Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 11 - Aksara 8, Danyang

Chapter 11 - Aksara 8, Danyang

Hans terpojok, ia tak tahu harus berbuat apa. Rusa besar itu kini berdiri mematung di hadapan Hans, sesekali menggoyangkan kepalanya entah bermaksud apa. Tubuh besarnya kian lama kian susut,"Wuuwuu" suara bisikan kecil keluar dari mulut rusa yang kini hanya berukuran tiga dpa (enam meter).

Hans tidak mengerti, namun ia memungut ke dua lempengan uma yang berserak di tanah, ketika ia melakukan itu tiba-tiba rusa itu bergerak.

"EH!" Hans sedikit memekik dan melompat mundur, namun ia kembali menjadi tenang, rusa itu merunduk hingga menempel ke tanah dengan melipat keempat kakinya. Semua hal ini seakan mengisyaratkan bocah kecil itu untuk naik ke punggungnya.

Hans nampak ragu, tapi suara auman dari mahluk buas lain terdengar dari kejauhan. Ia memberanikan diri dan memanjat tubuh rusa itu, meski telah mengecil hingga seperdelapan dari ukuran sebelumnya namun ia tetap terlalu besar untuk bocah yang hanya tiga setengah hasta (satu setengah meter) tingginya.

Hans naik dan berpegangan pada tanduk besar sang rusa, mahluk itu pun seakan tidak keberatan. Kemudian ia berjalan pelan, menyusuri hutan. Tanpa Hans sadari ia memasuki kabut tebal dan keduanya menghilang dari tempat itu.

Hanya berselang beberapa helaan nafas, sosok lain datang jauh dari atas langit. Wajah tuanya terlihat amat pucat, keringat bercucuran memenuhi wajah kriput miliknya.

"Tuan Hans!"

"Tuan Hans!"

"Tuan bila kau mendengarku tolong jawab!" Ia berteriak-teriak sambil menahan tangisnya, hatinya penuh kekacauan karena rasa takut, rasa sedih dan penyesalan bercampur membuat hatiya tidak menentu.

Sesaat kemudian ia mendarat di tempat ular api itu lenyap, pepohonan di sekeliling telah kembali seperti semula akibat aksara dari sang rusa. Tak ada bekas pertempuran di sana kecuali bekas tanah yang terbakar.

Hibiscus berjalan kecil dan menemukan buku lusuh milik Hans, ia kemudian melompat turun dari punggung Praus dengan tergesa-gesa bahkan hingga terguling sanking paniknya. Dipegangnya buku tua lusuh milik Hans, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari kemana hilangnya bocah itu.

**

Hans seakan mengalami kantuk yang luar biasa, ia tak mengerti kemana rusa ini membawanya, seluruh luka dan cidera miliknya seakan perlahan menghilang. Seakan kabut ini menyembuhkan dirinya, namun disaat yang bersamaan membuat tubuhnya terasa begitu lelah. Rusa itu berlari dengan elegan melewati kabut hingga mereka sampai di kaki gunung yang teramat tinggi.

Rusa itu terhenti, Hans membuka matanya dengan usaha yang tidak bisa dibilang sedikit. Ketika ia berhasil membuka matanya, ia serasa tidak ingin menutupnya kembali. Dua belas air terjun menyambutnya, kedua belasnya bersusun ke atas seperti anak tangga. Begitu megah dan indah, air seperti tersekat di antara bebatuan besar yang menjadi pembatas antara air dan sekelilingnya.

Hans masih belum puas menikmati pemandangan luar biasa itu, namun rusa itu bergerak tanpa memberinya aba-aba, melompat ke arah air terjun besar itu.

Hans menjerit kecil, air terjun itu begitu besar tinggi tiap tingkat air terjun mencapai dua ratus dpa (empat ratus meter) dengan rentang lima pulu dpa (seratur meter).

Melihat hal itu Hans sudah bisa membayangkan apa yang terjadi pada tubuhnya bila ia dengan sembrono menghadapi deru air yang deras itu. Rusa itu sekan tak takut, bergerak dengan mantap tepat ke bawah air terjun.

Ia menutup matanya, merasa takut. Lompatan sudah di lakukan, keduanya telah masuk ke dalam derasnya deru air, namun setelah beberapa helaan nafas tak ada rasa apapun yang ia rasakan. Bahkan air tak sedikit pun membasahi tubuhnya. Ia membuka matanya dan mendapati tirai-tirai air melingkupi mereka, berputar menjadi bola besar yang membawa mereka naik. Ketika mereka melewati air terjun yang pertama, ia melihat seekor mahluk tengah tertidur di puncak air terjun yang pertama.

Ia bukan binatang magis, tubuhnya hitam legam dan memiliki dua lengan besar. Ia memiliki tanduk di siku dan dengkulnya, hanya dengan melihatnya saja membawa rasa takut yang luar biasa pada Hans.

Beruntung tirai-tirai itu membawa mereka naik dengan cepat, sehingga ia tak perlu berlama-lama melihat pemandangan itu. Setiap puncak air terjun memiliki satu mahluk aneh bersila di sana, seakan bertapa atau tengah berdoa.

Dari dua belas puncak air terjun itu, bagian teratas puncak ke dua belas adalah bagian yang paling menyeramkan bagi Hans. Sosok putih dengan kepala tanpa wajah berpaling kepadanya, mahluk itu seakan melihatnya dengan wajah yang tak bermuka, tak bermata. Namun Hans merasa seluruh rahasia tubuhnya terlihat oleh mahluk itu, rasa takut luar biasa membanjiri hatinya tubuhnya mulai bergetar.

Menyadari hal itu rusa itu memekik kecil dan sosok itu kemudian berpaling dan tidak mengindahkan Hans, tangan kecil Hans memeluk tubuh rusa itu sambil membuang wajahnya dari arah sang mahluk aneh itu.

Keduanya tak lama terbang mengatasi dua belas air terjun itu, di bagian teratas sebuah altar besar berdiri tegak. Di tengah altar itu terdapat singgasana yang teramat besar, kira-kira lima puluh dua dpa (seratus empat meter lebarnya) dan seratus dua puluh dpa tingginya.

Hans yang merangkak turun dari rusa punggung rusa kemudian berdiri dengan kaki bergetar, semua sensasi yang ia rasakan sebelumnya tak ada artinya bila dibandingkan dengan rasa takut yang di berikan oleh sosok yang begitu besar yang duduk di hadapannya. Aura yang ia pancarkan membuat Hans tidak mampu bernafas, kemudian ia tersungkur di tempatnya berdiri.

Sosok besar ibarat dewa duduk di singgasana para raja-raja khayangan, tubuhnya di penuhi kristal hijau yang membentuk baju perang yang begitu luar biasa. Ia duduk mengakang, tangan kanannya memangku dagunya yang tengah melihat Hans. Tubuh yang amat besar itu membuat Hans merasa sebuah gunung tengah mengamat-amati dirinya. Di tangan kiri sosok besar itu, sebuah palu masih dalam genggamannya.

Hans tidak berani membuat suara, namun suara penuh kekuatan dan kebijaksanaan terdengar di telinganya. Bukan hanya di telinganya, namun seakan memenuhi seluruh daerah itu menggelora seperti petir.

"Hei Anak manusia!"

"Tak perlu takut, angkat wajahmu!" Sebuah perintah terucap. Seakan membuat Hans tak kuasa menolak ia dengan bersusah payah mengakat kepalanya dengan tubuh yang gemetar, ia merasa begitu lemas dan mengantuk. Ketika wajahnya terangkat wajah mahluk itu terlihat, seakan memakai topeng hanya terlihat cahaya dari celah di kedua matanya, warnanya biru dan menenangkan. Sedang dagunya terbelah menyingkap dua tanduk besar.

"Kau bisa memanggilku Umbara,"

"Aku Danyang ruh penunggu tempat ini, engkau pasti kebingungan mengapa aku memerintahkan Sarya membawa kemari!"

"Sarya adalah pelayanku yang paling setia, bahkan lebih setia dari para muridku yang bertapa di dua belas tingkap air terjun,"

"Hei anak manusia!"

"Engkau menginginkan kekuatan, benar?" Umbara sang ruh penunggu gunung bertanya.

Hans masih bergetar, namun ia mengepal kedua tangannya. Ia baru menyadari apa arti menjadi kuat hari ini, setidaknya ia mulai mengerti meski tidak sepenuhnya paham. Namun ia sadar, untuk tetap hidup ia harus kuat.

Aku harus menjadi kuat agar aku tetap hidup, agar aku bisa mencari tahu tentang keadaan ayah dan ibu!

Aku harus kuat untuk melindungi suster kepala dan semuanya, aku harus menjadi kuat agar bisa menjadi diriku sendiri.

Ia mengangguk kecil, namun kali ini dengan tatapan tajam ke arah sosok yang bahkan bisa menenggelamkan gunung itu, ia seakan-akan tidak memiliki rasa takut lagi.

"Bagus, bila begitu buatlah perjanjian denganku,"

"Maka aku akan meemberikan kekuatanku padamu!" Umbara kini menundukkan kepalanya untuk menatap balik Hans hingga beberapa meter saja dari tubuh kecilnya.

"Kau tidak perlu menjawabnya sekarang anak manusia! Waktumu belum sampai, kau bahkan belum memiliki Uma, nanti akan ada waktunya!"

"Aku sudah hidup di berbagai masa, melewati beribu tahun dalam catatan semesta!"

"Tidak menjadi masalah bagiku untuk menunggu beberapa tahun lagi! Kau hanya perlu berjanji untuk memberikan aku jawaban lima tahun kelak di hari seperti ini juga!" Umbara menarik tubuhnya dan bersandar pada singgasana miliknya.

Hans tidak menjawab, hanya memberi anggukan kecil. Saat ini pun ia masih tidak mengerti arti dari ucapan Umbara padanya. Mahluk yang sangat kuat ibarat dewa itu mau membuat janji dengan anak manusia rendahan? Apa alasanannya.

"Pergilah,sampai jumpa!" Umbara berucap kemudian sosoknya di penuhi kabut dan menghilangdari pemandangan Hans. Sarya, sang rusa besar menunduk agar di tunggangi Hanskemudian menghilang bersama bocah kecil itu melewati kabut yang membawa merekaentah kemana.

**

Ketika Hans berlalu dan telah lama meninggalkan tempat itu, dua belas murid Umbara seakan tak sabar lagi menunggu penjelasan sang guru dan berjalan dari tempat pertapaan mereka. Mahluk yang Hans jumpai pertama kali lah yang bertanya terlebih dahulu,"Yang Mulia, Maha Guru!"

"Mengapa engkau membawa anak manusia itu ke tempat ini?" Ia adalah murid termuda, yang di tunjukkan dari posisinya yang berada di tingkat paling bawah air terjun. Saudara-saudaranya yang lain seakan memiliki pertanyaan yang sama, kecuali yang tertua, mahluk tanpa wajah yang melihat Hans di puncak air terjun ke dua belas.

"Hanaya, engkau sudah mengerti bukan?!"

"Berilah penjelasan pada adik-adikmu!" Umbara dengan malas menatap kedua belas muridnya.

"Baik, Maha Guru!"

"Meski aku sendiri tidak begitu memahami apa yang terjadi, tapi aku melihat semesta seakan bergerak mengikuti anak manusia itu!"

"Aku belum pernah memahami hal ini, jadi aku pun tidak dapat menjelaskannya!"

**

Hibiscus kembali ke kastil dengan wajah penuh kesedihan, seperti orang yang tengah berkabung ketika ada keluarga yang meininggal. Hibiscus menunduk dan wajahnya di selimuti garis-garis bekas air mata yang mengalir ketika wajah berdebunya tersapu air yang keluar dari matanya.

Fidelis dan Canabis menatap dari atas balkon, ia melihat pemandangan aneh di mana Praus, sang kuda terbang dan Hibiscus justru berjalan di atas tanah dan bukan terbang di udara.

Fidelis yang pertama melihat ke anehan,"Apa yang terjadi?!"

Dimana Hans?!

"HIBISCUS!!!" Suara penuh amarah Fidelis menggelegar, Hibiscus tersungkur hingga wajahnya menyentuh tanah.

"Tuan maafkan pak tua ini! Nyawaku pun tak akan cukup menghapus kesalahanku! Aku mohon bunuhlah pak tua ini!" Hibiscus kembali sesenggukan, menangis membuat tubuh lemahnya semakin lemas.

Fidelis benar-benar marah, anak itu ia bawa untuk melihat dunia. Namun belum sempat ia melihat 'dunia' yang ia maksud ia terlebih dahulu kehilangan nyawanya?

Canabis berjalan maju berusaha menghentikan Fidelis yang mendekati Hibiscus,"Canabis! Kau pikir aku akan membunuhnya! Aku hanya marah!" Fidelis berteriak ke arah Canabis yang hendak menghentikannya.

"Hib! Tunjukkan jalannya! Kita cari dia!" Perintah Fidelis, auranya kini berubah. Entah karena amarah atau karena jiha yang begitu kuat mengalir dari tubuhnya, sebuah aksara terbentuk di udara. Berbeda dengan aksara yang pernah ia gunakan sebelumnya, aksara ini membuat susana berubah.

Wit [1]

[1] Aksara Jawa (Hanacaraka) bertuliskan 'Wit' sebuah kata sansekerta berarti pohon.

Marta [2]

[2] Aksara jawa bertuliskan kata sansekerta 'marta' yang berarti kehidupan.

Aksara itu kemudian saling melebur menjadi sebuah bayangan pohon besar di belakang tubuh Fidelis, pohon yang kemudian menyatu dengan tubuh Fidelis yang membuatnya seperti mengenakan pakaian perang terbuat dari kayu. Fidelis merentangkan tangannya, kemudian menjamah kepala pak tua Hib yang seketika kembali menjadi penuh warna. Seakan semua kelelahan yang ia rasakan semula telah hilang, Hibiscus berdiri dan menaiki Praus dan hendak bergerak maju. Fidelis mengikutinya sambil melayang di udara, akar-akar pohon menyerupai kaki menjadi perpanjangan kakinya.

Baru saja keduanya hendak melesat memasuki hutan, pohon besar pembawa kastil menjerit ketakutan. Seluruh dedauan yang masih menempel di punggung dan kepalanya berguguran membuat pusaran yang terbuat oleh daun.

Mata Fidelis mamandang tajam ke arah pedalaman hutan, malam hampir tiba. Langkah kaki terdengar berjalan keluar dari hutan, awan gelap datang bersamaan dengan suara itu. Matahari pun perlahan terbenam tepat di belakang Fidelis seperti ketakutan menyapa sosok yang datang bersama malam itu.

Canabis menggenggam kapak besar miliknya, kepalanya melayang-layang mengelilingi tubuhnya. Kini udara di penuhi aura membunuh yang di pancarkan Fidelis dan Canabis, Praus dan Hibiscus tidak kalah tegangnya.

Aura yang datang ini, lebih kuat dari ular api yang sebelumnya menyerang mereka. Bahkan Praus mulai mundur karena ketakutan, ketika matahari terbenam sepenuhnya dan membuat hutan menjadi gelap barulah sosok itu muncul keluar.

Seekor rusa raksasa berjalan keluar, di punggunya seorang bocah bersandar tak sadarkan diri, Hans. Fidelis meju ke depan, ketiga asksara miliknya berterbangan di udara, siap melepaskan serangan luar biasa kapan saja.

"Siapa kau?!" Fidelis bertanya ke arah Rusa besar itu.

"Sarya," Jawab rusa itu singkat, seraya ia menunduk dan menurunkan Hans yang telah kehilangan kesadaran.

"Jaga bocah ini, paduka Umbara hendak menjalin perjanjian dengannya. Di hari yang sama lima tahun lagi!" Setelah berucap demikian, kepulan kabut tebal menyelimutinya dan mahluk itu menghilang begitu saja!

Fidelis menyalurkan jiha sedikit demi sedikit ke tubuh Hans, memeriksa tubuhnya apakah ada luka atau cidera. Namun yang mengejutkan adalah Hans sepertinya hanya kelelahan, kejadian malam ini sudah di takdirkan membekas di kepala Fidelis, Hibiscus dan Canabis untuk selamanya.

**

Beberapa hari kemudian.

Hans menghabiskan waktunya untuk mempelajari nama-nama tumbuhan, kini ia telah memasuki nama ke tiga ratus. Hal ini membuat Fidelis tidak tahu harus berkata apa, ingatannya benar-benar luar biasa. Setelah sesi belajar selesai, Fidelis dan Hibiscus serta Canabis duduk di meja makan untuk mendengar cerita Hans.

Hans menceritakan pengalamannya yang ia alami, ia merasa seperti telah pergi beberapa hari di dalam tempat di mana Sarya, rusa itu membawanya.

Mendengar ceritanya dari awal hingg akhira, ketiganya terkejut. Bukan hanya itu mereka pun sedikit merasa takut.

"Aku tidak pernah menyadari, di perbatasan ini terdapat tempat tinggal salah satu Danyang."

"Tapi Hans, apa yang di maksud rusa itu? Sesat setelah menurunkan mu ia berkata 'Umbara hendak menjalin perjanjian dengan mu?' apa maksudnya?" Fidelis bertanya, seakan tidak membutuhkan jawaban matanya terbelalak.

"Jangan bilang, dia ingin membuat perjanjian darah denganmu nak?!" Fidelis berdiri dari tempatnya duduk.

Hans mengangguk kecil, dan melihat ketiga orang dewasa yang menatap ke arahnya.

"Kau tahu apa artinya? Kau akan memiliki kekuatan yang luar biasa bila kau menerimanya! Jauh lebih kuat dari apa yang kau bisa bayangkan!" Ujar Canabis terlihat antusias dan bersemangat.

Namun di luar dugaan setiap orang, Fidelis menggeleng.

"Hans, kau tahu artinya perjanjian darah?" Tanpa menunggu Hans menjawab, Fidelis meneruskan.

"Hal itu berarti kau dan dia akan berbagi tubuh, berbeda dengan perjanjian Hibiscus dan Praus,"

"Hibiscus dan Praus adalah perjanjian hati yang menghubungkan kedua batin mereka,"

"Namun Umbara sepertinya menginginkan tubuhmu nak!"

"Kau harus memikirkannya baik-baik, mungkin saja kelak kau akan kehilangan jati dirimu yang sebenarnya bila kau menerima perjanjian dengannya." Jelas Fidelis yang membuat seluruh ruangan menjadi sunyi sepi.

Hans tersentak, namun ia tidak berkata apa-apa.

Bila menjadi kuat namun dengan mengorbankan siapa diriku, lalu apa artinya? Aku bahkan tidak cukup kuat untuk menjadi diriku sendiri. Untuk mempertahankan siapa aku, siapa orang tuaku, apa masa laluku?

Tidak, aku harus berjalan di jalan yang memang telah semesta gariskan padaku. Dan bukan jalan dari mahluk itu, meski ia sekuat dewa, tak akan ku berikan jati diriku.

Aku adalah siapa yang Semesta ciptakan, dan bukan apa yang orang atau mahluk apapun tunjukkan. Semesta hanya dia yang memiliki hak mengatur diriku.

Tak disadari ketiga orang itu, jauh sebelum tenggat waktu lima tahun habis Hans telah terlebih dahulu menentukan pilihan hatinya, menentukan jalan hidupnya. Hal ini cukup mengejutkan bahwa anak sekecil itu bisa memikirkan hal seperti ini.

"Jangan pecaya manusia, percaya pada apa yang semesta tunjukkan padamu"

Entah itu perkataan siapa, namun perkataan-perkataan itu serasa begitu dekat dengannya. Tergores jelas di batin dan pikirannya, entah siapa yang mengucapkannya dan bagaimana bisa perkataan itu ada di sana. Namun perkataan ini selalu muncul dalam hati dan mimpinya, membuatnya yakin bila bukan ayah maka ibunyalah yang mengajarkannya.

**

Waktu berlalu dengan cepat, seperti terbawa angin ia mengalir deras. Telah lebih dari dua bulan waktu mengalir begitu saja, pelajaran tumbuhan dan latihan fisik dalam perburuan terus berlangsung.

Tubuh Hans bertumbuh dengan sangat cepat, tak lagi terlihat bocah kurus tak terawat di perawakannya yang sekarang. Ia tumbuh menjadi anak laki-laki yang berisi dan sehat, latihan fisik yang ia jalani setelah belajar pengobatan membuatnya menjadi terlihat kekar.

Semakin dekat dengan waktu ulang tahunnya yang kesembilan, tubuhnya ia rasakan semakin sehat dan makin kuat. Bukan hanya itu, kemampuan dan proses berfikirnya semakin mencengangkan Fidelis.

Karena memakan daging hewan magis dan tanaman obat herbal yang berkhasiat tinggi, yang sampai saat ini pun ia tak sadari harganya begitu mahal, ia bertumbuh lebih cepat dari anak-anak seumurnya.

Bahkan anak para bangsawan belum tentu menerima perlakuan seperti ini.

"Hans cepat sebutkan resep ramuan untuk pembuatan serum peningkat massa otot!" Fidelis terlihat jengah di sudut lain meja. Ia melemparkan banyak pertanyaan dan bocah itu, menjawab tanpa berhenti, membuat dia semakin kesal semakin banyak ia bertanya.

"Tiga sukat[3] daun Acalypha Australis [4], uma Niharan atau binatang magis tingkat lebih tinggi dengan elemen tumbuhan atau kehidupan,"

"Hancurkan dalam batu tumbukkan, kemudian bakar dalam suhu seribu celcius!" Ujarnya Hans yang kemudian di lanjutkan penjabaran teori yang lebih dalam.

"Menurut tuan Melsie Decem, dalam jurnal hariannya ia mengatakan bahwa dengan mengatur suhu secara terus menerus mengikuti perkembangan perubahan obat, efektifitas yang lebih baik dapat di capai!" Ujarnya seakan menyelesaikan penjabaran yang ia lakukan. Fidelis melemparkan tubuhnya ke bangku tempat ia duduk, merasa kalah oleh bocah sembilan tahun.

"Hei Hans, upacara jamahan semesta untuk dirimu akan di lakukan kurang lebih tiga hari lagi! Bersiaplah, selama tiga hari ini kau tidak perlu belajar. Cukup latihlah fisikmu seperti yang di ajarkan Canabis padamu!"

Mereka masih mengobrol dengan serius, Hibiscusmenghampiri Hans kemudian menyerahkan buku usang miliknya. Tuan Hans, akumenemukan buku ini ketika kau menghilang. Ketika ia melihat buku itu hatinyaterasa berat, seakan ia telah melupakan tujuannya yang semula.

Catatan kaki:

[1] Danyang, Jawa, adalah roh halus tertinggi yang tinggal di pohon, gunung, sumber mata air, desa, mata angin, atau bukit.

[2] Aksara Jawa (Hanacaraka) bertuliskan 'Wit' sebuah kata sansekerta berarti pohon

[3] Aksara jawa bertuliskan kata sansekerta 'marta' yang berarti kehidupan.

[4] Sukat, ukuran takaran yang di gunakan pada abad ke ā€“ 15 yang sama dengan 1200 ā€“ 1800ml

[5] Acalypha Australis, latin, tanaman herba satu musim. Dikenal dengan nama lokal anting-anting, di budidayakan dengan biji dan hidup di lingkungan dengan daerah terkena sinar matahari namun teduh. Digunakan untuk pengobatan disentri akibat amoeba dengan cara di rebus seluruh batang yang telah kering. Dapat digunakan pula untuk pengobatan dermatitis dan koreng, serta menghentikan pendarahan seperti mimisan dan mempercepat pengeringan luka.