Tanpa Rasulullah, aku seperti seorang anak kacil yang mengggigil kedinginan dalam kegelapan. Kadang-kadang bila di malam hari ketika harus berpisah dengan Rasulullah, aku ingin pergi dari dunia ini. Tanpa Rasulullah, udara tak berembus. Pagi tak kunjung tiba di hari-hari tanpa dirinya. Cinta Rasulullah adalah oase di tengah-tengah padang pasir. Sebuah oase yang terpancar dari surga. Bayangkan sendiri apa yang terjadi jika terjadi perpisahan.
Sama seperti rumah kami yang penuh dengan cinta, kehambaan kami pun berkobar dalam diri kami. Kadang-kadang, Rasulullah memegang daguku dengan lembut, membalikkan wajahku tepat ke wajahnya, menatap dalam-dalam pada kedua mataku dan berkata, "Lihat Aisyah..."
Sebenarnya, seluruh kalimat yang dia ucapkan kepadaku seperti sebuah halaman suci yang diamanahkan kepadaku. Aku tak menyadari bahwa pengetahuan dan wawasan yang dia berikan kepadaku ini untuk menyiapkan diriku di tahun-tahun kedepan. Aku pikir ini adalah pembicaraan yang biasa dilalui di antara sepasang suami istri. Tapi Rasulullah berbeda, sangat berbeda. Sementara itu, aku adalah salah satu dari orang-orang yang diamanahi kata-katanya untuk masa depan.
Kadang-kadang aku membuat manik-manik yang berbeda untuk tampil cantik di hadapannya. Rasulullah langsung menyadari hal itu begitu masuk rumah. Wajahnya terlihat diselimuti awan gelap.
"Apa itu yang ada di jemarimu, ya Aisyah..."
"Hiasan untukmu, ya Rasulullah..."
"Kalau begitu, sudahkah kau membayar zakat untuk itu?"
Saat itu Seakan-akan ada kilatan keramaian dunia menyambar diriku. Aku terpuruk lemah. Sangat terpuruk. Sebersit pikiran muncul dalam diriku. "Bukankah barang dengan harga tak lebih dari lima perak tak ada zakatnya?" Rasulullah mengajarkan hal ini kepadaku. Tapi bagaimana dengan sekarang? Nada suara Rasulullah yang berawan gelap itu Seakan-akan mengubah rumah kacil kami menjadi gunung paling tinggi dan pertanyaannya membuatku seperti berada di puncak gunung itu sendiri.
Padahal, aku melakukan ini untuk Rasulullah. Aku melakukan ini supaya Rasulullah semakin mencintaiku, semakin gembira....
Ketika beribu-ribu alasan tebersit dalam pikiranku, dia menjawab semua pertanyaan dalam pikiranku sambil menunjuk jemariku, "Ini cukup untuk membawamu ke neraka," ucapnya lembut.
Aku menutup wajah dengan kedua tanganku karena malu Seakan-akan jemariku terbakar.
Cincin besi di jemariku, membakar jemariku, menggigit, menggerogoti jemariku. Aku langsung melepas perak-perak dari jemariku. Wajahnya bercahaya penuh dengan kasih sayang ketika melihat yang aku lakukan.
"Jika keinginanmu adalah dipertemukan denganku..."
"Ya Rasulullah apa pun maksudmu, pasti itu adalah keinginanku..."
"kalau begitu, jalani kehidupan ini seperti seorang pengembara. Jauhilah kehidupan seperti orang kaya dan terus pakailah pakaian sampai tak bisa digunakan lagi," katanya.
Seperti inilah rumah kami. Tak banyak hal-hal duniawi. Keberadaan sepasang perak saja membebani kami. Badan kami membungkuk. Kami mementingkan menjaga kebersihan. Kami membersihkan tembok rumah dengan ketaqwaan dan keimanan. Kehormatan adalah atap rumah kami. Kesucian adalah lantai rumah kami. Dengan niat dan kehendak, kami membuat rumah kami seperti ini. Jadi, ketulusan, kemurnian, dan kejenuhan adalah keputusan dari semua hal yang kami pelajari dari Rasulullah. Kalau tidak, pintu rumah kami akan dipenuhi dengan hadiah-hadiah, emas, perak, dan barang-barang berharga lainnya. Beban dunia tak bisa masuk dari pintu itu. Harta kekayaan di rumah kecil kami adalah hati kami yang selalu berusaha kami jaga bersih, bahkan itu pun sepenuhnya tak berada dalam kendali kami oleh karena itu, kami meminta pertolongan Allah siang-malam supaya tak terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang.
Sebelumnya aku adalah unsur yang mendekatkan Rasulullah kepada hal-hal duniawi. Kedua tanganku selalu berusaha untuk memasukkan hal-hal duniawi ke rumah kami.
Suatu hari seorang perempuan dari kaum Anshar berkunjung ke rumah kami. Ketika melihat bahwa kasur kami terbuat dari serabut pohon kurma, dia tak rela dengan keadaan ini sampai akhirnya membawakan kasur kain dari rumahnya. Supaya Rasulullah nyaman beristirahat, demikian katanya menerangkan tanpa aku bisa berbuat apa-apa. Saat kembali ke rumah Rasulullah langsung bertanya begitu melihat kasur baru itu.
"Ini apa, Aisyah?"
Dengan raut muka khawatir dan berusaha tampak ceria, aku menjawab, "Ini kasur baru ya Rasulullah..."
"Aisyah.... Aisyah.... Aisyahku.... Kau harus segera mengembalikan kasur ini kepada pemiliknya! Kau harus tahu bahwa jika aku memohon kepada Allah, Allah memberikan perintah kepada gunung-gunug dan akan mengubah semuanya jadi emas dan perak."