Song Chapter : Avril Lavigne - I Love You
.
.
.
.
.
Chapter 3
"Aku benar-benar ingin pergi darimu
Tapi sebagian dari diriku menolaknya.
Dan sialnya, hatiku mulai bekerja untukmu."
.
.
.
.
.
Ada hal-hal yang tidak bisa kulewatkan begitu saja, dan sudah menjadi rutinitasku, salah satu yang membuatku kecanduan adalah menikmati senja dari balkon kamarku.
Sore ini senja menampakkan semburat yang sangat indah, burung-burung berkicau, kembali pulang setelah seharian mencari makan.
Aku menegak susu box di genggamanku, itu sudah box ke 4 dari susu yang kuminum dari tadi seraya menunggu Sean menjemputku.
Aku lapar, tapi aku bosan dengan fastfood, jadi aku hanya meminum susu-susu ini untuk menghilangkan laparku.
Hari ini Anna tidak bisa menemaniku ke perpustakaan, tapi aku sudah menceritakan padanya melalui telepon kejadian tadi siang ketika Brad mengajakku pergi ke perpustakaan. Seperti dugaanku, responnya sangat terkejut. Dia sempat tak percaya, aku saja hampir tidak percaya dengan apa yang kualami hari ini. Sempat menghabiskan waktuku di perpustakaan bersama Bradley. Lelaki paling menyebalkan yang pernah aku kenal.
Terdengar bunyi klakson dari bawah, aku berlari menuju tepi balkon kamarku. Sean sudah berdiri dibawah sana, melambaikan tangannya ke arahku. Aku bergegas turun ke bawah menghampirinya.
"Ayo, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat." Sean menarik tanganku.
"Kita mau kemana?" tanyaku sementara Sean membukakan pintu mobilnya untukku.
"Ikut saja." Sean tersenyum misterius.
"Lebih baik kau pakai ini." Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, menutup mataku dengan sehelai kain.
Sekarang ia membuatku semakin penasaran. Mobil melaju entah kemana, aku cukup menikmati perjalanan ini ditemani alunan musik yang begitu enak dari mobil Sean.
You're so beautiful,
but that's not why I love you
I am not sure you know
that the reason I love you is you..
being you.. just you..
That the reason I love you is
all that we've been through
That's why I love you.
Mobil mulai sedikit berguncang sepertinya kami mulai memasuki kawasan bebatuan, suara keramaian kota telah berganti menjadi sunyi.
"Jangan katakan jika kau mengajakku ke hutan." Tanyaku was-was.
Sean tertawa, oh ini pertama kalinya aku mendengar ketawanya yang se-renyah itu.
"Aku membawamu ke markas The Boys." Ujar Sean.
"Sean!" Sewotku. Lagi-lagi aku mendengar suara tawanya yang renyah itu. Aku suka mendengar suara tawanya.
Mobil berhenti, Sean keluar dan membukakan pintu mobilku. Ia menuntunku berjalan melalui jalan yang banyak bebatuannya. Aku hampir terpeleset lalu mempererat pegangan tanganku pada lengan Sean, aku mendengarnya terkekeh geli karena tingkahku. Langkahku berhenti, aku merasakan terpaan angin lebih kencang disini.
Sean membuka penutup mataku, aku mengerjap beberapa kali dan melihat hamparan langit berwarna jingga dari atas tebing. Jingga memenuhi langit hingga batas cakrawala, dibawahnya ada kota Orlando beserta gedung-gedungnya yang menjulang tinggi.
Aku terperangah. Oh, ini sangat.. indah. Tak bisa kukatakan bagaimana indahnya kota Orlando dari atas sini. Aku berdiri terpaku di tempatku, sementara angin terus menerpa helai-helai rambutku.
"Kau suka?" tanyanya. Aku tak sanggup berkata, hanya mengangguk.
Lihat bagaimana semburat itu menggores langit sore ini. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan se-excited ini. Aku duduk di atas bebatuan, memandangi senja yang agung, kakiku berayun-ayun di sisi tebing. Sean turut duduk disebelahku. Pertama kalinya aku menghabiskan senja bersama Sean, ditemani lagu yang terus mengalun dari mobilnya, membuat suasana sore ini menjadi semakin melancholic.
Warna jingga di langit semakin pekat, matahari semakin turun, tenggelam kembali ke peraduannya. Hari berganti malam, angin mulai datang beramai ramai dari berbagai arah. Dingin menusuk tubuhku, tapi aku tidak peduli. Lampu-lampu kota menyala tampak sangat indah dari atas sini, bintang satu-dua mulai muncul.
Tak terasa sudah dua jam lamanya aku disini, masih memandangi langit. Dari posisi duduk hingga terlentang di atas rumput, lalu kembali ke posisi duduk lagi. Aku menoleh ke arah Sean, ia balas menatapku lalu tersenyum teduh. Aku tidak bisa menahan diriku saat menatap sosok itu, aku menghamburkan diri ke arahnya, memeluknya erat, merasakan tangannya yang melingkar di punggungku.
"Terimakasih." Bisikku. Terimakasih untuk selalu meletakkan senyum di wajahku.
"That's what friend supposed to do." Balas Sean.
Aku melepaskan pelukanku lalu menatap wajah manis Sean, mata hazelnya yang diterpa sinar bulan. Sepasang mata itu mengingatkanku pada mimpi anehku yang selama ini menghantuiku. Apa arti mimpi itu? Kenapa mata Sean terlihat sama persis seperti sosok dalam mimpiku? Atau mungkin dialah sosok itu?
"Haruskah kita memberi nama bukit ini?" aku menatap Sean, garis wajahnya terlihat tegas dari samping, terutama rahangnya yang tajam.
"Uhmm.. mungkin." Sean tampak menimbang-nimbang. "Apa yang paling kau suka dari tempat ini?"
"Pemandangannya, semuanya, anginnya, suasananya, langitnya, apalagi kalau sore--"
"Nah bagaimana kalau namanya Dusk Hill, artinya Bukit Senja." Cetus Sean.
"Kedengarannya bagus." Imbuhku.
Kami kembali duduk tenang sembari memandangi hamparan lampu-lampu kota Orlando yang terlihat tak berujung.
"Mungkin makan malam berdua bersama kekasih diatas Dusk Hill akan sangat romantis." Ucapku santai seraya memainkan kedua kakiku disisi tebing.
Sean menoleh kearahku, rautnya tampak terkejut saat mendengar ucapanku. Kenapa memangnya? Ada yang salah?
"Aku lapar." Ujar Sean
"Aku juga." balasku
"Ada restaurant baru di ujung Culver Road." Sean tersenyum lebar. Aku balas nyengir antusias.
Kami berlari memasuki mobil dan bergegas menuju restaurant baru itu, tempat dimana rasa laparku akan terobati.
***