Zia masuk ke kamarnya menutup pintu dan mulai menangis, menjerit, meronta-ronta sungguh sakit rasanya perasaan itu.
"aku harus bagaimana sekarang..., mama papa Zia kangen sama kalian..., ma, maafkan Zia, Zia mengaku salah..., papa kakak Zia minta maaf... aku sudah tidak memiliki seseorangpun yang menyanyangi ku lagi... lebih baik aku mati saja... dengan begitu aku tidak akan merasakan semua rasa sakit ini... rasanya sakit .. sakit sekali..." ia mulai mengambil sebuah pisau dan menempelkannya di pergelangan tangannya.
namun akal sehatnya mulai kembali... pasti rasanya sakit sekali.. aku takut... aku benar-benar takut tapi... rasanya sakit ini. ia merasa sangat tersakiti hingga sebuah kematian akan layak dengan semua itu.
semakin sayang kita pada seseorang maka akan semakin kejam bila terluka. hampir saja dia menggoreskan pisau itu di pergelangan tangannya tapi dengan seketika Vian datang dan melempar pisau itu hingga terlempar jauh.
"apa kamu sudah gila?"...Vian berteriak
"huuuhu.. "Zia menangis dengan sangat keras dan tersengal-sengal. "biarkan aku mati... tidak ada yang menginginkanku, untuk apa aku hidup" keluh Zia
"maaf..." Vian mulai menggapai Zia yang duduk di bawah tempat tidur.
"maafkan aku.." seru Vian dengan tertunduk.
Vian berada di belakangnya dan memeluknya dengan sangat erat " maaf tadi aku emosi, aku sangat tidak suka kau mempermasalahkan gadis itu, kau tau gadis itu sangat tergila-gila padaku, ia mengejar-ngejar aku selama aku di tugas di kota S. aku sama sekali tidak menyukainya dan aku berusaha menghindar darinya. maafkan aku... aku tidak akan berbuat seperti itu lagi". jelasnya pelan.
Zia hanya terdiam perasaannya mulai lelah, nafasnya mulai membaik mengalir secara teratur.
Vian membalikan badan dan mereka berhadap-hadapaban "naiklah... kau perlu istirahat..." membantu mengangkat ke atas tempat tidur.
mereka terduduk di atas ranjang. saling terdiam untuk beberapa saat.
fikiran Zia kosong, ia tidak ingin memikirkan apapun yang ia tau ia mulai merasa lelah.
Vian mulai melakukan gerakan, ia menggapai tubuh yang ramping itu, memeluknya dengan erat. kepala Zia mulai terasa berat, ia bersandar di bahu yang luas itu, matanya mulai terpejam pertanda ia mulai merasa kelelahan tapi tiba-tiba sebuah lumatan yang teramat rakus melahap bibirnya hingga tak tersisa. otaknya mulai bekerja kembali ia mulai meronta-ronta menolak perlakuan itu, tapi semakin ia menolak hisapan dan lumatan semakin keras mengguncangnya.
pria ini bagaikan seekor singa yang kelaparan, kukunya yang tajam mencabik-cabik kain yang menutupi kulit yang putih mulus itu tanpa ampun, melahap semua bagian tubuh yang ada.
ia menekan semua hasratnya hingga terpuaskan. berdiri dengan gagahnya diatas tubuh putih mulus itu yang sudah melemas karena merasa pasrah dengan keadaan itu ataukah ia mulai lelah karena menangis semalaman. hingga keduanya terbujur lemas dan terlelap hingga pagi.
------
pagi, kicau burung masih bersenandung di bawah dedaunan. Zia bangun dengan menekan rasa sakitnya di kepala. ia melihat sekitar, Vian sudah pergi dari apartemen itu, ia memandang semuanya telah tertata rapi dan bersih. kesadaranya meningkat seratus persen kala ia memandang jam yang ada di dinding yang putih itu.
"setengah tujuh..." ia masih melamun
"what !!!" ia mulai memandang lagi jam yang ada di dinding itu dan menjerit, berteriak " ahhh... aku telat" ia berlari dari tempat tidur hingga terjatuh "auk... kakiku"...
setengah jam kemudian ia sudah berada di halte bus terdekat.
ia bersandar di koridor bus menyandarkan kepalanya di bidang jendela yang terbuka menghirup udara pagi yang terbang mengalir dan menghilang.
"apa aku boleh duduk disini?"
zia menganggukan kepalanya.
"terima kasih"
sekedar berbasa-basi pria itu memberikan beberapa pertanyaan.
"apa aku boleh meminjam handphone mu?"