Chereads / Aisyah Wanita yang hadir dalam mimpi Rasulullah / Chapter 44 - Aku Selalu Merindukan Pohonku

Chapter 44 - Aku Selalu Merindukan Pohonku

Selalu terjadi seperti ini. Ketika aku ingin menambah hiasan-hiasan baru dalam kehidupan Rasulullah, dia selalu membuang duniawi yang ingin menghiasi rumah kami. Sambil mengucapkan "Ya Allah, Ya Allah!", aku menangisi keadaanku dengan seribu penyesalan, seribu amarah. Sekali lagi aku mengeluarkan barang-barang pemberian itu. Ketika melihat kegusaranku, dia menyaksikanku sambil tersenyum. Dia menganggukkan kepala mengisyaratkan kepuasan ketika aku kembali dengan nafas terengah-engah.

"Aisyahku, aku tahu kapan kau marah kepadaku."

"Bagaimana mungkin aku aku marah kepadamu, ya Rasulullah?"

Dia menyentuh lembut daguku dan menatap dalam-dalam kedua mataku sambil tersenyum.

"Ketika kau benar-benar marah kepadaku, kau berkata, ya Tuhannya Ibrahim, sementara kalau kau baik kepadaku, kau akan berkata ya Tuhannya Muhammad."

Kami berdua pun tersenyum setelah kejadian seperti itu. Sesuatu bersama Rasulullah yang sangat aku rindukan adalah saat-saat kami tersenyum bersama. Aku selalu ingin bisa membuat tersenyum Rasulullah meskipun hanya sesaat setiap kali dia menopang beban berat. Keindahan dunia yang mustahil ditolak yang bisa aku berikan bagi rumah kecil kami adalah sinar cerah wajah Rasulullah. Ia sungguh tulus dan murni dalam sebuah hal. Aku mustahil mengubah momen bahagia paling kecil sekalipun yang aku lalui bersama Rasulullah menjadi keindahan-keindahan duniawi.

Aku selalu berusaha membuat Rasulullah ceria begitu dia masuk ke rumah kecil kami. Kadang-kadang aku juga terkejut dengan sikapku yang banyak bicara dan banyak menceritakan segala sesuatu. Untungnya, dia selalu mendengarkan ceritaku tanpa merasa bosan. Saat itulah seluruh sungai dalam diriku mengalir lurus menuju Rasulullah. Mengalir ke laut Rasulullah adalah harapan terbesarkudi rumah kecil ini.

"Humaira," ucap Rasulullah Kadang-kadang. "Aku tak bisa menanggapi dirimu setiap saat dengan sepenuh hati....."

Dia adalah pohon tertinggi di dunia. Aku terbang di antara ranting-rantingnya seperti seekor burung pipit kecil. Sayap-sayapku patah setelah Rasulullah wafat. Aku selalu terbang mencari pohonku. Aku selalu merindukan pohonku. Seluruh ucapanku merupakan tangis kesedihan setelah Rasulullah wafat. Aku selalu mengucapkan kata-kata yang diamanahkan oleh Rasulullah kepadaku untuk di berikan kepada generasi selanjutnya, tapi sebenarnya aku tak pernah mengucapkan kata-kata itu itu lagi setelah Rasulullah wafat. Tak satu pun orang menyadari hal ini. Kalimat-kalimatku juga terbang bersama dengan kepergian Rasulullah.

Aku tak pernah meninggalkan rumah kami setelah Rasulullah wafat, kecuali pada hari perang Jamal. Itu pun karena keinginanku berhubungan dengan keadilan. Tapi sebenarnya hatiku tak rela. Karena hal itu, aku berwasiat di detik-detik akhir nafasku. "Aku telah melakukan kesalahan. Kuburlah diriku di samping makam teman-temanku lainnya, bukan di rumahku."

Namun ruhku, hati, nafas, dan pikiranku selalu bersama dengan perintah :"Tinggallah di rumah kalian..."