Chereads / Aisyah Wanita yang hadir dalam mimpi Rasulullah / Chapter 42 - Kebenaran Sebuah Pernikahan (3)

Chapter 42 - Kebenaran Sebuah Pernikahan (3)

Tak ada yang bisa menyalahkanku mengenai hal ini. Seribu kali pun aku mati, seribu kali juga aku kembali dihidupkan oleh Rabb. Setiap kali aku menatapnya, kedua mataku bersinar cerah seperti pancaran sinar untuk pertama kalinya.

Apa yang bisa aku katakan lagi, kesedihan telah mengubah tatapanku, hatiku, pikiranku. Cinta merupakan kesedihan bagiku.....

"Kebenaran...."

Tak ada arah aliran sungai kata jika kau melihat keadaanku dengan seksama. Kedua arah itu adalah Rasulullah. Sebenarnya dia sendirilah sungai dan kata cinta. Rumah kami kecil seperti jantung, seperti hati. Kami menyebutnya zira'. Lebarnya hanya seperti panjang dari siku sampai ujung jari tengah. Rumah kecil kami luasnya kurang lebih enam atau tujuh siku.

Atap rumah kami di tutup dengan serabut-serabut pohon kurma. Bila hujan tiba-tiba turun membasahi kami di suatu musim panas, kemasan menyelimuti kami. Kami saling berlomba berteduh dengan kain tipis. Tapi aku selalu kagum dengan atap itu. Ketika seseorang berdiri dan tebersit dalam pikiranku bahwa kepalanya akan menyentuh atap, ternyata tak satupun ada kepala seseorang yang menyentuh atap rendah itu. Aku tersenyum sendiri. "Ya Rabb, malaikatkah yang mengangkat atap rumah kecil ini?"

Jadi seperti inilah manusia ketika bahagia. Kebahagiaan hati mengubah yang sempit menjadi luas, yang pendek menjadi panjang, yang sedikit menjadi banyak.

Suatu hari cucu kesayangan Rasulullah Hasan datang ke rumah kami ketika dia sudah tumbuh besar menjadi seorang laki-laki. Kalau dia mengangkat tangan, telapak tangannya mampu menyentuh langit-langit rumah kami. Tebersit dalam diriku bahwa setiap kali tangan Hasan menyentuh langit-langit, itu menunjukkan kerinduannya kepada kakeknya.

Saat itu kami memiliki pohon yang dikenal dengan nama Arar. Pintu-pintu rumah kami terbuat dari pohon itu. Pintu itu tak menutup tubuh seseorang dan tak pernah membentur wajah seseorang. Menututupi tapi tak memisahkan. Betapa bagusnya pintu itu. Seperti sebuah pintu hati. Pintu permintaan. Pintu jawaban. Pintu kalimat.

Satu pohon cedar, anyaman, bantal berisi serabut, gantungan di tembok, wadah air dari kulit yang tergantung pada tempatnya, sebuah ember dan mangkuk.... Itulah rumah dan barang-barang seorang Nabi seluruh alam.

Rumah kami tak memiliki lampu ataupun lilin yang menyala di malam hari. Kadang-kadang bisa selama empat puluh malam terlewati tanpa tanpa seberkas cahaya yang menerangi kami. Jika suatu hari kami kebetulan punya minyak untuk menerangi rumah, itu pun mungkin lebih baik kami gunakan untuk memasak makanan. Kadang-kadang kami melewati bulan sabit pertama, di sampingnya terlewati dua bulan sabit, dan pada saat itu rumah kami tak menyalakan api. Hari-hari kami dilalui dengan "dua yang hitam", yaitu kurma dan zamzam. Kami sangat bersyukur atas kenikmatan itu.

Aku tak pernah makan melebihi apa yang dimakan Rasulullah. Aku takut dan menjauhi hal-hal duniawi. Apa yang kami dapatkan dari hal duniawi, apa yang bisa kami lakukan dengan api. Rasulullah sudah merupakan sumber kehangatan dan sinar bagi kami.

Jika Rasulullah ada di sisiku, apa yang harus aku lakukan dengan lilin?

Jika Rasulullah tak ada di sisiku, matahari pun haram bagiku.