Seorang pemuda yang kini tengah mengasingkan dirinya tampak mengepalkan tangannya, dan membantingkan tubuhnya pada ranjang yang cukup empuk.
Dada nya di penuhi gemuruh rasa kesal, mengingat kata kata kakek nya yang sangat membuat nya sakit.
"Gila! Bagaimana mungkin kakek dengan mudah nya untuk meminta maaf pada wanita itu! Dimana kutaruh wajah ku jika aku disuruh meminta maaf pada nya?!" Marah pemuda itu cukup keras terdengar di villa nya itu.
Villa yang ia beli tanpa sepengetahuan kakeknya menggunakan uang perusahaan yang berhasil ia permainkan.
Licik?
Memang ia memang sangat licik. Ia tak pernah merasakan kesusahan dalam hidup nya. Selama ini ia selalu di penuhi rasa suka cita dan kemegahan.
Apa yang ia inginkan selalu ada untuk nya. Namun setelah perusahaan K'D Corporation itu menargetkannya, semuanya menjadi berantakan.
Memang salahnya juga, membuat perjanjian yang biasanya selalu di hadiri kakek nya jika membuat kerjama sama dengan perusahaan tersebut, tetapi kini dia sendiri yang mengambil alih dengan segala konsekuensi yang ia fikir ia dapat mencurangi sedikit perusahaan itu. Ia tak tahu Daniel sangat lah jeli jika bersangkutan dengan perusahaannya.
"Rose ... Dean ... apa hubungannya sebenarnya dengan perusahaan itu? Mengapa wanita pengacara itu tak mau membantuku, dan berakhir semakin kacau seperti ini," keluhnya sambil memijit keningnya dan mendudukkan dirinya.
Kehancuran yang sebelumnya tak pernah terfikirkan oleh nya, kini semakin terlihat, bahkan mungkin beberapa hari lagi ia benar benar akan terpuruk, apalagi kakek nya telah mewanti wanti nya untuk meminta maaf kepada Rose dengan batas hari sampai besok.
Besok?
Ya, sesuai dengan kesepakatan kakek Revan dan Daniel.
Revan mengusak rambut nya kasar, berusaha menimbang baik baik jalan apa yang akan ia ambil.
Revan mengambil handphone nya yang sudah terisi dengan nomer barunya dan menghubungi seseorang.
Ia tak pernah bisa untuk menyelesaikan perasaan kalut ini jika ia tak menuntaskan nya dengan hasrat nya yang terlampau besar.
"Ck, paling tidak malam ini aku dapat memadu kasih dengan jalang itu," ujar Revan berdecih sambil mengambil gelas beralkohol yang ada di nakas meja.
***
Jenni kini telah kembali ke rumahnya setelah menghabiskan coklat panas nya yang dibuatkan oleh Daniel untuknya.
Sesekali Jenni tampak tersenyum saat melangkahkan kaki nya menuju ruangan lukis nya, bahkan Rose yang sedari tadi memerhatikannya tampak mengerutkan keningnya pelan.
Ia merasa aneh dengan anak gadis nya yang seperti memiliki dunianya sendiri.
Oh ayolah Jenni hanya sedang mengambil kanvas baru nya yang berada di gudang, tetapi mengapa ia tampak tersenyum senyum sendiri seperti itu ?
Bukankah wajah Rose bingung akan sikap Jenni itu?
"Jen, Are you ok?"tanya Rose pada akhirnya pada Jenni.
Jenni hanya menganggukan kepalanya pelan, dan tersenyum manis pada sang ibu.
"I'm Ok," ujar Jenni dengan penuh keceriaannya dan berlalu melanjutkan langkah nya menuju kamar lukis nya.
Rose yang melihatnya hanya dapat menggelengkan kepalanya pelan, sambil mengendikkan bahunya.
"Pasti tak jauh jauh karena Daniel," ujar Rose pada akhirnya sambil sedikit terkekeh pelan baru menyadarinya bahwa kemungkinan besar alasan putrinya seperti itu tak lain karena Daniel semata.
.
.
Goretan goretan warna yang Jenni torehkan pada kanvas putih itu tampak sangat membuat orang yang melihatnya menjadi lebih bersemangat.
Berhubung suasana hati Jenni yang baik dan penuh rasa bahagia, mungkin hal itu yang menjadi alasan pada gambar nya kali ini menjadi lebih hidup dan bersemangat tidak seperti sebelum - sebelumnya.
Gambar kali ini memang sangat menggambarkan perasaannya yang sedang ia rasakan.
Daniel ...
Daniel Alexander, memang telah mengubah hidup gadis itu menjadi sedikit lebih berwarna dari pada sebelumnya.
Gadis yang semula di kepalanya hanya mengejar bahwa ia harus lulus dengan cepat semata karena tak ingin berlama lama dengan kuliahnya yang cukup membosankan...
Tidak ... bukan membosankan, melainkan hampa tanpa adanya warna yang menyelingi, kini perlahan mulai berubah ke arah yang jauh membuatnya lebih berwarna dan penuh motivasi.
Kali ini tujuannya mempercepat kuliah nya adalah dapat membuat galeri sendiri, agar dapat membanggakan kekasihnya, dan tentu saja agar dapat membuktikan pada Carl bahwa ia mampu bersanding dengan putranya itu.
Ia tak ingin kehilangan seseorang yang telah membuat hidup nya berwarna itu!
'Bang Daniel ... kuharap rasa semangat ku ini tak putus di tengah jalan! Aku akan membuktikannya pada ayahmu itu, hingga yakin padaku!' Monolog Jenni dalam hati.
***
"Eughh,"
"Oh ... Kyl.. kau sudah bangun?" ujar pria paruh baya yang baru saja mengambil minuman hangat untuk ia letakkan di meja.
Sebuah dengungan kecil dari belah bibir Kylie dapat terdengar oleh pria paruh baya di hadapannya.
"Jadi apa yang kau ingin katakan padaku? Apa pemuda itu menyakiti putriku?" tanya pria paruh baya itu pada Kylie.
Gadis itu menghela nafasnya panjang, dan memberitahukan pada sang ayah bahwa ia tadi telah ke kantor Daniel dan mendapatkan pengakuan bahwa Daniel di rawat di Rumah Sakit sehingga tak dapat menemuinya di kantor.
Pria paruh baya itu tampak mengerutkan keningnya, sambil merogoh handphonenya yang berada di saku nya.
Sebuah nomer ia tekan guna menghubungi seseorang menanyakan kebenarannya.
"Hallo Carl,"
"Oh Hallo Tuan Evan ada apa?"
"Apakah putramu memang sedang di rawat di Rumah Sakit hari ini?" tanya Evan dengan nada tenang dan terdengar bijak, sedangakan Kylie hanya coba menguping semata.
"Iya benar, putraku masuk rumah sakit kemarin malam, ia jatuh pingsan karena sikap nya yang terlalu workholic, seperti yang kau tahu juga,"
"Ah ... jadi benar, baiklah sampaikan salamku pada putramu,"
"Baik,"
Setelah pembicaraan selesai Evan memutuskan telefonnya.
"Jadi dia benar sakit?" Kaget Kylie yang sebelumnya menyangkal dan menganggap Jack berbohong.
Evan hanya dapat menganggukan kepalanya.
Seketika Kylie merutuki dirinya sendiri, dan merasa bersalah karena sebelumnya ia mengira Daniel telah membohongi dirinya.
"Bagaimana ini Dad?, aku kira ia berbohong," ujar Kylie dengan suara rendah.
Evan hanya menghela nafas pendek, sambil menepuk pundak putrinya seraya menenangkan.
"I'ts ok, kurasa Danie adalah pemuda yang dapat memaafkan atas tindakanmu," ujar Evan tenang, sedangkan Kylie tampak menggigiti bibirnya pelan.
Jujur ia merasa tertohok atas ungkapan kebenaran yang ada. Ia baru sadar bahwa dirinya terlampau menganggap negatif pada orang lain.
'Seharusnya aku tak cepat mengambil kesimpulan.'
——
Leave a comment and vote