Chapter 63 - Perang Badar (5)

Sebenarnya perang Badar sungguh besar maknanya bagi kami semua dan menimbulkan banyak kesulitan di tengah-tengahnya. Lagi-lagi kaum Quraisy mengirim pasukan untuk melawan sadara-saudara mereka sendiri. Misalnya Abdurrahman kakakku, yang justru ikut datang sebagai tentara kaum musyrik. Di samping seorang tentara yang tangguh, dia juga merupakan seorang pembicara yang fasih. Ketika dia dengan angkuh menantang peperangan, ayahku bangkit dari tempatnya dan merampas senjatanya. Rasulullah berusaha menghentikan ayahku. Begitu melihat kemarahan ayahku, Abdurrahman takut dan langsung melarikan diri.

Salah satu hal paling penting di hari itu adalah dukungan para malaikat kepada para mujahid perang Badar. Seribu malaikat datang atas perintah Allah. Di bawah pimpinan malaikat Jibril, mereka mendukung para tentara Allah.

Para pemimpin kaum musyrik seperti Abu Jahal, Utbah, Syaibah, Umayyah, dan semua tentara Mekah mengalami kekalahan besar.

Setelah selesai mengubur yang wafat dan mengobati pasukan yang terluka, Rasulullah mulai bermusyawarah bersama sahabat apa yang harus dilakukan terhadap para tawanan perang. Umar bin Khathtab dengan suara lantang mengatakan bahwa para tawanan harus segera dibunuh. Ayahku mengatakan sebaiknya kami melepaskan tentara-tentara dengan mengambil denda. Siasat ini akan sangat membantu strategi peperangan, apa lagi bila orang-orang yang dibebaskan bercerita tentang apa yang mereka alami kepada kaum Quraisy lainnya.

Setelah bermusyawarah panjang, usul ayahku dinilai lebih sesuai.

Setiap waktu Rasulullah selalu mengatakan bahwa kami harus memperlakukan tawanan secara adil. Seperti sewaktu berangkat, pasukan Muslim berbagi makanan dengan para tawanan dalam perjalanan pulang ke Madinah. Mereka juga berbagi tunggangan. Dan sesuai keputusan bersama, tawanan perang yang bersedia mengajar menulis dan membaca kepada kaum Muslim akan dibebaskan.

Rasulullah sangat mencintai guru dan menghargai mereka. Bahkan beliau membebaskan orang itu jika bersedia mengajarkan membaca dan menulis. Rasulullah adalah orang yang menghormati orang lain seperti rasa hormat yang dia berikan kepada para guru, kitab, dan huruf-huruf.

Tapi, dalam perjalanan pulang ke Madinah, kaum Muslim harus mendengar kabar sedih. Ruqayyah, putri Rasulullah telah wafat. Ketika sejumlah lelaki yang tak ikut dalam peperangan menyiapkan penguburan Ruqayyah, tentara Islam baru kembali.

Kesedihan dan kegembiraan terus mengalir bercampur dalam perjalanan takdir Rasulullah. Padahal, kaum Muslim pertama di dunia ini baru kembali dengan kemenangan pertama dari peperangan pertama mereka. Sayang, sinar warna bunga mawar di rumah Rasulullah telah layu.

Ada peristiwa lain yang melukai hati Rasulullah, yaitu mengenai Zainab, putri terbesarnya. Zainab masih belum bisa memeluk Islam karena tak diizinkan suaminya. Karena itu, dia tak bisa melakukan hijrah ke Madinah bersama kami. Sementara itu, suami Zainab, Abul 'Ash bin Rabi' termasuk diantara kaum musyrik yang jatuh ke tangan tentara Islam sebagai tawanan perang.

Keputusan memberi kebebasan dengan syarat membayar denda membuat gudang harta bersama kaum Muslim dipenuhi harta dari kaum Quraisy. Suatu hari, mereka membawa sebuah kalung dan mengulurkannya kepada Rasulullah. Rasulullah membolak-balikkan kalung yang ada di genggamannya itu, lantas menatap perhiasan mahal ini dengan mata berkaca-kaca.

Rasulullah segera mengenali kalung itu. Kalung itu ternyata milik Khadijah al-Kubra, yang dihadiahkan kepada Zainab oleh Khadijah ketika menikah. Air mata mengalir dari kedua mata Rasulullah. Ia terkenang Khadijah istri yang begitu dia cintai.

"Jika..." ucapnya dengan sedih, "jika kalian mengizinkan, lepaskan tawanan ini dan serahkan kembali kalung ini kepada pemiliknya."

Akhirnya pasukan Islam membebaskan Abul 'Ash. Dan karena perlakuan baik yang dia dapatkan di Madinah, setelah kembali ke Mekah dirinya mengizinkan Zainab bertemu dengan ayahnya. Hind bersama beberapa orang yang tak diketahui ciri-cirinya memotong jalan Zainab dan menyebabkan dirinya terjatuh dari unta. Padahal, waktu itu Zainab sedang hamil. Kecelakaan itu membuatnya harus kehilangan jabang bayi dalam kandungannya, dan ia pun jatuh sakit dalam waktu yang lama. Setelah beberapa saat berada di samping ayahnya di Madinah, Zainab meninggal dunia.

Kami selalu meneteskan air mata setiap kali ingat kepedihan hidup Zainab. Kami berdoa untuk suaminya agar ia masuk Islam karena suaminya orang yang berperilaku baik, memberikan cinta dan kasih sayang yang besar kepada Zainab. Abul 'Ash

akhirnya benar memeluk Islam setelah perang Badar. Tapi, pernikahannya yang penuh kesulitan dan rintangan itu tak dapat berlanjut lama.

Rasulullah adalah seorang ayah yang melihat putri-putrinya dikubur.

Di tahun kedua hijrah, melewati seluruh kesedihan, kami masuk bulan Ramadhan dengan kemenangan perang Badar. Kami menyaksikan dua hari raya yang diramaikan ketika tiba di Madinah. Pertama adalah Nowruz, perayaan menyambut musim semi. Yang lainnya adalah Mihrican, yaitu hari ketika siang dan malam sama lamanya di awal musim gugur. Selain itu, seluruh masyarakat di Madinah juga ikut merayakan hari Sabat, hari ketujuh yang dirayakan kaum Yahudi.

Tahun itu untuk pertama kalinya kaum Muslimin berkumpul di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Mushalla di daerah bagian luar Madinah, sambil memenuhi undangan Rasulullah. Seluruh lelaki dan perempuan dewasa, gadis-gadis, bahkan anak-anak, mengikuti Rasulullah melakukan shalat Idul Fitri pertama kali di Mushalla.

Setelah shalat bersama, kami membentuk grup kami masing-masing untuk perempuan dan lelaki. Mereka melakukan permainan berbeda-beda, mendendangkan puisi-puisi dan nyanyian, melantunkan cerita-cerita. Pemuda-pemuda melakukan permainan pedang, sementara kami perempuan menyaksikan dengan penuh perhatian. Bahkan, agar bisa menyaksikan lebih jelas permainan pedang, Rasulullah maju berdiri di depanku. Rasulullah menyaksikan permainan itu sambil tersenyum. Sambil menopang pipiku di baunya, aku juga menyaksikan permainan itu.

"Sudah belum? Apa kamu sudah puas menyaksikannya?" Kadang-kadang Rasulullah bertanya kepadaku seperti itu. Aku menjawab, "Sebentar lagi."

Dari berbagai permainan yang aku saksikan ini, Rasulullah Seakan-akan membisikkan kepadaku betapa berartinya hari raya setelah melewati hari-hari penuh kesulitan. Anak-anak mengelilingi Rasulullah, kemudian mereka menebarkan bunga-bunga diiringi nyanyian dan puisi. Semua orang tertawa dan tersenyum. Rasulullah memeluk mereka satu per satu, menjamu mereka dengan kurma yang telah disiapkan di rumah, bersatu dalam harapan baru meninggalkan kesedihan dan kepedihan di satu sisi.

Rasulullah mengangkat tinggi-tinggi kurma yang dia bawa dari kantung. "Ayo ada kurma!" kata Rasulullah mengajak anak-anak merebut kurma dari tangannya.

Rasulullah sangat menyukai hari raya di sepanjang hidupnya. Dia sangat suka melihat orang-orang di sekelilingnya gembira. Ribuan kali Rasulullah mengucapkan hamdalab kepada Rabb. Dia adalah Nabi segala rahna. Nabi yang mendapatkan jaminan ampunan dan rahmat Allah dengan ampunan tiada batas.