Chapter 60 - Perang Badar (2)

Dia menggeleng-geleng.... kemudian begitu tongkat yang berada di udara turun ke tanah, saat itulah perlombaan telah dimulai. Aku berlari sekuat tenaga. Kami berdua berlari sampai ke ujung pedesaan.

Awalnya dia melewatiku, namun aku berhasil menyusul Rasulullah dengan nafas terengah-engah.

"Ini adalah balasan ketika di Zul Majaz bagimu, Humaira," ucapnya. Aku bernafas terengah-engah sambil memegangi lututku, pura-pura tak bisa menampung udara-udara yang masuk ke dalam tubuhku.

Dulu, di hari-hari pertunanganku, aku pernah pergi dengan cepat ke arah Zul Majaz karena ada sebuah amanah yang harus segera disampaikan. Sementara itu, Rasulullah menyusulku dari belakang dan ingin membawakan amanah itu. Tapi waktu itu aku lebih kurus dibandingkan sekarang sehingga Rasulullah tak pernah bisa menyusulku. "Larimu sangat cepat," ucapnya untukku.

Rasulullah adalah orang yang sangat ceria. Di hari-hari sulit pun dia selalu berusaha bersikap baik kepada keluarganya, menghilangkan beban dan kekhawatiran. Kadang-kadang, Rasulullah melontarkan ucapan-ucapan manis kepadaku karena dia tahu bahwa aku punya sikap suka bersaing dan kekanak-kanakan. Malah kejadian seperti ini sering menjadi nasihat yang bagus untuk tak bersikap serakah.

"Kadang-kadang kita bisa meraih kemenangan dalam perlombaan, tapi Kadang-kadang kita juga bisa kalah." ucapnya. Rasulullah mengingatkan kami bahwa kemenangan duniawi bukanlah segal-galanya.

Waktu menyaksikan perlombaan kuda Rasulullah juga seperti ini. Dia menyaksikan perlombaan penuh dengan perhatian. Kadang-kadang dia tampak senang ketika kudanya berada di posisi pertama, Kadang-kadang ketika kudanya berada di urutan belakang, dia segera pergi menuju penunggang kuda yang berada di posisi pertama, lantas memberi ucapan selamat dan hadiah.

Peperangan beliau juga seperti ini. Kadang-kadang ia dan pasukannya ke luar sebagai pemenang, namun Kadang-kadang kami harus menerima kekalahan. Tapi semua itu tak pernah mengubah arah tujuan dan akhlak perilaku baiknya.

Rasulullah mempersiapkan kami untuk bersiap-siap menghadapi perang Badar. Sesungguhnya perlombaan lari itu juga merupakan salah satu bagian dari persiapan ini. Di antara para perempuan juga ada yang ahli menunggang kuda dan menggunakan pedang, misalnya Safiyah, bibi kami. Dia memang sudah terkenal dalam seni bertahan menggunakan tongkat. Jumlah perempuan yang dapat menggunakan pedang seahli para sahabat Rasulullah sangatlah sedikit. Laila al-ghifariah, Ummu Amarah, Ummu Sulaim, Ummu Aiman, Ummu Ziyad, Ummu Sinan, Rabayi', Khaulah, ibunya Anas, dan aku sendiri. Kami semua juga larinya cepat. Kamilah yang membawakan air minum dan memasak sop tepung bagi para tentara. Di samping itu kami juga mengobati para tentara yang terluka dan mengumpulkan busur panah.

Pada saat bersamaan aku juga menjadi seorang perawat. Kami mendirikan sebuah rumah sakit bernama Maristan, dibangun di samping Masjid di masa-masa peperangan. Yang menjadi kepala perawat di Maristan ialah Rufayda, seorang perempuan dari suku Aslam. Mereka membawa orang yang sakit dan terluka ke rumah Rufayda. Meskipun seperti terlihat pasif ketika di masa-masa peperangan, kami para perempuan tetap terus terlihat dalam kegiatan penting.