"Jadi aku harap sebagai pimpinan kalian, bisa bekerja baik dalam proyek ini apa kalian mengerti?" tanya Brenda dengan tatapan mengintimidasi.
"Baik Ketua," jawab keduanya serempak. Mereka semua merasa terancam dengan tatapan mengintimidasi Brenda yang sekarang terlihat menakutkan. Mereka terus ditekan kuat oleh Brenda agar bekerja dengan baik dan semua merasakannya termasuk Wenda dan Pitaloka.
"Wenda," panggil Brenda tiba-tiba.
"Ya, Ketua." jawab Wenda cepat.
"Begini, kita akan bekerja sama dengan DeMonte Corporation. Aku ingin kau yang memgundang Fredikson DeMonte, pimpinan dari DeMonte." pinta Brenda.
"Tapi Ketua, bukankah..."
"Kau berani membangkang?!" potong Brenda dengan pandangan mata tajam.
"Tidak Ketua." balas Wenda.
"Kalau begitu lakukan perintahku."
"Ini tak adil." kata Pitaloka tiba-tiba.
"Tidak adil?"
"Iya Ketua, kenapa kau menyuruh Wenda mengundang Tuan Fredikson DeMonte? bukankah Presiden menyuruh Ketua yang mengundang Fredikson DeMonte?" ujar Pitaloka.
"Pitaloka!"
"Jika Ketua memberikan pekerjaan dari Presiden untuk Wenda, itu sama saja Ketua lari dari tanggung jawab." lanjut Pitaloka tanpa menggubris ucapan Wenda.
"Memangnya siapa kau yang berani mengguruiku hah? Aku atasanmu!" bentak Brenda.
"Ya, memang aku bawahanmu, tapi aku tak akan tinggal diam jika temanku diperlakukan seperti ini!" balas Pitaloka dengan nada satu oktaf.
"Wenda!?" hardik Salsa keras.
"Kenapa? Apa perkataanku salah? Ketua memberikan tugas ini pada Wenda untuk memojokkan Wenda 'kan?!"
"Pitaloka hentikan! Tolong jangan membuat keributan hanya karena aku!"
"Keributan? Aku membelamu bukan untuk membuat keributan!" kata Pitaloka tak percaya dengan ucapan Wenda.
"Aku tahu, terima kasih tapi biarkan aku mengerjakan tugas ini." sahut Wenda.
"Tapi..."
"Sudahlah jangan khawatir aku akan baik-baik saja." potong Wenda meyakinkan Pitaloka.
"Nah dengar 'kan kata Wenda dia menerima tugasnya dengan senang hati, harusnya kau mencontohi dia." omel Brenda mulai tenang.
Pitaloka memandang kesal pada Brenda dan Salsa. "Jika kau kesulitan, hubungi aku ya!" Wenda mengangguk dan tersenyum.
Rapat akhirnya bubar, semua karyawan keluar meninggalkan Brenda dan Salsa sendirian. "Brenda, apa kau hanya menghukum Wenda dengan cara mudah seperti ini?" protes Salsa tak suka dengan cara Brenda menghukum Wenda.
"Hei jangan meremehkan ideku ini, Tuan Fredikson DeMonte, bukan orang yang bisa kita temui dengan mudah. Butuh janji untuk bisa bertemu dengannya dan namakulah yang membuat janji dengannya." tutur Brenda mulai menjelaskan rencananya.
"Jika Wenda datang untuk bertemu dengan Tuan Fredikson dia pasti akan diusir karena dia tak berada di daftar orang yang membuat janji, akhirnya perusahaan tidak akan bekerja sama dengan DeMonte Corporation dan Tuan Fredikson kecewa dengan sikap perusahaan. Singkatnya adalah, Wenda akan disalahkan oleh banyak orang begitu juga Presiden akan kecewa dengan Wenda."
"Memang DeMonte Corporation tak seterkenal seperti Denzel Company, tapi jika Denzel Company tak bisa bekerja sama dengan DeMonte, itu akan merusak citra Denzel Company." jelas Brenda dengan senyuman sinis.
"Wah kau benar-benar berpikir lebih jauh Brenda, aku tak berpikir sampai di situ." puji Salsa.
"Yah kita tunggu saja sekarang, apa Wenda bisa mengundang Tuan Fredikson atau tidak?" sahut Brenda.
💘💘💘💘
"Maaf Nona, nama anda tak terdaftar untuk membuat janji dengan Tuan Fredikson."
"Tapi aku adalah karyawan Nona Brenda, aku datang ke sini sebagai utusan." sahut Wenda mencoba memberi pengertian.
"Maaf Nona, peraturan di perusahaan ini menyatakan bahwa orang yang membuat janji dengan Tuan Fredikson harus mendaftarkan namanya duluan," balas Receptionist.
"Tapi..."
"Begini saja Nona, telepon atasan anda untuk mengkonfirmasi informasi yang anda berikan." usul Receptionist.
Wenda mengambil ponselnya menghubungi Brenda namun sayangnya tak pernah terhubung. Wenda menghela napas berat dan melangkah keluar dari bangunan DeMonte Corporation.
"Bagaimana caranya meyakinkan mereka ya?" Ditengah kalutnya dia berpikir, dia melihat seorang pria tua dengan membawa banyak barang tengah berjalan pelan.
Wenda terus memperhatikannya sampai pria tua itu ditabrak oleh beberapa pemuda alhasil semua barang yang dibawanya jatuh berserakan. "Hei!?" hardik Wenda keras.
Wenda menghampiri si pria tua yang sedang kelimpungan, sementara beberapa pemuda itu nampak tak memperdulikan si pria tua. "Kakek, tak apa-apa?" tanya Wenda.
"Ya, makasih ya." jawab pria tua. Wenda lalu berahli pada beberapa pemuda yang berjalan meninggalkan mereka berdua.
"Hei kalian!?" hardik Wenda lagi. Mereka menoleh pada Wenda.
"Apa kalian tak malu dengan sikap kalian, minta maaf pada kakek ini cepat!" perintah Wenda galak.
"Sudahlah nak, biarkan saja mereka." kata si pria tua.
"Tapi..."
"Sudah tak apa-apa," potong si kakek sekali lagi.
Wenda membuang napas kasar, melepaskan beberapa pemuda itu dan memilih untuk membantu sang kakek. "Makasih ya nak," ucap kakek setelah keduanya selesai membereskan barang.
"Sama-sama kakek, kakek mau pulang di rumah kakek ya?" tanya Wenda.
"Iya nak."
"Kalau begitu biar saya ikut dengan kakek ya, barang bawaan kakek sangat banyak nanti kesulitan lagi." tawar Wenda.