,"Adipati Bayu! Jaga Raden dengan baik! Kami akan memberikan kalian sedikit waktu!" Hans melihat tangannya, tangan mungil milik anak enam tahun, ketika ia memalingkan melihat sumber suara itu ia mendapati sosok yang berucap tersenyum sambil melambaikan tangan padanya.

"Selamat tinggal Raden!" Ujar seluruh barisan pasukan yang terlihat buram karena air mata yang mengalir di matanya. Ia sedih, sungguh sedih. Namun ia tidak bisa mengingat kejadian ini, ia tidak mengenal suara itu, atau mungkin ia lupa?

Ketika ia hendak berucap, berusaha meraih tangan-tangan dan tubuh yang semakin lama semakin menjauh, Ia kembali tersadar.

**

Tuan Atkinson kini berada dalam kamar Hans, bocah itu tertidur masih sambil menangis dan gemetar. Sampai titik ini pun ia tak sadarkan diri, Tuan Atkinson terlihat begitu menyesal. Ia sadar ia sudah memberikan trauma luar biasa pada Hans, tangannya terkepal.

Apakah aku salah mengadopsinya? Perjalanan ini akan penuh kematian dan darah..

Pria itu membatin, kemudian meraih kantung kecil di sisi belakang kanan tubuhnya. Sebuah biji berukuran seperti biji buah pala ia ambil, kemudian mengalirkan jiha ke dalamnya. Benih itu kemudian menyerap jiha itu dengan rakus, yang kemudian bertumbuh makin besar dan melayang di udara.

Tak lama ia tumbuh menjadi sebuah bunga dengan tujuh kuncup berwarna putih, bentuk kelopaknya bertumpuk-tumpuk, jumlahnya semakin berkurang semakin tinggi tumpukkannya. ketika bunga-bunga itu mekar serbuk demi serbuk berterbangan keluar, menyebarkan wangi harum yang menenangkan.

Serbuk itu beterbangan dan menyelimuti tubuh Hans, perlahan tubuh bergetarnya terhenti. Ia tertidur pulas, dan nafasnya mulai teratur juga tak lagi meracau. Bunga itu di kenal dengan nama Gardenia Jasminoides[3].

Darah menetes dari lengan hingga ke pergelangan tangannya, mengalir perlahan lewat jari-jarinya yang masih erat memegang kapak di tangan kanannya. Tubuh dan kepala terpisah, Canabis kembali ke wujudnya yang semula, ia berdiri di tengah onggokan mayat dan genangan darah berwarna hitam.

Wajahnya yang melayang itu dingin tanpa ekspresi, ia kemudian berbalik sambil menyeret kapak besar di tanganya itu.

**

Hans terbangun keesokan paginya, ia terdiam. Memeluk kedua kakinya, duduk dan bersandar pada sandaran kasur kayu. Kasur milikinya berukuran master bed dengan kapuk empuk yang mengisinya, sungguh seperti kasur para bangsawan.

Ia masih melamun, entah mengapa kesedihan seolah tertinggal di sana. Ia masih mengingat jelas kejadian semalam, ia kepalkan tangannya erat hingga darah mengalir keluar—kuku menembus kulitnya.

Tok.. tok..

".."

Pintu kamarnya berbunyi, seorang mengetuknya dari luar. Ia hanya diam, seakan tak perduli. Buku milik kedua orang tuanya di peluknya, entah mengapa ia serasa sendirian di tempat asing. Air matanya kembali tumpah, ia tentu bukan seorang anak yang cengeng, hanya saja ia menyesal.

Ia menukar senyum dan kehangatan panti dengan kengerian dan misteri, tanpa sadar ia seperti kehilangan sesuatu dari hatinya.

Tidak!

Tidak! Aku sudah memilih ini!

Ia menghapus air matanya dengan lengannya, menghapus dengan kasar hingga pelipisnya memerah karena gesekan. Ia berdiri dan berjalan ke arah jendela, masih tidak menghiraukan pribadi yang mungkin masih menunggu di depan pintu kamarnya.

Matanya yang kosong menelisik pemandangan di bawahnya, hari itu masih pagi-pagi benar. Ia berbalik dan kembali tidur, berusaha mengubur memorinya kembali ke alam bawah sadarnya.

Matahari terbit, dan ia pun tenggelam ketika malam menjelang. Hari ini tiga hari setelah pembantaian oleh Canabis, Hans masih menolak keluar kamar.

Canabis dan Atkinson saling tatap di meja makan,"Fidelis, kurasa tidak mungkin membawanya mengikut kita,"

"Perjalanan kita ini penuh darah, ia takkan bisa menerima semua ini" Kepala Canabis melayang dari satu sisi ruang ke sisi yang lain.

Atkinson hanya diam tanpa menjawab sepatah kata pun, dahinya mengerenyit masih dalam lamunannya. Jemarinya secara bergantian mengetuk permukaan meja, sementara tangan kirinya menyangga dagunya.

"Hibiscus!" Setelah beberapa menit terdiam ia berteriak memanggil sang juru kemudi.

Seorang pria bongkok berjalan masuk dari arah tangga, Hibiscus bergegas datang setelah namanya di panggil,"Ya tuanku!" Jawabnya sambil menunduk.

"Kau mengenal dataran ini lebih baik dari kami berdua, adakah akademi terdekat sebelum kita memasuki daratan timur?" Tanya Atkinson dengan penuh keseriusan.

"Tentu tuanku, namun, tempat ini berada di ujung daratan utara. Hanya satu akademi yang terdapat di daerah ini, sebuah akademi setingkat kerajaan." Ujar pria tua nan bongkok itu.

"Oh! Bagus!" Celoteh Atkinson dengan sedikit senyum di wajahnya. Belum sempat ia melepas ke khawatirannya, suara Hibiscus terdengar lagi.

"Tapi itu adalah akademi Tamisra[1], akademi yang menerima siapapun tanpa memperhatikan itu Ahengkara, atau pun magi. Akademi bebas tanpa aturan, aku tidak tahu apakah membiarkannya bergabung dengan akademi itu akan membawa kebaikan atau keburukan baginya."

Sistem pendidikan di bagi menjadi tiga aliran besar, meski kemudian terbagi lagi menjadi ratusan kepercayaan dan cara mengajar. Secara garis besar aliran pengajaran di bagi menjadi tiga, yaitu ajaran Hyang Widi[2] yang berpusat pada kepercayaan pada keagungan Tuhan dan alam semesta; Ajaran Sanghara[3] bergerak pada kehancuran, mencari kekuatan terlepas cara yang mereka gunakan, mereka memilih mengikuti si Ular tua dan para penyembah berhala; Aliran terakhir adalah Tamisra yang memiliki ajaran egosentris yang berpusat pada kebebasan pilihan tiap orang. Seringkali ajaran ini terlalu bebas hingga terkesan kacau dan tidak memiliki aturan.

Puk!

Atkinson tersandar turun, menjatuhkan punggungnya pada bangku tempatnya duduk.

"Hmmm.."

Ia menghela nafas, sekarang ia benar-benar merasa bingung. Perjalanan yang ia dan Canabis lakukan bukan lah rekreasi, tapi sebuah perjalanan berat dan memerlukan bayaran yang mahal, bayaran yang mungkin hanya bisa di lunasi dengan darah dan nyawa mereka.

Hibiscus dan Canabis terdiam di sisi meja makan, keduanya pun tak mengerti apa yang mungkin mereka berdua katakan untuk membantu sang pemilik rumah.

"Fidelis, bila memang sekolah itu adalah sekolah Tamisra kita hanya perlu memastikan ia mampu bertahan dan tidak akan kehilangan nyawanya. Hanya sesederhana itu barulah kemudian kita menjeputnya bila nanti kita selesai, bila nanti kita mungkin kembali."

"Hibiscus berapa lama waktu yang di butuhkan untuk sampai di akademi yang kau maksud itu?" Tambah Canabis.

"Perjalanan ke sana dan tujuan kita searah, meski kita mungkin butuh sedikit memutar dan waktu perjalanan bertambah beberapa minggu." Jelas pria bongkok itu.

"Hei Fidelis, jadi bagaimana?" Canabis menyilangkan kedua lengannya, sedangkan kepalanya yang terpisah dari tubuhnya mengitari tubuh Atkinson.

"Aku tidak bisa memutuskan, biarlah anak itu yang memilih." Ujarnya singkat.

Ketiganya saling tatap, tak lama Hibiscus kembali mengetuk pintu kamar Hans,"Tuan Hans keluarlah. Tuan Atkinson ingin bicara sesuatu yang penting."

'Kreak'

Suara pintu terbuka dan sosok kecil dengan wajah dan tatapan kosong berjalan keluar. Hans berjalan keluar sambil menunduk, berjalan sedikit terburu-buru dan langsung duduk sedikit jauh dari ketiganya.

Atkinson tidak langsung bertanya, namun membiarkan Hans duduk terlebih dahulu. Memberikan waktu baginya.

"Hans.."

"Tuan Atkinson! Apakah membunuh orang yang tidak berdaya itu begitu menyenangkan?" Hans memotong ucapan Atkinson, seluruh ruangan terkejut.

"Bukankah orang-orang itu tidak berdaya?!" Hans seakan meluapkan semua kekesalan dann tekanan yang ia rasakan. Matanya menatap tajam ke arah ketiganya, matanya merah karena emosi. Saat ini yang ia ingat adalah ingatan yang muncul dalam setiap mimpinya. Entah siapa mereka itu—orang dalam mimpi Hans—namun ia merasakan rasa putus asa mereka, kesedihan mereka.

"Hmmmp! Tidak tahu aturan! Beraninya kau bicara seperti itu pada tuan Atkinson!!" Canabis lah yang pertama mengamuk dan marah. Meski begitu, Hans tidak gentar, ditatapnya balik mata dari kepala melayang itu.

"Adakah menyampaikan pendapat menjadi sebuah kesalahan?!" Tanya Hans balik.

"Kau tak tahu apa-apa bocah! Aku justru membantu mereka terlepas dari penderitaannya!" Jawab Canabis memukul meja dengan keras hinga terbelah menjadi beberapa bagian.

Suasana ruang makan justru kini di penuhi ketegangan. Hans sendiri tidak menyadari mengapa ia menjadi seperti ini, pada dasarnya ia tidak menaruh amarah pada seisi rumah. Hanya saja kenangan yang muncul saat itu yang membuat suasana hatinya berantakan, ini bukan soal pembantaian yang di lakukan Canabis, tapi ia hanya ingin meluapkan amarahnya.

"Hah, kalau kau memang berniat menolong mereka, sedari awal kau sudah membunuh dengan cara yang lebih manusiawi! Bukan dengan mutilasi dann menginjak hancur kepala mereka!"

"BINATANG!" Hans berdiri, ia seakan dikuasai. Ia mengamuk begitu luar biasa, ketiganya sejujurnya terkejut melihat sosok kecil dan pendiam ini menjadi seperti pribadi yang lain.

"KURANG AJAR!!" Suara Canabis meninggi, jihanya pun mengamuk. Cahaya merah mengepung seluruh meja makan, seperti kabut yang tiba-tiba muncul tanpa sebab. Hans tidak gentar, sifat keras kepalanya terlihat. Meski lemah dan tanpa kekuatan ia melawan balik. Meski tubuhnya tertekan jatuh kelantai, kepala dan harga dirinya tetap tinggi terangkat!

"Canabis.."

"Cukup.."

Seketika ruangan menjadi hening, jiha hijau merayap keluar perlahan dan membersihkan seluruh ruangan. Entah mengapa jiha itu membuat suasana hati dan ruangan menjadi tenang.

"Diantara kami dan Ahengkara terdapat dendam yang begitu dalam, tak terlihat dasarnya!"

"Perbuatan kami bukan di dasarkan pada rasa, atau pun sebuah nilai 'benar atau salah' tapi pada sebuah janji!"

"Kami berjanji akan menghancurkan mereka, sebanyak yang bisa kami bunuh!"

"Satu datang kami membunuh satu, dua datang kami akan membunuh dua! Seribu datang, kami akan membunuh sebanyak yang kami bisa!"

"Tak ada tawar menawar lagi dari resolusi hati kami, oleh sebab itu kami berencana memasukkan mu ke akademi."

"Aku minta maaf Hans, aku lupa bahwa perjalanan kami bukan perjalanan biasa." Ujar Fidelis memeluk tubuh kecil Hans, dan bocah itu membenamkan wajahnya pada tubuh Fidelis dan menangis sejadi-jadinya.

Catatan Kaki:

[1] Sebuah tulisan aksara jawa (Hanacaraka) bertuliskan 'supena' atau mimpi dalam bahasa sansekerta.

[2] Ahengkara, Sansekerta, berarti Nafsu jahat dan durhaka.

[3] Gardenia Jasminoides, latin, Sebuah tanaman yang dikenal juga sebagai bunga Kacapiring, merupakan bunga yang digunakan sebagai maskot kota Bali. Bunga ini memiliki wangi yang bekerja seperti obat penenang. Dapat pula di gunakan sebagai obat liver.