Aku merupakan kupu-kupu Rasulullah yang selalu ada dalam perhatiannya dan beliau menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan.
Rasulullah tersenyum sambil memainkan hidungku.
"Bicaralah wahai Humaira..."
Dan aku sering bertanya kepada Rasulullah, "apakah engkau mencintaiku?"
"Iya..."
Aku terdiam sebentar, tapi terasa lama seperti beribu-ribu tahun. Dia menggelengkan kepalanya, mengajak aku berbicara.
"Seberapa besar engkau mencintaiku?"
"Seperti titik-titik yang terlempar ke kain sutra..."
"Maksudnya...."
"Seperti titik-titik yang tak terlihat..."
Jawaban ini seperti sebuah bintang yang dalam seribu tahun sekali turun ke dalam hatiku, penuh dengan cinta.
Kadang-kadang bintangku jatuh. Aku ingin memperbaharui cintaku dengan kata-kata. Dalam bentuk isyarat aku bertanya kepada Rasulullah yang berada dalam Kerajaan cinta, "Bagaimana dengan titik kita yang tak terlihat?"
Sambil tersenyum dia menjawab, "Seperti hati pertama..."
Matahariku terbit seketika mendengar jawaban ini. Bunga-bungaku tumbuh bermekaran, kurma-kurma menjadi matang, mengeluarkan rasa manis madu. Seratus kali aku berlari dan ribuan kali aku memelu Rasulullah dalam diriku membuat butiran-butiran air mataku mau mengalir karena bahagia. Tapi, aku menahannya. Aku tahan supaya tak satu orang pun mengetahui hal ini. Sementara itu, dari tempat aku berdiri beribu-ribu bintang seribu kali meletus, terlahir, dan tumbuh besar. Tak seorang pun mengetahui sebuah langit mengelilingiku. Bahu-bahu kecil Aisyah menampung samudra maha luas yang tak seorang pun melihat jejak itu. Galaksi-galaksi cinta dalam dirinya mengecil seperti sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Alam semesta jatuh ke dalam kedua mata cintaku kepada Rasulullah, padam seperti sebuah kobaran api kecil.
Kedua mataku tak menatap seseorang selain Rasulullah. Allah menciptakan kedua mataku untuk mencintai kekasih-Nya.
"Adakah berita dari titik kita yang tak terlihat? "
Beliau tersenyum. "Titik itu sama seperti di hari pertama...."
Ketika dia mengucapkan hal itu, tentara - tentara cinta dalam hatiku mengibar-ngibarkan bendera. Jadi, cintanya tetap sama seperti hari pertama.
Bendera itu tak pernah turun dari hatiku. Cinta Rasulullah merupakan bendera dan juga kain kafan bagiku. Aku bersumpah, aku ucapkan dengan huruf waw, ba, ta, bahwa cinta Rasulullah telah menggetarka hatiku.
Kamarku, rumahku, betapa hakikat barang di rumah itu tumbuh besar dengan cinta. Misalnya gantungan di tembok yang mendendangkan lagu di tempat dia bergantung seiring dunia berganti. Teman kecilku yang bergantung di tembok ini mengangkat seluruh beban dunia dari bahuku.
Juga ember kecil yang tepat berada di bawah gantungan. Jelas benda tu tak sebesar kapal Nabi Nuh, tapi ember itulah yang membawa keluarga kami. Kadang-kadang kami menaruh kurma di dalamnya, memberi jamuan kepada anak yatim, menjaga orang-orang yang mengetuk pintu kami seperti menjaga hati kami. Kenikmatan hidup terlewati dengan ember itu yang bibirnya penuh dengan kata-kata indah. Ia melakukan kebaikan tanpa pamrih.