Chereads / The Oddeants (Kutukan 300 Tahun) / Chapter 6 - Friendship at Toilet

Chapter 6 - Friendship at Toilet

"Focus on my voice

Gotta let me through

Gotta get to you

Turn down all the noise

Focus on me

I'll focus on you"

(Jacob Whitesides - Focus)

.

.

.

.

.

Beberapa detik sebelum waktu habis, aku mengumpulkan lembar ujianku. Cloey menghampiriku setelah itu.

"Letta, terimakasih untuk kemarin." Ujar Cloey seraya membenarkan kacamatanya yang sedikit turun.

"Aku hanya melakukan hal yang menurutku benar. Mereka tidak seharusnya melakukan itu padamu." Balasku tersenyum.

Cloey berterimakasih sekali lagi sebelum pergi dari hadapanku. Dari kejauhan aku melihat Anna berjalan menghampiriku, ekspresi wajahnya seolah menggambarkan jika ia mempunyai berita uptodate. Namun lagi-lagi aku mendapati teman-teman sekelasku menatap ke arahku, sedikit curi pandang.

"Kau lihat sedari tadi mereka curi pandang ke arahku." Bisikku seraya mengamit lengan Anna untuk segera keluar kelas. Sean mengekor di belakang.

"Itu yang coba kujelaskan padamu Letta. Kejadian di cafeteria kemarin. Berita itu sudah sampai ke telinga semua orang. Kau jadi perbincangan hangat Letta, satu-satunya yang berani melawan The Boys." Ujar Anna exited.

"Oh Damn." Aku memijat dahiku. Tatapanku beralih pada Sean, dia menggedikkan bahunya.

Aku tidak biasa jadi pusat perhatian. Sejujurnya tatapan semua orang padaku membuatku risih. Setelah sekian lama aku ada disekitar Sean, sosok yang terkenal itu, lantas itu tak membuat namaku juga dikenal. Orang mulai mengenalku justru setelah tindakanku yang menghebohkan. Entah aku harus malu atau bangga dengan diriku.

"Kau tidak perlu khawatir, ada aku dan Sean disini untukmu." Anna menepuk-nepuk bahuku pelan, aku tersenyum, itu sangat membantu. Aku melirik Sean dia mengangguk seraya tersenyum.

"Aku mau latihan basket, kalian mau ikut?" Tanya Sean.

"Ikut!" jawabku dan Anna serempak, kami berdua saling tatap lalu terkekeh geli.

Aku dan Anna bergegas menuju lapangan basket, sementara Sean pergi ke ruang ganti bersama beberapa teman tim-nya. Aku tidak menyangka kursi penonton ramai terisi, namun kebanyakan oleh gadis-gadis penggemar Sean. Gadis-gadis cheerleader bersorak sorak manja menyemangati para pemain. Sorakan semakin ramai saat tim basket Sean keluar. Sean berjalan diantara teman-temannya, namun dialah yang paling bersinar, paling berbeda, paling mencolok.

Gadis-gadis disekitarku mulai meneriakkan nama Sean, lelaki itu berdiri dengan posisi siap, tubuh atletisnya dan lekuk ototnya itu menonjol dari balik baju basketnya, membuatnya terlihat.. entahlah, hot.

Untuk latihan, mereka terbagi menjadi 2 tim, tim A dan tim B.

Bola pertama ada di tangan Sean, sesaat sebelum peluit tanda mulai ditiup, Sean menoleh ke arahku dan Anna, tapi matanya menatapku. Ia menyunggingkan senyum, membuat gadis-gadis seketika berteriak histeris. Peluit mulai ditiup, Sean mulai men-dribble bola, tubuhnya meliuk menembus benteng pertahanan lawan, tak butuh waktu lama, ia melempar bola langsung masuk ke ring, three point shoot.

Seketika lapangan dibanjiri oleh sorakan riuh dan tepuk tangan.

Bola selanjutnya ada di tangan James, teman satu tim Sean. Dia adalah kapten tim. Permainan berlangsung dengan seru. Aku terkejut, tiba-tiba seseorang tidak sengaja menumpahkan minumnya diatas rokku.

"Oops."

Hanya itu yang terucap, aku mendongak dan menatap seorang gadis gendut yang baru saja menumpahkan minumnya diatas rokku berlalu begitu saja, aku tidak yakin dia tidak sengaja menumpahkannya. Sial.

"Kau tidak apa?" Anna meraih tissue dari dalam ranselnya untuk diberikan padaku.

"Aku tidak apa-apa, aku ke toilet saja untuk membersihkan ini."

"Mau kutemani?" Anna menawarkan diri.

"Tidak perlu, aku bisa sendiri." Aku tersenyum ke arahnya sebelum berlalu, berjalan melewati penonton yang sangat ramai hanya untuk menuju sebuah kamar mandi di pojok luar lapangan.

Setibanya, aku segera memercikkan air ke rokku dan sedikit menggosoknya. Kulakukan berulang-ulang hingga warna coklat dari minuman itu mulai memudar, tapi sekarang rokku basah. Aku tidak mungkin keluar dengan keadaan seperti ini, orang orang akan mengira aku terkencing.

"Need help?" ujar sebuah suara.

Aku menoleh terkejut, lelaki yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam itu berdiri seraya menyandarkan punggungnya di dinding, sebuah rokok terjepit diantara bibirnya, ia menghisap batang nikotin itu lalu mendongak, dan asap rokok mengepul keluar dari mulutnya. Apa yang dilakukan anggota baru geng The Boys itu disini? Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, memastikan jika ia tidak datang bersama anggota lainnya. Diam-diam aku menghela nafas lega mengetahui dia datang sendirian, jadi aku tidak akan kewalahan menghadapinya.

"Kau tidak seharusnya disini." Aku berbalik memunggunginya.

"Kenapa?" tanya Brad, langkah kakinya terdengar mendekat.

"Ini toilet wanita." Ucapku ketus.

"Lalu kenapa?"

"Kau tidak seharusnya bertanya kenapa." Desisku tajam padanya seraya berbalik.

Aku sedikit terperanjat, Brad sudah ada di hadapanku. Tubuh kami hanya berjarak beberapa centi. Aku menahan nafasku lalu mundur beberapa langkah darinya, jantungku berdegup kencang. Aku tidak boleh takut padanya atau dia akan menindasku.

Kudongakkan wajahku, dan menatap mata biru safir miliknya yang sangat indah namun tajam, tampak mematikan jika aku menatapnya lebih lama. Kedua matanya mengunciku, ia menyeringai. Sial. Aku membuang tatapanku darinya, aku tidak mau menilai seseorang dari fisiknya, tapi Ya Tuhan dari jarak se-dekat ini wajahnya bisa membuat wanita manapun jatuh hati. Ini tidak adil, kenapa badboy seperti dia punya wajah semanis itu.

Aku tidak bisa jadi salah satu gadis yang jatuh padanya, apalagi hanya karena wajahnya yang manis dan tampan itu. Aku tidak mau. Lebih baik aku cepat pergi dari sini, aku juga tidak punya alasan untuk berlama-lama disini dengannya.

Kakiku melangkah pergi namun Brad menahan tanganku, aku menatap tangannya yang terbalut sarung tangan hitam. Kenapa ia mengenakan sarung tangan hitam?

"Lepas." Kutatap ia tajam, sekadar memberi gertakan bahwa aku takkan mudah ia kalahkan. Sebenarnya aku sedikit takut.

"Lepaskan atau aku akan berteriak." ancamku.

Brad tertawa sinis. "Uhhh, sepertinya aku takut, haha." Ucapnya dengan nada sangat amat mengejek lalu melepaskan tanganku.

"Aku hanya ingin berteman denganmu apa salahnya." Ujarnya dengan sebelah alisnya yang terangkat dan tatapan yang dingin.

Apakah dia benar ingin berteman denganku? Karena wajahnya tak menunjukkan ekspresi ingin berteman. Dia terkesan tidak peduli, dingin, sangat badboy. Mahasiswa baru yang tampan itu tidak mungkin mau berteman begitu saja denganku, gadis biasa saja. Ini pasti ada hubungannya dengan kejadian di cafeteria kemarin, bisa saja Brad datang menemuiku karena di utus The Boys, untuk balas dendam padaku. Aku menelan ludahku, namun wajahku tetap memasang mode ; sok berani, di depan Brad.

"Kau bisa mengajak orang lain di kampus ini." aku melengos, namun lagi-lagi Brad menahan tanganku. Sial, kenapa toilet ini sepi sekali. Kenapa hanya ada aku dan Brad saja disini.

"Kau tahu Letta? kau sangat berbeda dari gadis lain. Gadis lain akan over-act bila disekitarku, tapi kau tidak, kau tetap menjadi biasa dan sewajarnya. Dalam sekali tatap, gadis-gadis lain akan jatuh merangkak di kakiku, tapi kau? Kau bahkan terlihat seolah menghindariku, kau membuatku penasaran."

Wajahku memanas, jantungku berdegup kencang ; dia tahu namaku.

"Satu lagi, kau juga sangat berani melakukan hal benar seperti menyelamatkan seorang teman yang di-bully." Jelas Brad, ia berhasil membuatku menatap tajam ke arahnya, dia menatapku bersama seringainya, matanya berkilat sesekali.

"Kau berniat balas dendam padaku? Atas kelakuanku menantangmu dan boybandmu itu?" tatapku sinis.

"Aku tidak berniat balas dendam." Ucapnya dengan raut dingin dan tajam. Aku bergeming ditempatku, tidak percaya dengan ucapannya.

"Apa perlu kubuktikan padamu jika aku benar-benar ingin berteman denganmu?" Ia mengangkat kedua alisnya, aku berdecak kesal seraya memutar kedua bolamataku.

Brad mendekat, hingga aku bisa mencium aroma tubuhnya yang maskulin dan aroma bubblegum yang begitu familiar di hidungku. Aku tersentak lalu mundur beberapa langkah menjauh darinya. Dia terus mendekat dengan tatapan matanya yang mengunciku. Aku menelan ludahku, ia terus mendekat dan aku terus mundur hingga kakiku mencapai batas dinding. Aku tak punya tempat tempat lagi untuk mundur. Kedua tangannya mengunciku pada dinding. Tubuhnya merunduk hingga wajahnya kini sejajar dengan wajahku, berhadapan sangat dekat. Aroma rokok segera menyeruak indra penciumanku.

Ia menghisap batang nikotin yang sedari tadi dipegangnya, menghisapnya dengan penuh penghayatan, lalu menghembuskan asapnya perlahan di depanku. Aku terbatuk-batuk. Sial. Aku sedikit tersentak, kudorong tubuhnya menjauh. Brad menyeringai puas, ia meraih tanganku dan menjabatnya secara paksa. Layaknya orang berjabat tangan pada umumnya.

"Aku Bradley Heizercent. Sekarang kita berteman."

Aku menarik tanganku agar terlepas dari genggaman tangannya, berteman katanya? dia baru saja melakukan hal tidak sopan dengan menghembuskan asap rokok itu di depan wajahku. Itukah caranya mengajak berteman? Aku menatap wajahnya yang penuh seringai puas itu, aku benci seringai itu.

"Menjauhlah dariku." Aku menancapkan tatapan tajamku padanya sebelum melengos pergi keluar kamar mandi.

"Bagaimanapun kau berusaha menjauhkan diri dariku atau menghindariku, aku akan selalu menemukan cara untuk bertemu denganmu lagi." Teriaknya, aku mendengarnya dengan jelas. Dia fikir dia siapa?! Menyebalkan.

***