Hari semakin larut namun Wenda belum bisa memejamkan matanya. Dia masih memikirkan perkataan Axton yang ingin berkencan dengannya.
Wenda tak bisa berpikir jernih karenanya. Karena dia tak bisa tidur, dia memutuskan untuk bangun dan mendekat ke jendela mencari udara segar.
Diterpa angin sejuk tak lantas membuatnya tak ingin berdiam diri di jendela. Wenda memejamkan kedua matanya, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan.
Wenda lalu berjalan keluar dari kamarnya menuju lantai dua. Lampu di rumah tersebut telah dipadamkan sehingga rumah Axton yang megah gelap gulita dan hanya cahaya bulan yang masuk dari jendela maupun celah dari rumah tersebut.
Wenda bergerak menuju lantai dua ingin menenangkan pikirannya di balkon. Begitu dia sampai, Wenda berjalan lebih cepat ingin duduk di kursi favoritnya tapi langkahnya tiba-tiba menjadi berat saat melihat sesosok pria sedang duduk di kursi panjang favoritnya berupa ayunan yang memang sengaja diletakkan di tempat itu.
Axton, pria itu belum tidur. Dengan menggenggam segelas kopi hangat yang dia seduh sendiri. Gadis itu segera berbalik berjinjit pelan menjauh agar tak diketahui keberadaannya oleh Axton.
Axton melirik sekilas ke arah di mana Wenda berjalan dan dia menemukan punggung seseorang yang dia tak kenal. "Siapa di sana?" tanya Axton dengan nada tajam.
Wenda bergidik ketakutan mendengar nada yang belum pernah Wenda dengar dari Axton. Dia memilih pasrah dengan membalikkan tubuhnya. Kedua mata Axton yang awalnya terlihat mengintimidasi perlahan melembut.
"Wenda, kupikir kau sudah tidur," ucap Axton pada Wenda yang mengusap tengkuknya tak nyaman dengan situasi tersebut.
"Aku juga pikir kau sudah tidur. Kenapa kau tidak tidur?"
"Aku banyak pekerjaan. Kau?"
"A-aku tak bisa tidur." jawab Wenda kembali lalu melanjutkan kata-katanya.
"Kalau begitu aku pergi dulu ya, aku mengantuk sekarang. Selamat malam." Wenda berbalik secepatnya meninggalkan Axton.
"Wenda," Wenda menoleh kembali pada Axton.
"Kemarilah temani aku." pinta Axton. Ingin menolak, Wenda takut Axton akan kecewa padanya tapi dia tak ingin dekat dulu dengan Axton karena ajakannya tadi.
Wenda melangkah ragu mendekati Axton yang kini menepi, memberi tempat untuk Wenda. "Ini ambilah," ucap Axton menyodorkan segelas coklat panas pada Wenda.
"Entah karena apa aku membuat kopi dan coklat panas, tapi aku sudah mendapat jawabannya." ujar Axton. Wenda meminum coklat panas buatan Axton.
"Ini enak sekali." puji Wenda.
"Terima kasih." balas Axton sambil tersenyum ramah.
"Apa kau sering menghabiskan waktumu dengan seperti ini?" tanya Wenda penasaran.
"Yah, sering semenjak Kakek dan Nenek meninggal." jawab Axton tenang.
"Ayah? Ibu?" Wajah Axton yang tenang berubah menjadi sendu.
"Maafkan aku kalau..."
"Tak apa-apa, aku bisa mengerti. Katamu kau tak bisa tidur ya?" Wenda mengangguk dengan pelan.
"Kenapa?" Wajah Wenda langsung memerah menandakan bahwa dia tak mau membicarakannya. Axton terkekeh sebelum akhirnya menarik kepala Wenda untuk diletakkan ke bahunya.
"Axton, kenapa..."
"Tidurlah." potong Axton.
"Aku akan menemanimu tidur, jadi kau tak usah takut ya." lanjutnya dan menggenggam lembut tangan Wenda. Hati Wenda menghangat, dia mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Axton yang kini saling tertaut.
Wenda akhirnya memejamkan matanya dan tertidur di pundak suaminya. Axton tersenyum dan merubah posisi tangannya merangkul tubuh Wenda.