"Kaname…."
"Maaf Madoka. Biarkan aku seperti ini lebih lama."
Aku dan Madoka berada di kamarku dan aku sedang memeluk erat Madoka. Aku melakukannya berkat kejadian di sekolah tadi.
Sepanjang jalan menuju rumah aku sama sekali tidak berbicara dan selalu diam karena tidak ingin membahasnya dengan Madoka saat di jalan.
Sejujurnya… aku takut berbicara dan berhadapan dengan Reina, karena itu aku berusaha mungkin menghindari dia tapi tetap saja tidak bisa.
"Kaname… kalau begini aku jadi susah pulang ke Shirakawa."
"Kalau bisa jangan pergi dulu, kamu hanya perlu bersamaku selamanya dan jangan pernah berpisah dariku."
"Kalau begitu aku tidak bisa pindah sekolah dong."
Aku melepaskan Madoka lalu terduduk di lantai. Madoka memegang pipiku lalu jidat kami bersentuhan.
"Aku akan bersamamu, kapanpun itu dan dimana pun itu."
———
Malam pun tiba, kami berdua masih berdiam di kamar saling mengobrol keseharian kami berdua sebelum saling ketemu.
Dahulu saat aku bersama Reina jika sedang berduaan begini selalu saja ada pikiran yang sangat buruk terlintas dipikiran ku. Namun dengan Madoka pikiran buruk tidak muncul dan aku hanya ingin terus mengobrol sampai lelah bersamanya.
"Mau sampai kapan begini terus?," Tanya Madoka.
"Sampai aku tenang," balasku.
"Dasar, kalau begitu sepertinya aku akan tidur bersamamu."
"Kamu gak takut aku apa-apain?," Tanyaku.
Madoka melihat mataku lalu dengan cepat dia menjentikkan jarinya ke dahiku.
"Kaname bukan seperti itu kan?".
Aku melihat wajahnya yang tersenyum manis kepadaku.
"Benar, aku bersamamu karena aku mencintaimu bukan karena nafsu."
Lalu Madoka mencium pipiku. "Padahal… kadang-kadang aku mengharapkan nya denganmu Kaname."
Aku sedikit kesal mendengarnya lalu aku gantian menjentikkan jariku ke dahinya.
"Aku sudah berjanji dengan orang tuamu. Kita akan melakukannya setelah menikah saja."
Madoka memegang dahinya. "Bububuf. Baik…"
Setelah itu aku berdiri dan meregangkan otot-otot ku yang mulai kaku karena tidak bergerak selama 4 jam lebih. Aku dan Madoka juga belum makan, padahal aku menjanjikan dia makan di kedai yakiniku.
Aku juga gak bakal mengijinkan dia tidur bersamaku. Aku ingin hubungan kami sehat sampai waktu kami menikah, ya itu juga janji ku kepada orang tuanya tapi jujur aku ingin hubungan kami sehat saja dulu. Walaupun suatu saat Madoka yang memaksaku maka akan ku tolak.
Aku saja belum menciumnya. Kalau di kening dan pipi sudah, tapi kalau dimulut ya belum.
Padahal ya aku mudah banget dicium sama Kizuna dan mencium Reina dulu, tapi saat aku ingin mencium Madoka ada bagian dari hatiku bilang belum saatnya.
"Kebawah dulu yuk Madoka, aku lapar nih. Siapa tau ibu masak makan malam," ujar ku kepada Madoka
"Kata-kata mu itu seperti mengatakan 'Ibu jarang masak makan malam'," balas Madoka.
"Memang kok, ibu jarang banget masak makan malam."
"Kenapa?".
"Hmm… karena ibu tau kalau dia masak makan malam bisa-bisa gak bakal dimakan. Karena aku dan ayah sering makan malam diluar."
Madoka nampak marah mendengar ucapan ku. Memangnya ada yang salah ya dari ucapan ku barusan?.
"Kaname! Jangan keseringan makan diluar!".
"Memangnya kenapa?".
"Kamu ini ya! Makanan rumahan itu lebih enak dibandingkan dengan makanan di kedai-kedai. Apalagi yang masak ibu, pasti enak."
Aku jongkok dan melihat wajahnya Madoka. "Jadi maksud mu?".
"Kamu gak kasihan apa sama ibumu? Udah masak banyak-banyak, malah makan diluar. Terus ibumu pasti berharap banget makan sama kamu Kaname."
Aku mengusap kepalanya. "Baik-baik ratuku. Mulai besok aku bakal makan malam di rumah saja."
"Beneran?".
"Iya, iya."
Aku akan mengikuti apa saja yang dia inginkan untukku. Asalkan itu tidak melanggar batas maka tidak masalah.
Setelah perbincangan tentang makan malam, kami pun turun ke lantai bawah untuk makan. Namun… badai pun datang secara tiba-tiba…
"K-A-Z-U-T-O!!!!!!!!".
Kak Taiga berlari dari pintu depan rumah lalu melompat sampai ke depanku dan menendang ku hingga terlempar ke ruang tamu.
"Kaname?!".
Aku masih terdiam karena tidak percaya ditendang sama harimau bisa membuatku terlempar lumayan jauh.
Wajah kak Taiga seperti harimau yang marah karena daerah teritorinya diambil oleh harimau lainnya. Aku tau alasan dia marah, jadi aku akan pasrah saja jika dia akan memukulku sampai babak belur.
"ADIK BODOH!! BIKIN KHAWATIR KELUARGA SAJA!".
Setelah dia berjalan dengan cepat kearahnya lalu dia menamparku dengan sangat keras hingga hidung ku mengeluarkan darah.
"M-Maaf…."
Kak Taiga sepertinya tidak menghiraukan perkataan ku, dia langsung memukul perutku dan menamparku berkali-kali.
Madoka masih terdiam melihatku disiksa sama harimau ini, ibu malah tersenyum bahagia melihat anak bungsu nya di hajar anak sulungnya, dan begitu juga dengan ayah yang menyaksikan ku disiksa sambil meminum teh.
Ini sungguh adegan penyiksaan yang sangat sadis bagi orang lain, namun bagi ayah dan ibu ku ini adalah adegan balas dendam atas rasa khawatir mereka kepadaku.
Aku cinta keluargaku.
Setelah puas aku dipukul, ditampar, dan diinjak-injak, Kak Taiga pun langsung mendatangi ibu.
Aku berusaha bangun dengan sepenuh tenagaku dibantu oleh Madoka yang malah tertawa melihat pipiku bengkak seperti bakpao.
"Jadi Kazuto? Siapa perempuan cantik itu?".
"Pacarku."
"Selama dua bulan kamu ngapain sih? Cari perlarian?".
"Bukan gitu juga!! Akan kuceritakan, obati dulu luka-luka ku."
Kemudian Kak Taiga mengambil kotak P3K yang ada di dapur lalu dia mengobati luka-luka ku yang dia buat. Setelah itu dia minta maaf dan merasa bersalah karena telah membuatku seperti ini. Katanya 'Terbawa emosi dan bahagia melihat adik kesayanganku kembali ke rumah'.
Lalu aku pun menceritakan kemana saja aku selama dua bulan ini dan bagaimana aku bertemu dengan Madoka.
"Jadi begitu… kalau begitu Madoka, terima kasih ya menolong adikku yang bodoh ini."
"Sama-sama. Aku juga senang ketemu Kaname."
Kemudian Madoka melihatku dan memperlihatkan ku senyuman nya yang sangat manis.
"Kazuto… kamu lebih kelihatan hidup dibandingkan sebelumnya."
"Benarkah?".
"Benar. Kamu memang cocok sama Madoka."
Kami berdua pun tersipu lalu melanjutkan meminum teh hijau digelas masing-masing.
"Madoka-Chan, kamu akan pulang 3 hari lagi kan?," Tanya ibu.
"Iya."
"Akhir minggu ini kamu ikut sama ibu dan Taiga ya."
Aku merasa ada yang ibu dan kak Taiga rencanakan. "Akhir minggu ini aku dan Madoka akan kencan di—".
"Akhir minggu ini kamu harus pergi kerumah kakek Kazuto," potong ayah.
Bukan hanya ibu dan kak Taiga, tapi ayah juga sepertinya merencanakan sesuatu kepada Madoka.
"Tapi—".
"Jika kamu menolak, maka kakek yang akan menjemput mu dengan paksa."
Sial. Ayah sudah bawa-bawa nama kakek. Ayah tau aku takut sekali dengan kakek dan ayah pun memanfaatkan nya.
"Baiklah…," jawabku dengan terpaksa.