•-----•
Astaghfirullah, kenapa saya deg - degan begini ya. Khuma suka sama saya? Ini nggak salah dengar kan saya?
•-----•
Di hari yang sama, Aisyah sedang berjalan di tepi jalan sambil sesekali memainkan tungkainya. Dia baru saja pulang bekerja. Berhubung jarak antara kantor dan apartemennya tidak jauh, jadi Aisyah tak mengendarai mobil. Dia memilih berjalan kaki.
Semilir angin sore hari begitu menyejukkan di kota Edinburgh ini. Walau banyak kendaraan atau orang yang berlalu lalang, tak membuat Aisyah merasa bising. Sebab ia sedang mendengarkan sebuah lagu melalui earphone yang ada di telinganya.
Saat Aisyah tengah berbelok ke pertigaan yang menuju apartemenya, tak sengaja dia melihat mobil Jeffry melewatinya begitu saja. Bahkan Aisyah sempat melihat ada perempuan lain yang duduk di kursi belakang sedang tertawa.
"Jeffry?" Aisyah berhenti melangkah.
Kerutan di dahi Aisyah, menunjukkan betapa penasaran dan juga terkejutnya wanita itu.
"Dia sama siapa dan mau ke mana ya?" lanjutnya bergumam.
Sedangkan di sisi lain, lebih tepatnya di dalam mobil Jeffry. Khuma sedang tertawa terbahak - bahak karena cerita yang dilontarkan oleh Jeffry.
"Kamu beneran berlagak kayak gitu sama Arnan, kak?" tanya Khuma pada Jeffry.
Mengangguk sambil tersenyum, Jeffry membenarkan pertanyaan Khuma. "Dia sempet kaget pas saya tiba - tiba dateng bawa koper kamu, Khuma."
"Sebelumnya saya udah pernah ketemu sama dia di apartemen Aisyah semalam..."
Hening.
Suasana di dalam mobil yang tadinya heboh karena gelak tawa dari Khuma dan Fathan, kini berubah menjadi hening.
Terutama Fathan, dia membisu mendengar ucapan Jeffry barusan. Jeffry ke apartemen Aisyah semalam?... Ngapain? batin Fathan.
Tersadar, Jeffry langsung mengatupkan bibirnya rapat - rapat. Dia baru saja mengatakan hal yang seharusnya tak dia katakan pada Fathan. Kekhawatiran akan respon Fathan, membuat Jeffry menepikan mobilnya.
"Fath, maaf bukan—"
"Ada yang mau dibicarakan Jeff? Bilang aja nggak apa - apa. Saya akan mendengarkan," potong Fathan.
Membuat Jeffry semakin tak enak pada sahabatnya itu. Sedangkan Khuma hanya terdiam di kursi belakang, memerhatikan sang kakak dan Jeffry bergantian. Sebab, perempuan itu tak tahu ke mana arah tujuan obrolan Fathan dan Jeffry. Jadi dia hanya diam mendengarkan.
"Jadi begini Fath...
... semalam saya ditelepon oleh Aisyah. Dia ingin masakan Indonesia yang ada di dekat kantor kamu. Dan kebetulan saat itu saya ada di sana, pas kamu nganter Khuma ke apartemen."
Fathan mengangguk dan tetap diam tapi setia mendengarkan penjelasan Jeffry. Sebenarnya Fathan heran, kenapa Jeffry harus sampai menjelasakannya sedetail itu. Seperti sedang tertangkap basah melakukan kejahatan. Padahal tidak kan?
"Tapi, pas saya sampai di depan pintu apartemen Aisyah. Ada laki - laki yang kopernya ketuker sama Khuma. Ternyata dia mantan pacar Aisyah."
Kembali hening.
Jeffry tak melanjutkan ucapannya. Dia tak mungkin mengatakan kalau Aisyah sempat menyeretnya ke dalam masalah antara wanita itu dengan mantan kekasihnya. Bisa terluka hati Fathan bila mengetahui kalau Aisyah mengaku bahwa Jeffry adalah kekasihnya.
Merasa tak nyaman, Khuma akhirnya angkat bicara. "Kak! Kenapa malah pada diem - dieman deh. Khuma laper nih, belum makan siang. Ini udah mau malem loh."
"Eh iya maaf... ya udah sekarang mau ke mana dulu? Saya siap nganterin," sahut Jeffry cepat.
Setidaknya, dengan adanya Khuma bisa membuat suasana yang tadinya canggung menjadi akrab kembali. Terbukti dari ucapan yang dilontarkan oleh Fathan.
"Saya percaya sama kamu, Jeff... mana mungkin kamu menikung saya. Kamu kan udah tau dari lama kalau saya suka sama Aisyah. Iya nggak?"
Mengehela napas lega, Jeffry tersenyum lalu mengangguk. "Tenang aja Fath. Kamu kan tau siapa yang ada di hati saya..."
Melihat, lalu mendengar setiap ucapan yang dilontarkan oleh Jeffry dan Fathan membuat Khuma bergedik ngeri. Sebab dua orang di depannya itu seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta. Ah, bukan! Mereka berdua malah terlihat sangat kuno dalam urusan percintaan.
Lihat saja, Jeffry harus menjelaskan dengan detail agar Fathan tidak salah paham. Seakan - akan, mereka berdua tak ingin ada kesalahpahaman terjadi. Bagus memang, tapi lucu saja. Menurut Khuma.
"Aduh, kalian berdua ngomongin apa sih? Khuma nggak ngerti! Jadi makan nggak nih?" protes Khuma.
Fathan tertawa renyah. " Iya Khuma cerewet, jadi kok. Mau makan apa? Dan di mana?"
"Di mana aja, asalkan halal dan sesuai sama lidah, he he he..." jawab Khuma.
"Ya udah, makan di restoran deket apartemen kamu aja Fath. Kan di sana tersedia masakan Indonesia dan halal," usul Jeffry.
"Langsung pulang dong? Nggak jadi jalan - jalannya?"
"Yaudah dek, jalan - jalannya besok pagi aja ya? Kakak ambil cuti nanti," sahut Fathan sambil menoleh ke arah belakang --Khuma.
Sedikit kecewa karena tak jadi berkeliling Edinburgh, Khuma mengangguk. "Oke, ajak kak Jeff tapi ya?"
Jeffry yang mendengar itu pun langsung menoleh ke arah Khuma. "Saya?"
"Iya. Kakak harus ikut. Ternyata kak Jeff asik orangnya. Khuma suka."
Deg!
Astaghfirullah, kenapa saya deg - degan begini ya. Khuma suka sama saya? Ini nggak salah dengar kan saya? batin Jeffry.
"Dek, kamu beneran suka sama Jeffry? Bilangin Ayah ya?" goda Fathan.
Sedangkan Jeffry membisu di tempatnya. Ternyata jatuh cinta itu seperti ini rasanya. Andaikan Jeffry bisa langsung menyatakan tujuannya untuk meminang Khuma, pasti sudah dia katakan detik ini juga. Tapi, didalam agamanya, Jeffry harus melalui proses ta'aruf.
Bukan, ta'aruf bukan berarti tak boleh bertemu. Hanya saja ta'aruf mengajarkan Jeffry harus bisa menahan keinginannya untuk berdekatan dengan Khuma secara langsung. Dia lebih memilih mengenal Khuma dengan cara mencari informasi dari pihak ketiga yang memang dekat dengan perempuan itu --Fathan.
"Maksud Khuma, suka dalam artian kak Jeffry asik diajak bicara dan nggak ngebosenin. Kalau jalan - jalannya cuma berdua sama kak Fathan, nanti ngebosenin," jelas Khuma.
Ah, ternyata itu makna dari suka yang Khuma maksud? Seketika membuat pundak Jeffry merosot. Dia sudah terlalu percaya diri.
Jelas saja, Khuma dan Jeffry belum lama mengenal. Bagaimana mungkin dengan mudahnya Khuma mengatakan kalau dia suka pada Jeffry.
Melihat itu pun, membuat Fathan kembami menertawakan Jeffry untuk kesekian kalinya. Prasangka terhadap Khuma memang harus benar - benar dimengerti dan dipahami. Kalau tidak, Jeffry akan keseringan merasakan geer.
"Jeff, suka karena kamu asik katanya!" seru Fathan.
Jeffry tak ingin melanjutkan perasaan geernya, jadi dia memilih untuk kembali melajukan mobilnya menuju restoran dekat apartemen Fathan.
Puas - puasin aja Fath ketawanya. Nanti gantian, saya yang ngetawain kamu. batin Jeffry.
Khuma hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah kakaknya --Fathan. Dia tak habis pikir bagaimana bisa Jeffry menjadi sahabat Fathan yang notabennya sangat receh itu.
•-----•
Indonesia, kediaman Ayah Adnan.
"Bundaaa, kenapa nggak bilang Jafar kalau Khuma ke Edinburgh? Kan Jafar mau ikut," protes Jafar Dzikri Rabbani.
Jafar adalah sepupu Fathan dan Khuma. Dia masih duduk dibangku kuliah semester awal. Jafar sangat dekat dengan Khuma, sebab usia mereka berdua tak terpaut jauh.
Sebuah jitakan pelan mendarat di pucuk kepala Jafar. "Kamu tuh ya, panggil kakak atau mba. Khuma itu lebih tua dari kamu loh Jaf," oceh bunda Fatmah --Ibu Khuma.
Jafar malah menyengir lebar. "Iya bunda, maaf... kak Khuma sampe kapan di sana? Percuma dong Jafar ke sini? Niatnya kan mau liburan di sini, tapi kak Khuma nggak ada."
"Kemungkinan sampai akhir bulan ini. Khuma cuma sebentar kok, nggak lama. Telepon aja sana, di sana udah siang." Bunda Fatmah kembali melanjutkan merapikan meja makan sehabis sarapan.
Perbedaan waktu antara Indonesia dan Edinburgh hanya enam jam. Jadi, kalau di Indonesia jam tujuh pagi... otomatis di sana sudah jam tiga belas siang.
"Wah boleh tuh bun. Jafar video call aja ah!" seru Jafar kegirangan.
Jafar langsung bergegas menuju kamar tamu, kamar yang dia tempati selama menginap di rumah Khuma. Kamar yang letaknya tepat di samping kamar Khuma.
Menyisakan bunda Fatmah yang menggelengkan kepalanya pelan, sambil tersenyum lembut melihat tingkah Jafar yang notabennya sudah dia anggap seperti anak sendiri.
Di kamar, Jafar langsung menghubungi nomor Khuma yang digunakan di Edinburgh. Jafar mendapatkannya dari bunda Fatmah semalam.
Dering pertama, tak ada respon.
Dering kedua pun sama.
Hingga dering ketiga, barulah ada jawaban dari negeri sana.
"Assalamu'alaikum..."
"Khumaaaaaa!!!"
Teriak Jafar heboh setelah melihat wajah sepupunya itu terpampang di layar ponselnya.
"Astaghfirullah, Jafaaaar... ih kamu lagi di rumah aku ya? Eh iya jawab dulu salamnya! Kebiasaan deh."
Terlihat Khuma begitu senang mendapat panggilan video dari sepupu tersayangnya itu.
"Ya Allah, Jafar lupa. Wa'alaikumsalam mbul! Ha ha ha, kamu makin gembul deh pipinya!" goda Jafar.
Terdengar gelak tawa dari seberang sana. Khuma senang melihat Jafar tertawa tapi dia juga sebal karena Jafar meledek dirinya. Memangnya Khuma terlihat semakin gembul?
"Jafaaaaar Dzikri Rabbaniiiii!!!"
Teriak Khuma sambil mengerucutkan bibirnya. Melihat itu pun membuat Jafar tak bisa menahan tawanya lagi.
"Coba ngaca deh mbul. Kamu manyun begitu makin kayak bakpao pipinya," celetuk Jafar lalu tertawa lagi.
"Awas aja kamu mah! Biarin aja makin gembul pipinya, yang penting bahagia. Emang kamu, pasti bete tuh liburan ke rumah tapi nggak ada siapa - siapa, ha ha ha,"
Bergantian, sekarang Jafar yang ditertawakan oleh Khuma. Jafar pun menghentikan tawanya dan mengubah ekspresi wajahnya berpura - pura sedih.
"Tau nih, kamu ke Edinburgh nggak bilang - bilang. Tau gitu kan aku bisa ikut!"
Terdengar suara ramai dari seberang sana. Sebab Khuma sedang berada di luar rumah. Lebih tepatnya seperti di sebuah festival.
"Khuma, maaf... kita cari Fathan dulu aja gimana?"
Jafar menyerngitkan dahinya. Dia tak mengenal suara itu, apalagi wajah yang ada di layar ponsel, lebih tepatnya di sisi Khuma.
"Khuma! Itu siapa?"
•-----•