Aku mustahil menyelesaikan cerita ini tanpa mengungkapkan soal "atap peneduh" setelah begitu banyak aku bercerita mengenai rumah kecilku kepada kalian.
Pendeknya, kami memanggilnya "Suffah".
Sebagai mana rumah tempat kasih sayang kami membutuhkan Rasulullah, Suffah juga merupakan tempat berkumpul para syuhada yang mencintai Rasulullah. Sebagai mana Rasulullah membangun rumah-rumah keluarganya secara saling berdampingan, ia juga mendirikan "atap peneduh" bagi teman-teman yang miskin dan tak memiliki apa-apa. Tempat itu bukan hanya tempat berlindung. Suffah merupakan tempat belajar agama milik Rasulullah, seperti sebuah sekolah. Suffah itu seperti janji kepada orang-orang yang tak memiliki sesuap roti untuk makan, pakaian untuk dikenakan, atap Untuk berteduh kepada Rasulullah. Rasul merupakan rumah mereka, pakaian, penyelimut, udara air, roti, nabi mereka.
Mereka adalah orang-orang yang tak memiliki apa-apa. Satu-satunya yang mereka miliki adalah Rasulullah. Rasulullah tak menyantap sesuap makanan jika Ahli Suffah tak makan. Mereka seperti anak-anaknya, saudara, syuhada yang paling dekat dengan agama, murid Rasulullah, dan teman perjalanan.
Ketika arah kiblat pertama di Masjid Nabawi yang mengarah ke Yerusalem berganti arah ke Baitul Maqdis bersama dengan turun ayat perintahnya, bagian Masjid yang mengarah ke arah Yerusalem menjadi kosong. Bagian itu di teduhi oleh ranting-ranting pohon kurma. Kemudian, Rasulullah memutuskan menggunakan bagian itu untuk para Muslimin yang tak mampu dan tak memiliki rumah. Jumlah Ahli Suffah kurang lebih berkisar antara tujuh puluh sampai tiga ratus orang. Mereka suka bertanya mengenai Al-Quran, fardhu-fardhu agama, dan penafsiran mimpi-mimpi setelah shalat subuh. Keadaan Masjid setelah shalat shubuh biasanya sama seperti saat orang sedang belajar. Melalui perantara dan izin Anas, orang-orang yang ingin bertanya kepada Rasulullah hanya diperbolehkan datang setelah shalat dzuhur. Di Masjid mereka membaca Al-Quran dan belajar hadist.