Chereads / I'm Vai - I just want to Live Peacefully / Chapter 6 - Chapter 6. Perjalanan ke Kota Kalt

Chapter 6 - Chapter 6. Perjalanan ke Kota Kalt

Chapter 6. Perjalanan ke Kota Kalt

'BRUG!!'

Dustin tidak bergeming menerima pukulan Vai. Dustin menyeringai.

"Gerakan kamu barusan..Darimana kamu menda…"

Belum selesai Dustin menyelesaikan ucapannya, pukulan kedua kembali dilancarkan oleh Vai dan kali ini tepat di wajah Dustin.

'BRUG!!'

Dustin tidak menunjukkan rasa sakit akibat pukulan yang dilancarkan Vai. Namun ekspresinya kini mulai terlihat kesal.

"..KAMU TIDAK PERNAH DIAJARKAN SOPAN SANTUN YA?" bentak Dustin sembari mengayunkan pedangnya ke arah Vai.

"..Sopan santun bukan kata yang pantas diucapkan oleh seorang perompak!" Ujar Vai. Serangan Dustin terlihat sangat lambat di mata Vai. Dengan mudah ia menghindari serangan Dustin.

'BRAKKKK!!'

Pukulan biasa tidak akan mempan. Aku harus melakukan sesuatu, pikir Vai. Dustin terus menerus melancarkan tebasan ke arah Vai. Vai menghindari setiap serangan Dustin. Dalam sekejab, Vai berhasil merebut pedang dari tangan Dustin.

Situasi berbalik. Vai menghunuskan pedang yang semula berada di tangan Dustin ke leher Dustin.

"Tinggalkan kapal ini atau aku tidak akan segan-segan memisahkan kepalamu dari tubuhmu!" ancam Vai

Dustin kembali tersenyum menyeringai.

"Ternyata kamu kuat juga.. sepertinya terlalu sayang untuk membunuhmu." Ujar Dustin santai. Sebuah pistol laras pendek sudah menempel terlebih dahulu di dada Vai. "..aku tidak tahu apakah kamu masih bisa memisahkan kepalaku dari tubuhku dengan peluru di jantungmu"

'Glup!' Vai menelan ludah.

"…"

"Baiklaah..baiklaah… Aku akan melepaskan kalian kali ini." Ujar Dustin sembari menyimpan kembali pistol laras pendek tersebut ke pinggangnya sambil tertawa. "..KITA KEMBALI!!" teriak Dustin pada krunya.

Dustin berbalik meninggalkan Vai dan menuju ke kapalnya.

"..Ta..tapi Kapt.."

"..Aku sudah kehilangan mud untuk menjarah. Terlalu banyak kejadian aneh hari ini.." Ujar Dustin santai.

Para perompak saling bertatapkan dan mengikuti kapten mereka pergi.

Bard berjalan menghampiri Vai.

"hyuk! Kalian mungkin lolos hari ini" Ujar Bard,"..tapi mungkin tidak untuk pertemuan berikutnya! Hyuk!" Bard merebut kembali pedang di tangan Vai kemudian pergi menyusul Dustin.

Dustin dan para krunya pun pergi meninggalkan kapal mereka.

--

"Pahlawan..pahlawan.." Teriak para penumpang dan awak kapal.

"Kamu menyelamatkan kami, hebat sekali kamu bisa mengalahkan kapten perompak itu." ujar kapten kapal.

"..Ti..tidak.. hanya kebetulan saja.." Jawab Vai.

"Pahlawan? Aku tidak suka terlibat seperti ini.. apalagi dipanggil dengan sebutan pahlawan.." gumamnya "..pahlawan.. sebutan ini malah mengingatkanku pada makhluk dalam mimpiku.."

Meskipun mengeluh, tanpa sadar Vai tersenyum. Mungkin karena perasaan senang di hatinya. Dinding dalam hati Vai yang selama ini menutup dirinya untuk terlibat dengan masalah orang lain kini mulai runtuh.

Para awak kapal mulai membereskan sisa-sisa kekacauan akibat serangan perompak. Mereka melepaskan ikatan para penumpang lain yang terikat dan memasukkan tubuh penumpang yang terbakar ke dalam kantong mayat.

"..Tubuh mereka terbakar tiba-tiba.."Ujar Kapten kapal. "..apa yang sebenarnya terjadi?"

--

Malamnya, Vai sedang duduk bersandar di dinding dak kapal. Ia kembali teringat momen serangan perompak tadi siang. Tidak hanya gerakan Dustin yang menjadi lambat di hadapannya. Keadaan sekitarnya pun ikut menjadi lambat. Mungkin lebih tepatnya Vai yang menjadi lebih cepat.

"Teknik ini.. sudah lama sekali aku tidak menggunakannya.." gumam Vai. "..bagaimana aku bisa lupa dengan teknik dari kakek ini?"

//

"JA..JANGAN MENDEKAT!!" teriak seorang pria. Wajah pria tersebut tidak terlihat dengan jelas. Bagaikan bayangan siluet hitam. "..A..Aku tidak akan segan-segan membunuh gadis ini.." Pria tersebut membekap seorang gadis kecil. Sebuah celurit menempel di leher gadis tersebut. Pria itu terlihat gemetar.

Vai menyudutkan pria tersebut di ujung tebing. Terpaan angin yang sangat kencang dan bau lembab menyelimuti udara sekitar.

"Tinggalkan gadis itu atau kamu akan menyesal!" Ujar Vai. Senyum penuh percaya diri menghiasi wajah Vai yang masih kecil tersebut. Vai berjalan mendekati pria tersebut.

"..Ti..TINGGALKAN AKU SENDIRI!!" Pria tersebut semakin panik. Celurit di tangannya semakin menekan leher gadis kecil tersebut. Darah segar mulai mengalir ke badan celurit dan menetes ke tanah.

"AAAHHH!!! SAKITTT!" Gadis kecil tersebut meringis kesakitan dan menangis. Lehernya tergores mata celurit.

"LEPASKAN DIA!!" Teriak Vai.

//

"..apakah saya mengganggumu?" Ujar kapten kapal yang entah sejak kapan telah duduk di sebelah Vai.

Vai tersadarkan dari lamunannya.

"..Kapten.." Sapanya.

"..saya belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi siang." Ujar Kapten Kapal.

"..Ah..bukan apa-apa.."

"Beberapa hari lagi kita akan sampai ke kota Kalt.." Ujar Kapten Kapal. "..Saya mohon bantuanmu lagi kalau seandainya terjadi apa-apa sepanjang perjalanan."

Vai hanya menjawab dengan senyum kecut. Sebenarnya ia tidak mau terlalu terlibat dengan masalah orang lain. Tetapi ia tidak dapat menolak permintaan dari sang kapten.

"Ngomong-ngomong, saya ingin kamu menerima ini.." Kapten kapal menyodorkan sebuah jaket bulu ke Vai. "..ini mungkin tidak seberapa, tapi mungkin bisa berguna di Kota Kalt."

"..Jaket bulu?" Vai menerima jaket dari Kapten kapal dengan heran.

"Iya,Nak Vai.. Kota Kalt adalah kota yang sangat dingin dengan dataran diselimuti oleh salju yang tebal." Ujar Kapten kapal. "..Saya lihat kamu tidak membawa jaket yang cukup tebal dalam perjalananmu. Kuharap Jaket ini bisa menghangatkanmu."

Barang bawaan Vai hanyalah sebuah ransel kecil dan sebuah tas pinggang. Terang saja tidak ada tempat untuk menyimpan jaket tebal dalam tas ataupun ranselnya.

"..terima kasih, Kapten" Ujar Vai. "Sial... kakek mengirimku ke sana tanpa ada persiapan sedikitpun." Gerutu Vai.

Entah kenapa Vai seolah dapat membayangkan wajah kakeknya sedang tertawa santai di rumah tanpa memperdulikannya. Wan hanya menitip pesan kepada Vai untuk mencari orang bernama Howard Knut jika sudah tiba di kota tujuan. Howard adalah seorang mentor dan ahli beladiri ternama yang pernah berlatih bersama dengan Wan. Karena kehebatannya, ia diakui sebagai salah satu petarung terhebat di dunia.

--

Kapal mereka pun tiba di tempat tujuannya, Kota Kalt. Tidak seperti bayangan Vai, Kota Kalt ternyata sangat indah. Vai takjub. Kota ini berwarna putih akibat diselimuti salju yang tebal di seluruh kotanya. Suhu udara yang dingin hingga menusuk tulang membuatnya gemetar kedinginan. Tetapi rasa dingin ini dalam sekejab memudar karena rasa takjub Vai pada keindahan kota ini. Kota yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

"Kita telah tiba di tujuan. Terima kasih telah mempercayai kapal kami dalam perjalanan anda!" Ujar Kapten Kapal pada para penumpang.

Para penumpang mulai turun ke dermaga dan menuju kota.

"Terima kasih, Kapten" Ujar Vai.

"..Jaga dirimu dengan baik, nak Vai.." Ujar Kapten pada Vai.

Vai menjawab dengan senyum. Jaket Bulu yang hangat dari sang kapten telah dikenakan Vai sesaat sebelum turun. Entah apa yang akan dirasakan oleh Vai apabila ia tidak mendapatkan jaket dari kapten. Mungkin ia akan membeku kedinginan sebelum dapat menginjakkan kakinya ke kota Kalt tersebut.

Vai turun dari kapal. Ia memutuskan untuk mencari penginapan terlebih dahulu sebelum menemui Howard. Vai masih tidak dapat menahan rasa gembira sekaligus takjub saat menginjakkan kaki di kota ini.

"Silahkan dibeli jaket hangat! Hanya 1.000 Polo!!"

Terdengar teriakan-teriakan para pedagang di sepanjang dermaga.

"Senter kualitas bagus!! Hanya 600 Polo!!"

Di jaman ini, dunia dipimpin oleh beberapa kerajaan dan mata uang yang digunakan di seluruh dunia adalah Polo. Mesti Kota Kalt terlihat tidak semaju Kota Marin,kota asal Vai, Kota Kalt ini memiliki begitu banyak bangunan tinggi yang diselimuti salju dan lampu jalanan klasik yang menghiasi setiap sudut jalan kota.

"Aku akan berkeliling kota ini terlebih dahulu sebelum mencari penginapan.." ujar Vai.

To be continued..