Chapter 59 - Perang Badar (1)

Di Madinah kami ditempatkan di sebuah daerah yang berada di jalur perdagangan antara Damaskus dan Mekah. Ini sebenarnya merupakan hal yang tak diinginkan siapa pun. Ini karena rombongan perdagangan yang akan kembali ke Mekah dari jalur Damaskus pasti melewati perbukitan di antara pelabuhan Yenbu dan Badar. Tepat di selatan Madinah, rombongan harus turun dari Abwa ke Hudaibiyah, dari sana bergerak ke arah Mekah, kemudian menuju Taif. Madinah, menurut penjelasan para pengembara, berperan seperti sebuah pipa napas di antara Damaskus dan Mekah.

Abu Sufyan dan empat puluh orang pengawal rombongan perdagangan Mekah selalu merasakan kecemasan setiap kali semakin mendekati Madinah dalam perjalanan pulang sehabis berdagang dari Damaskus. Untuk mengatasi hal itu, dengan cepat mereka mengirim Dumdum bin Amr, seorang pengintai, ke Mekah. Dumdum yang tiba di Mekah tanpa membawa apa-apa suka menceritakan secara berlebihan mengenai pengepungan para Muslimin di Madinah kepada orang-orang yang menunggu rombongan perdagangan.

Abu jahal dan teman-temannya telah lama berencana melakukan penyerangan kepada Muslimin Madinah, tapi sejauh ini tak pernah berhasil melaksanakan rencana itu. Karena itu, ia ingin menggunakan cerita Dumdum sebagai kesempatan untuk menghasut masyarakat guna melancarkan rencananya.

"Kaum Muslim di Madinah telah merampok kafilah perdagangan kita. Mereka merampas seluruh harta kita," ucap mereka. Abu jahal dan teman-temannya berhasil bembujuk kebanyakan orang dan dalam waktu dekat mereka berhasil membentuk sebuah pasukan kuat, terdiri atas tiga ratus tentara dan tujuh ratus penunggang unta dan kuda.

Di sisi lain, Rasulullah juga mengirim Basbas dan Adyy, salah seorang sahabatnya, untuk mengamati rombongan dagang dan mengumpulkan informasi. Akhirnya, kaum Muslimin pun memutuskan berangkat dengan pasukan tujuh puluh unta dan dua kuda. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka pun siap jika terjadi peperangan, tak takut menghadapi kaum musyrik Mekah. Pasukan ini memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Rasulullah menunjuk Ummu Maktum untuk tinggal di Madinah sebagai imam, sementara itu Abu Lubaba diberi tanggung jawab mengurus administrasi.

Di dalam pasukan, Rasulullah menunjuk Ali bin Abu Thalib, Mush'ab, dan Saad bin Muaz sebagai pemegang bendera tentara Islam. Kami semua sangat terharu ketika melihat mereka membuka dan mengabarkan bendera Islam dalam cengkraman tangan mereka.

Badar berjarak tiga hari perjalanan kaki dari Madinah. Tempat itu merupakan sebuah wilayah yang dekat dengan pantai, terkenal dengan kebun-kebun kurma, dan gunung-gunung yang seperti bergeming terhadap badai ingin.

Sebelum berangkat melakukan perjalanan ini, pasukan ini melakukan perjalanan bersama salah satu keluarga agar suasananya tidak terlalu menimbulkan kecemasan. Ketika kami tiba di sebuah daerah pedesaan yang kurang lebih berjarak tiga tempat peristirahatan ke Badar dari Madinah, Rasulullah bertanya kepadaku sambil mengangkat tongkatnya, "Aisyah.... apa kamu mau berlomba denganku?"

Aku menatap Rasulullah dengan pandangan bingung menerka maksud perkataannya.

"Ayo, turunlah dari unta dan berlombalah denganku, hai putri Abu Bakar!"

"Berlomba apa?" pikirku. Dengan Rasulullah?

Rasulullah mengangkat kedua tangannya mengajakku untuk lomba lari dengannya. Begitu tahu maksudnya, dengan cepat aku turun dari unta, tapi pakaian yang kukenakan malah menjerat pinggangku. Bagaimana caranya agar ujung gaun itu jangan sampai menghalangi pergelangan kakiku ketika berlari.

Rasulullah tertawa ketika melihatku seperti ini.

Dia membuat sebuah garis lurus di tanah dengan tongkat dari ranting pohon kurma, kemudian menghentakkan tongkatnya di garis beberapa kali, mengisyaratkan kepada ku untuk siap berlomba. Kami berdua berdiri di atas garis. Aku menatap Rasulullah. Tongkatnya berada di udara.