Zia kembali ke kantor bersama rekan kerjanya.
matahari masih menampakan cahaya kuning ke orangean burung berterbangan melintasi langit senja itu. semua orang sibuk dengan aktifitas masing-masing dan mulai menghilang satu persatu. ia masih sibuk di bangkunya menekan keyboard menyusun sebuah kata menjadi kalimat dan sebuah paragraf. tatapannya hanya terpaku pada layar datar yang ada di hadapannya itu. sebuah panggilan telepon membuyarkan semua aktifitas yang telah tertata rapi dan merilekan otot yang tadinya menegang.
"kamu dimana ?"
"di kantor, ada apa?"
"tidak apa-apa"
kamu dimana sekarang? apa kamu sudah pulang?"
"iya"
"baiklah aku akan segera pulang"
"hm" Vian masih melajukan mobilnya dengan tenang dan lembut.
Zia menuruni tangga keluar dari gedung yang kokoh itu dan sampai di sebuah halte.
"bib..bib...bib" sebuah klakson mobil berbunyi ke arahnya. seorang gadis berambut panjang yang duduk di depan halte itu mencari sumber suara itu.
Zia menoleh dengan seketika mencari arah suara itu berasal, matanya berbinar-binar sebuah senyum menghiasi wajahnya yang putih dan manis itu, sebuah kejutan yang membuatnya tidak bisa menahan senyumnya. seorang pria tampan yang mengenakan jas berwarna putih dengan senyum di bibir tipisnya sedang menunggunya di dalam mobil.
sebuah emosi kebahagian yang akan membuatnya tersenyum tanpa alasan. alangkah bahagianya ia melihat suaminya saat ini. ia berlari dengan kencang menghampiri mobil yang berwarna putih itu dan bersandar di bingkai jendela mobil dan bertanya
"bagaimana kau bisa kemari?"
"kenapa? apa aku tidak boleh menjemputmu?
"boleh tapi... " sebuah lumatan yang teramat rakut melahap habis bibir mungilnya itu
"ahhh... "akhirnya Vian melepaskan ciumannya dan membisikan sebuah kalimat "aku sangat merindukanmu, masuklah"
kata-kata itu bagaikan sebuah bulu yang menggelitik di lehernya dan menjalar kesekujur tubuhnya.
aroma tembakau dari mulut Vian masih menempel di bibir Zia dan dapat tercium dengan jelas serta menumbuhkan gairah yang sangat aneh apa lagi ketika Vian menggenggam tangannya dengan erat seperti ada aliran aneh yang merayap ke dalam tubuh itu, hampir satu minggu ini ia tidak bertemu dengan suaminya karena tugas dinas di luar kota.
mobil itu melaju dengan santai dan kencang. selayaknya angin lembut dan menghilang. begitu pula jantungnya yang berdetak lebih cepat dari pada scond pada jarum jam.
sepanjang perjalanan mereka saling bertukar ciuman di jalan.
ketika sampai di apartemen, mereka tidak membuang-buang waktu dan langsung memadu kasih selayaknya suami istri di atas ranjang yang empuk itu.
entah berapa ronde yang telah mereka habiskan sebagai penebus rasa rindu.
sebuah hubungan yang mereka jalani setelah pernikahan ini tidak ada bedanya ketika mereka masih berpacaran. bedanya hanya sebuah hubungan yang di sahkah oleh hukum. kebahagian dan rasa cinta yang mulai berkembang menghiasi hubungan mereka.
baginya Vian adalah pria yang sangat pendiam dan lembut, di balik sifat misteriusnya itu ia menyimpan sebuah hasrat tak terkendali.
"kamu sedang apa ?"
"menyiapkan makan malam"
"cupp.." sebuah kecupan mendarat di pipi Zia.
pria itu menyandarkan kepalanya di pundak Zia dan menghirup aroma tubuhnya menelusuri leher yang putih itu,..
"aku sedang memasak, nanti saja" keluh zia
"hm" pria itu masih menyandarkan kepalanya dan melanjutkan aktifitasnya yang menjelajahi leher itu. ia memeluk dari belakang dengan erat melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu.
ketika Zia menoleh "emm.." sebuah lumatan yang teramat nikmat mendarat di bibirnya dan tubuhnya mulai menegang. mereka melakukannya lagi di dapur yang sempit itu.
"kenapa kamu cemberut?"
"kamu mengganggu ku memasak, lihatlah masakanku"
Vian hanya tersenyum simpul dan melanjutkan aktifitasnya.
di hari libur mereka Vian membawa Zia untuk berkunjung ke rumah ayahnya dan berhenti di sebuah rumah tua.
"oh ini yang namanya Zia" seorang wanita paruh baya memperhatikannya dari atas sampai bawah.
"em,.. cantik!, dari mana asalmu?"
"dari kota P"
"apa yang kamu kerjakan sekarang? apa kamu kuliyah?"
"saya bekerja di perusahaan kontruksi di kota R dan saya sudah lulus sarjana"
"baguslah, aku fikir Vian akan membawa seorang wanita dari club malam. untungnya tidak" jawab wanita itu dan pergi dengan wajah sinisnya.
awalnya Zia enggan untuk meresponya dan merasa agak aneh, kenapa Vian mengajakku kerumah ini, siapa sebenarnya wanita tua ini.
"dia ibuku"
ada perasaan yang aneh yang di miliki Zia terhadap mertuanya itu.
"ibuku pasti marah kalau tau kita sudah menikah".
"apa" raut wajah Zia mulai merah padam tapi dia masih menahan amarahnya.
di setiap pertemuan dengan saudara-saudara Fian, Fian selalu mengaku bahwa mereka masih berpacaran bahkan terkadang Zia dianggap sebagai saudara jauhnya. itu berlanjut terus menerus dan membuat Zia merasa muak karena merasa tidak pernah dianggap.
itulah yang membuatnya merasa hubungan yang mereka jalani adalah salah
tapi bagaimanapun semua itu adalah keputusan yang ia pilih dari awal.
fikiran untuk meninggalkan suaminya ini terkadang sering tersirat di bawah kesadarannya.
tak apa bila ia akan meninggalkanku, aku masih bisa hidup dengan ataupun tanpa dia.
ia melahirkan anak dan Vian melarikan diri dengan gadis lain. lalu ia bergi jauh dari kehidupan Vian untuk selama-lamanya.
itulah bayangan masa depan yang Zia fikirkan dan itu terasa sangat mencekik hatinya.
kenapa aku ini apakah aku ingin hidup dengannya selamanya. aku tidak tau bahkan aku tidak mau tau.
perasaan Zia mulai beradu dan bercampur tak tentu. hingga sebuah masalah membuatnya merubah fikirannya.
"ini siapa?" tanya Zia mengangkat handphone milik Fian. "ah itu cuma teman". jawabnya santai sambil mulai berganti baju. " teman katamu... mana ada teman yang memanggil sayang-sayang dan bahkan menuntut keseriusan". gadis ini mulai merasa kesal. "sudahlah itu hanya seseorang yang menyukaiku. aku sangat lelah jangan bahas itu lagi". Fian bersiap untuk mandi.
ketika itu handphonenya berbunyi semua terdiam.
"ini orang yang menyukaimu telpon".
"jangan diangkat, biarkan saja".
Zia yang merasa penasaran dan geram mulai mengambil telpon itu.
"halo..!" Zia mengangkat panggilan itu.
"aku bilang jangan diangkat". teriak Vian
"kenapa... kenapa aku tidak boleh bicara dengannya"
"kau tidak tau bahwa aku berusaha dengan keras untuk menghindarinya.." jelas Vian
"kenapa kau menghindarinya" Zia bertambah marah dan merasa penasaran.
"apa yang telah kalian lakukan" zia menarik screan pesan itu kebawah.
"apa maksudnya ini, aku tidak akan melupakan kenangan indah yang kau berikan. apa maksudnya ini semua ha?" apa yang telah kalian lakukan? apa yang telah terjadi? kenapa kau tidak,..." Zia mulai meneteskan air mata.
"tidak terjadi apa-apa... " Fian menjawab dengan raut wajah dinginnya.
"kenapa kau masih menghubunginya bila kau tak menyukainya...harusnya kau tidak memberikannya harapan...."
"IYA.. " Fian menjawab dengan acuh.
"berikan handpone itu padaku... " pinta Vian
"tidak.., sebelum kau menjelaskan ini semua padaku" mereka saling berebut dan akhirnya Fian dengan penuh amarah membanting handponnya sendiri hingga hancur berkeping-keping. dengan tanpa perasaan Fian mengatakan "puas kamu sekarang"