Semenjak mendengarkan penjelasan Carl yang di telefon melalui Evan, ayah dari Kylie maka kini Kylie tampak merasa gundah, bahkan sedari tadi sibuk menarik nafas dan membuangnya kasar.
Sungguh ia benar benar merasa bersalah, belum lagi ia telah menuduh Jack, sang sekretaris kepercayaan Daniel bahwa ia telah berbohong.
Bagaimana jika Jack mengadu pada Daniel?
Hal itu yang sedari tadi menjadi pemikiran berat di kepalanya itu.
Sejujurnya bisa saja ia melupakan begitu saja, toh dirinya dan Daniel belum saling mengenal. Namun mengingat ia selalu menjaga image nya, terlebih kepada orang yang ia suka, seketika ia menjadi khawatir, dan takut jika sikap nya membuat Daniel nanti berfikir yang tidak tidak mengenai dirinya.
"Hei, kau tenang saja, bukankah Dad sudah bilang bahwa Daniel tak akan mempermasalahkan hal tersebut?" ujar Evan dengan santai sambil menepuk bahu Kylie pelan.
Mendengar hal tersebut, mau tak mau Kylie hanya menganggukan kepalanya, dengan hati yang masih sama berat nya dengan pemikiran pendeknya.
'Semoga saja ucapan Dad benar,'
***
Keesokan paginya, seorang pemuda yang masih tampak bertelanjang dada dengan seorang gadis di samping nya tampak mengerjap perlahan, saat sinar matahari tampak sedikit menusuk retinanya.
"Yak, bangunlah ! Sudah waktunya kau pergi," ujar pemuda itu pada gadis yang masih berada di ranjangnya.
Mau tak mau pemuda itu bangun, dan mengambil beberapa pakaian yang berserakan, sambil mengenakannya.
Ya, gadis itu adalah gadis yang ia sewa semalam saat dirinya merasa kalut mengingat hari ini adalah hari penentuan dirinya, apakah ia akan menurut pada perkataan kakek nya yang mengatakan wajib meminta maaf dengan sang wanita pengacara sekaligus anaknya karena ia telah mengganggunya, atau justru menyaksikan kehancuran perusahaan yang selama ini di rintis oleh sang kakek.
Sungguh otak nya masih tak dapat berfikir, menentukan pilihan mana yang harus ia ambil.
"Harus kah aku meminta maaf padanya?" ujar Revan sambil bergidik ngeri memeluk tubuhnya.
Sejujur nya ia tak pernah setuju atas ide - ide itu.
Menurutnya ide itu sangat lag konyol, tetapi di sisi lain, ia juga tak mau menyaksikan kehancuran perusahaan sang kakek.
Bukankah sama saja jika perusahaannya hancur, maka ia tak menutup kemungkinan akan menjadi gelandangan, atau semacamnya?
Ia tak menginginkan hal itu terjadi!
Ia belum siap dengan semua roda perputaran yang baru, jika hal itu terjadi padanya.
Terlebih selama ini ia dalam keadaan penuh dengan kemewahan dan kecukupan dari sang kakek yang selalu ada untuknya.
"Oke, baiklah aku akan menemui wanita itu saat ini, dan setelah hal tersebut lega, barulah aku akan membuat perhitungan padanya," ujar Revan pada akhirnya memberi keputusan yang ia fikir telah masak masak memikirkan hal tersebut.
Revan meraih handphone nya, dan membuat panggilan cepat untuk sang kakek.
Seperti ekspektasi Revan, suara sang kakek tampak di penuhi rasa suka cita, yang nyatanya sebenarnya itu sangat berat untuknya.
"Jika begitu, kau harus menemuinya sekarang," ujar pria tua di seberang telefon.
Revan hanya menganggukan kepalanya pelan, dan bercicit pelan menanggapi perkataan sang kakek.
"Jangan kabur lagi, aku akan menunggu kabar baik darimu," ujar sang kakek sebelum memutuskan telefonnya.
"Ck, kau fikir ini hal yang mudah!" geram Revan pada dirinya sendiri.
***
Rose kini telah berada di kantornya, lebih tepat nya berada di ruangan dirinya selama bekerja disana.
Ia berada di tempat yang berisikan satu ruangan untuk dua orang yang menempati.
"Hei, bagaimana? Apakah masalahmu telah selesai?" tanya seorang pengacara lainnya yang berada satu kantor.
Rose mengendikkan bahunya pelan, seraya berfikir sejenak. Namun setelah itu menganggukan kepalanya.
"Seharusnya sudah, tapi entahlah," ujar Rose terdengar malas.
Baru saja Rose mengatakan seperti itu, tiba tiba saja ia mendengar suara ketukan pintu dari luar.
Otomatis Ben yang berada tak jauh dari pintu membukakan pintu tersebut.
Seketika manik Rose membulat, dengan tubuhnya yang bergeming di tempatnya.
Sungguh reaksi tubuhnya masih merasakan bahwa dirinya dalam situasi terancam.
Berkali kali Rose mencoba menegukkan saliva nya kasar, sedangkan Ben hanya diam di tempatnya dan langsung memerhatikan wajah Rose.
"Maaf Tuan, seperti nya Nyonya Rose sedang tak bisa dikunjungi," selak Ben sebelum pemuda yang tak lain adalah Revan membuka suaranya.
Revan mendengus pelan, dan menghirup nafas dalam dalam.
"Aku tak ada urusan denganmu, aku memiliki urusan dengan wanita itu," ujar Revan singkat dengan tatapan manik nya yang berkilat tajam.
Rose mau tak mau akhirnya memberanikan diri, dan mengatakan pada Revan untuk duduk, di bangku kosong di hadapannya.
"Ada apa?" tanya Rose dingin.
Revan tampak menyandarkan tubuhnya dan memijit keningnya sejenak.
"Aku ingin minta maaf padamu dan juga putrimu,"
Deg
'Apa aku tak salah mendengar?' benak Rose.
"Ck, aku juga sebenarnya merasa aneh mengatakannya, hanya saja sampaikan perkataan maaf ku ini pada orang yang ada dibelakang mu ... aku pergi dulu," ujar Revan sambil beranjak dari tempatnya berlalu pergi ke luar.
Ben yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, lantas mendekat ke arah Rose.
"Apa maksudnya?" tanya Ben bingung.
Rose hanya mengendikka bahunya pelan, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
'Siapa Daniel sebenarnya? Mengapa ia dapat bertekuk lutut padanya?' benak Rose.
———
Leave a comment and vote