Unedited
Sarah duduk di kasurnya menatap kosong test pack yang sedang di pegangnya. Peristiwa yang terjadi di Bali lalu, singgah di kepala Sarah. Sudah satu minggu ini dia merasakan perubahan emosi yang begitu tiba-tiba. Tiga hari belakangan ini juga, dia sudah beberapa kali muntah-muntah.
Apalagi menstruasi-nya belum juga datang dan sudah lewat tanggal. Hal tersebut membuat Sarah panik.
Sarah sangat ketakutan. Test pack yang ada di tangan-nya sama sekali belum di pakai. Sarah masih takut, dia tidak siap.
"Please. Please, don't be pregnant" pinta Sarah lemah menepuk-nepuk lembut perutnya yang masih rata.
Sarah ingin menangis, tertawa dan berteriak.
Dia pun merebahkan tubuhnya terlentang. Sarah mengambil bantal kepalanya kemudian menutup wajahnya dengan bantal. Dan mulai berteriak se keras-keras-nya.
"Aaaaarrrgggggghhhhhh"
Habis berteriak dia tertawa keras. Nah, ini contoh dari perubahan dramatis emosinya. Cepat sekali berganti.
Selesai mengeluarkan emosinya, dia pun berdiri lalu mengambil test peck yang tergeletak di kasur. Sarah mulai mondar-mandir di dalam kamarnya sambil menepuk-nepuk test pecknya di tangan.
Dia memegang test pack tersebut dengan sangat erat. Dia belum siap untuk melakukannya. Tangan Sarah sampai berkeringat dingin saking gugupnya.
"Biasa aja, Sar. Belum tentu yang di pikirin elo itu benar" Dengan suara pelan Sarah berusah menghipnotis dan menyakinkan dirinya, "Tenangin diri lo, Sarah. Keep calm"
Okey. Lo bisa, Sar. Tenang. Tarik nafas, keluarkan. Tarik nafas keluarkan.
Sarah menghembuskan nafas panjangnya selesai menenangkan dirinya. Setelah keberanian-nya terkumpul, dengan perasaan campur aduk, was-was dan deg-deg-an, Sarah masuk ke dalam kamar mandinya.
You can do it, Sarah. You can do it.
Dia perlu menunggu sekitar lima menit untuk bisa mengetahui hasilnya test pecknya itu. Takut hasilnya tidak akurat, Sarah tidak hanya mencoba satu test peck saja, dia mencoba semua macam test peck yang baru di belinya di apotik untuk di bandingkan.
Jantung Sarah berdetak dengan kencang, seiring berputarnya jarum panjang yang menunjukan detik pada jam yang ada di dinding kamarnya.
Lima menit yang paling di tunggu-tunggu pun tiba. Sudah saatnya dia mengetahui hasilnya itu. Hidup dan matinya bergantung pada garis merah yang ada di test pecknya itu.
Tarik nafas dalam-dalam, keluarkan. Okey, Sarah. Ini saatnya. Elo bisa. Gak mungkin lo hamil. Lo hanya telat aja. Sama kayak taon lalu. Santai aja.
Sarah pun mulai berdoa.
Akhirnya, tangannya yang sudah basah karena keringat mengambil salah satu test peck. Sebelum Sarah melihat hasilnya, dia menutup matanya lagi. Kembali mulai berdoa.
Dengan sangat perlahan Sarah membuka matanya. Begitu matanya melihat hanya ada satu garis merah pada test pecknya, hati Sarah langsung lega. Tubuhnya terasa ringan. Dia pun mengusap keringat yang mulai bercucuran di dahinya.
Thanks God. Tuh kan. Elo aja yang paranoid banget.
Melihat hasil test-pack-nya negatif, keberaniannya yang memudar mulai muncul kembali. Dengan berani Sarah mengambil test pecknya yang lain. Muka Sarah langsung pucat pasi begitu melihat hasi test pack yang dipegangnya sekarang memiliki dua garis merah. Dia pun dengan cepat mengambil test pack yang lain.
"No.. No.. No. No" Sarah berteriak histeris ketika dia melihat tiga dari empat test pack yang di belinya menunjukan hasil positif. Kakinya serasa tidak memiliki kekuatan untuk menopangnya berdiri. Sarah jatuh terduduk lemas. Otaknya langsung kosong. Blank.
Shit!! What should i do now?
Sarah tidak tahu harus bagaimana dia menghadapai kehamilannya ini. Nama ayah dari anak yang dikandungnya saja, dia tidak tahu. Belum juga orangtua Sarah. Bisa kena stroke Papinya, jika tahu puteri kesayangan-nya hamil tanpa tahu pria yang menghamili-nya. Yang Sarah takutkan adalah Dimas. Sarah bahkan belum memberitahukan peristiwa yang terjadi di Bali lalu. Dan hal ini terjadi.
Ya, Tuhan.
Sarah menyesal pergi ke Bali.
*********
Hal pertama yang Sarah lakukan begitu dia mengetahui kehamilannya itu yaitu menghubungi sahabat baiknya, Erina. Begitu Sarah menelpon Erina, dia langsung meminta sahabatnya itu untuk datang ke apartementnya.
Untung saja hari ini weekend dan sahabatnya itu sedang berada di Jakarta. Biasanya Sarah hanya mengobrol via telpon dengan Erin karena jadwal Erin yang super padat.
Ketika Erin sampai ke apartementnya, Sarah dengan perasaan sedih dan bingung, menceritakan semuanya kepada sahabatnya itu. Dari pertama kali dia bertemu dengan pria tersebut sampai bagaimana Sarah mengetahui kalau dia saat ini sedang mengandung anak pria tersebut.
Erina mendengarkannya dalam diam. Dia hanya mendengarkan tanpa Berkomentar.
"Rin. Elo dengar nggak apa yang gue omongin tadi? Udah panjang lebar gue curhat, lo-nya malah diem"
"Gue dengar, Sar. Gue bingung aja, ngapain juga tu cowok nyamperin lo terus pake acara nyium elo gitu" ucap Erin tidak mengerti.
"Gue juga gak tau, Rin. Itu cowok tiba-tiba aja nyemperin gue gitu. Ehh pas gue mau cabut, tu cowok malah nyium gue"
Erin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Sarah, "Cerita elo itu udah kayak di sinetron-sinteron aja, Sar"
"Sinetron dengkul mu. Ini tu reality buat gue. Nyata, Rin" Sarah sedikit kesal pada tanggapan dan reaksi dari Erin.
Sarahnya lagi super serius, Erin-nya malah begitu.
"Maaf, maaf. Terus rencana lo gimana? mau elo apain ni anak? gugurin?" tanya Erina serius yang di balas pukulan Sarah.
"Oww, Sakit. Ngapain lo mukul gue?" Erina mengusap lengannya yang di pukul Sarah sambil menatap Sarah bingung.
"Elo kalo ngomong di pikir dulu, Rin. Kapan gue bilang mau gugurin anak gue? Anak ini gak salah apa-apa. Gue nggak mungkin ngegugurin anak gue sendiri. Gue cuma takut aja Rin. Gue nggak tau harus ngapain"
Erin memeluk Sarah.
"Lo pasti bisa kok, Sar. Gue tau elo orangnya baik, kuat, mandiri, tegar, dan masih banyak lagi. Gue yakin elo bisa jadi ibu yang hebat buat anak lo, Sar. Elo juga punya bonyok lo yang sayang banget sama lo. Dan elo juga masih punya gue"
"Thanks banget, Rin. Elo itu emang sahabat gue yang paling baik" puji Sarah tersenyum masih memeluk Erin.
"Eiitss, jangan lupa cantiknya" canda Erin melepaskan pelukannya.
"Iya, cantik juga"
Erina adalah seorang model yang namanya cukup terkenal. Sarah dan Erin sudah berteman dari semenjak mereka duduk di bangku SMA. Walaupun sahabatnya itu terlihat ceria dan tegar seperti tadi, tapi Sarah tahu betul semua yang terjadi pada Erina. Apa yang terjadi pada Erina membuatnya menjadi seperti Erina yang sekarang ini.
"Terus Dimas gimana?" tanya Erin tiba-tiba.
Sarah hanya bisa mendesah, "Gue nggak tau, Rin. Mungkin besok gue ketemu, Dimas"
Erina mengelus pundak Sarah dengan lembut, "Elo pasti bisa kok, Sar. Semuanya pasti bakalan baik-baik aja. Elo yang kuat" Sarah tersenyum.
Dia sangat berterima kasih karena memiliki sahabat seperti Erin. Sarah sudah menganggap Erin layaknya saudara kandungnya sendiri.
************
Malamnya setelah Erin pulang, Sarah pergi ke rumah orang tuanya. Dia ingin sekali memberitahukan kehamilannya itu kepada orang tuanya.
Meskipun dia dekat dengan kedua orangtua-nya, tapi Sarah takut membuat mereka kecewa.
Sarah memutar radio yang ada di dalam mobilnya. Dia kemudian memilih siaran radio yang cukup terkenal di Jakarta. Dia mengernyit begitu mendengar suara parau seorang pria terdengar dari radio yang ada mobilnya. Suara vokilasnya terdengar familiar. Sarah mencoba mengingat di mana dia mendengar suara serak seperti itu.
Di dengarnya lagu tersebut sampai habis. Tapi, dia masih saja tidak bisa mengingat di mana dia mendengar suara seperti suara pria yang lagunya baru saja di putar di radio tadi.
Penyiar radio pun membahas lagu yang baru saju mereka putar. Lagu tersebut adalah single terbaru dari band The Storm.
Sarah sering mendengar nama band The Storm. The Storm cukup terkenal di Indonesia. Meskipun band tersebut cukup terkenal, tapi Sarah tidak pernah melihat atau mengetahui siapa saja yang ada di dalam band tersebut. Yang Sarah tahu, semua anggotanya tampan. Itu juga Sarah dengar ketika dia tidak sengaja mendengar pembicaraan karyawan wanita di kantor.
Hampir semua karyawan wanita yang ada di perusahannya adalah penggemar The Storm. Tapi sayang, anggota band itu playboy semua.
Jujur saja, Sarah tidak terlalu suka dengan lagu-lagu Indonesia, dia lebih suka mendengar lagu-lagu barat. Bukannya dia tidak menghargai karya anak bangsa, ya. Sarah suka kok beberapa penyanyi Indonesia. Contohnya Iwan Fals, Ari Lasso dan Judika, adalah penyanyi Indonesia yang Sarah suka.
Memerlukan waktu satu jam perjalan dari apartement Sarah untuk sampai ke rumah orangtua-nya di kawasan perumahan cibubur.
Pak Yoyo, yang sudah lima belas tahun bekerja dengan keluarganya, menyapanya begitu dia masuk.
"Malam mbak, Sarah" sapa pak Yoyo tersenyum kepadanya.
"Malam Pak, Papi dan Mami ada di rumah?" Sarah tidak memberitahukan kepada orang tuanya tentang kedatangannya. Biasanya Sarah selalu menghubungi mereka dulu sebelum dia berkunjung.
"Ada, di dalem. Tapi Bapak dan Ibu lagi ada tamunya, Mbak"
"Oyah? Siapa?" Sarah penasaran. Tamu yang biasanya diterima sama orang tuanya di rumah, biasanya cuma keluarga atau teman-teman dekat dari mereka.
"Saya juga nggak tau" jelas Pak Yoyo jujur. Sarah hanya menganggukan kepalanya kemudian masuk ke dalam rumah.
Begitu Sarah Masuk empat pasang mata langsung menatapnya. Dua pasang penasaran dan dua pasang terkejut.
Maminya tersenyum begitu melihatnya. Mami menghampirinya, lalu memeluk Sarah dengan sayang.
"Kamu kok kesini nggak bilang-bilang sama mami sih" ucap Mami sambil memeluk pinggang Sarah kemudian memimbingnya ke arah papi dan sepasang suami istri yang tidak di kenal Sarah.
"Surprise aja mams" ucap Sarah tersenyum.
Maminya pun mengenalkan Sarah pada sepasang suami-istri tersebut.
"Ini, Pak Roy Sutomo dan Istrinya Erma Sutomo. Mereka berdua teman Mami dan Papi waktu kuliah dulu, Sar. Mereka berdua juga sama kayak Mami dan Papi, pasangan dari waktu kuliah" Mami menjelaskan sambil matanya kelihatan sedang bernostalgia.
"Wah. Sarah ternyata sudah besar, yah. Waktu dulu kita main ke rumah, kamunya masih kecil gini" Tante Erma tersenyum, menunjukan tinggi Sarah waktu dia masih kecil dulu.
"Anak om juga kayaknya seumuran sama kamu. Kamu umurnya berapa sekarang?" Tanya Oom Roy pada Sarah.
"Dua puluh lima, om"
"Brandon umurnya kalo nggak salah udah dua puluh tujuh yah, Ma" ucap Oom Roy meminta pembenaran dari istrinya. Tante Erma menganggukan kepalanya.
"Kamu enak banget Gas, anak kamu mau kerja di perusahan kamu. Nah, anak-ku Brandon, sudah di paksa-paksa masuk perusahan, ehh anaknya malah tidak mau" Oom Roy menceritakan tentang anaknya dengan ekspresi kesal. Namun Sarah juga dapat melihat ekspresi sayang dari wajah Oom Roy saat dia menceritakan tentang anaknya itu.
"Sarah memang dari dulu sudah berminat di dunia bisnis. Aku hanya membantu-nya sedikit. Anak aku yang tua saja lebih memilih tinggal di luar negeri daripada disini"
Sarah hanya tersenyum mendengar ucapan Papinya. Sarah dari dulu memang berminat dengan perusahan keluarganya. Dia ingin mengembangkan perusahan mereka menjadi lebih besar lagi.
"Yah walaupun anak-ku itu tidak ingin menjalankan perusahanku, tapi dia itu berkomitment. Mandiri. Brandon anak-ku itu seorang penyanyi. Sedari kecil dia bermimpi menjadi penyanyi. Dan dia berhasil. Bandnya juga cukup terkenal di Indonesia. Cuma sayang, kelakuan anakku itu tidak pernah berubah dari dulu. Kerjaannya cuma bikin pusing Mami dan Papinya saja" Jelas Oom Roy cemberut.
Sarah kagum dengan anak Oom Roy. Jarang sekali ada anak yang rela meninggalkan perusahan keluarga-nya yang ternama, demi mengejar mimpi yang belum tantu di raihnya. Dia salut akan prinsip anak dari Oom Roy.
Setelah Om Roy dan istrinya pulang, Sarah teringat dengan tujuan utamanya datang berkunjung. Keberaniannya pun sedikit demi sedikit mulai berkurang. Dia mulai merasa takut untuk mengatakan maksud kedatangannya itu.
"Kamu kesini kenapa?" tanya Papi tidak pakai basa-basi.
"Aku hamil tapi bukan anaknya Dimas" ucap Sarah to the point. Dia tidak biasa berteleh-teleh jika ingin mengatakan hal penting. Lebih cepat, lebih baik menurutnya.
Perasaan khawatir meliputi Hati Sarah. Dia mencermati ekspresi dari kedua orang tuanya. Wajah Papi kelihatan seperti biasa. Sedangkan wajah Mami, waduhhh.
Kenapa wajah Mami seneng kayak gini?
"Kok mami keliatan seneng sih?" Sarah bingung.
"Terus Maminya harus gimana? Mamikan seneng kamunya hamil. Kamu sebentar lagi bakalan kasih Mami cucu" Jawaban Mami membuat Sarah melongo.
Ini Mami beneran?
"Jadi mami nggak marah sama aku?"
"Sedikit. Tapi apa boleh buat. Nasi sudah jadi bubur. Mami nggak mungkin menyuruh mu menggugurkan cucu Mami-kan?"
Ha? reaksi apa ini?
"Kalo Papi gimana?" Sarah merasa waswas. Papinya dari tadi hanya menunjukan poker-face-nya ketika Sarah mengatakan berita besar tersebut.
Papi menatap Sarah lekat, "Papi tau kamu sudah besar. Papi tau kamu sudah bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah. Papi sudah tidak bisa lagi mencampuri urusan kamu. Kamu sudah punya penghasilan sendiri. Papi yakin juga kamu bisa jadi ibu yang baik buat anak kamu. Walaupun Papi sedikit kecewa, tapi Papi tahu kamu orang yang bertanggung-jawab. Jika kamu butuh sesuatu, jangan sungkan hubungi Papi dan Mami" jelas papinya tersenyum lembut.
Meskipun kaget dan tidak percaya dengan reaksi dan tanggapan kedua orangtua-nya, Sarah terharu mendengar ucapan mereka berdua. Dia tidak menyangka Papi dan Mami akan berkata seperti itu. Sarah pun berdiri dan memeluk kedua orangtua-nya.
"Thanks Mam. Thanks Pap. You're the best"
Sarah sangat bersyukur memiliki orang tua seperti Mami dan Papi. Tidak ada orang tua lain yang bisa menggantikan Mami dan Papi. Dan tidak ada orangtua lain yang bisa menanggapi berita tersebut layaknya Mami dan Papinya lakukan barusan.
Kurang satu orang yang perlu di temuinya. Dia hanya berharap bahwa orang tersebut dapat memaafkannya. Dia tidak berharap bahwa Dimas akan menerimanya kembali.