Chereads / The Oddeants (Kutukan 300 Tahun) / Chapter 12 - Pencuri Ponsel

Chapter 12 - Pencuri Ponsel

Song Chapter : One Direction - Stole My Heart

.

.

.

.

.

Brad berjalan menaiki tangga lantai dua, sementara aku mengekor di belakangnya, dari atas sini aku bisa melihat keseluruhan pesta. Termasuk ruang tengah rumah Alex yang sangat besar, dari kejauhan aku sudah melihat Alex dan para gadisnya. Ada sebuah meja panjang disana.

Dua orang pria berdiri berhadapan, ada sekitar 30 gelas minuman beralkohol berjejer diatas meja panjang itu. Aku mengamati mereka dengan seksama, penasaran apa yang akan mereka lakukan.

"Siapa dua orang itu?" aku menunjuk dua orang yang saling berhadapan di meja panjang.

"Disisi kanan ada Clark anggota The Boys, disisi lainnya seorang laki-laki penantang. The Boys sebagai tuan rumah disini, dan siapapun bisa menantang dan mengajukan taruhan sebesar apapun yang mereka mau, berapa banyakpun bir, tergantung perjanjian tuan rumah dan pihak penantang." Jelas Brad, aku mengangguk mengerti.

"Lalu bagaimana cara mainnya?"

"Perhatikan." Brad menunjuk dengan dagu.

Aku melihat kearah kerumunan itu. Seseorang memberi aba-aba, permainan dimulai, kedua lelaki itu meminum gelas demi gelas minuman itu, setiap selesai menghabiskan satu gelas, gelas itu dipecahkan diatas kepala lawannya. Lalu mereka meraih gelas lainnya, menegaknya hingga habis lalu dipecahkan ke kepala lawannya, lagi dan lagi seterusnya.

Aku bergidik ngeri melihat pemandangan itu. Kufikir mereka punya permainan yang sedikit lebih elite ternyata permainan mereka sangat menjijikkan. Darah mulai mengucur dari kepala si penantang itu.

Aku berbalik memunggungi pemandangan itu.

"Dasar gila, mereka bisa mati." Gumamku.

Brad menggeser tubuhnya ke hadapanku, ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Sudah kubilang kau takkan menyukainya." Ia menyeringai, merasa menang karena ucapannya terbukti jelas.

Aku tidak menyukai permainan gila itu, membuatku ingin muntah saja.

"Apa yang mereka dapatkan dari permainan itu selain uang dan wajah yang berdarah?"

Brad memajukan bibir bawahnya "Hadiahnya gadis di pesta ini."

"Apa?" pekikku. Aku menggeleng tak percaya.

"Tidak semua gadis disini mau."

"Tidak pernah ada paksaan dalam permainan ini, sejauh ini tak pernah ada gadis yang menolak. Mereka bahkan mengajukan diri."

Apa? Generasi macam apa yang ada di pesta ini, aku dan Anna tak seharusnya datang ke sini. Disini memang bukan tempat kami. Dari awal perasaanku memang tidak enak untuk menghadiri pesta ini.

"Ayo menari saja denganku." ajak Brad, aku belum sempat menolaknya tapi Brad sudah menarik tanganku, memaksaku menuju kerumunan orang-orang yang sedang menari.

Under the light tonight, turned around

And you stole my heart, just one look

When I saw your face I fell in love.

Take a minute girl, steal my heart tonight

Just one look, yeah..

I am waiting for girl like you.

Lagu upbeat itu mengalun keras dari speaker, seiring dengan Brad yang menarik tanganku dan memaksaku untuk berputar di balik tangannya. Begitu seterusnya hingga kepalaku pusing dan aku merasa mual.

"Aku tidak ingin menari." Ujarku tapi tubuhku tak mau berhenti.

"Ayolah Letta, apa aku harus ikut permainan gila tadi agar aku bisa mendapatkanmu malam ini." Balas Brad, tangannya masih menggerakan tanganku lainnya, lalu membawa tubuhku berputar-putar sangat lama di bawah kelip lampu.

"Brad stop." ucapku.

Tepat ketika dia berhenti, tubuhku yang tidak seimbang segera ambruk dan dengan sigap Brad menahannya. Lengannya yang kuat melingkar di pinggangku dan menahannya agar aku tak terjatuh.

Kepalaku pusing, aku menatap wajahnya yang indah dalam jarak sedekat ini. Inilah penyebab aku selalu cuek dan mencoba menghindari berurusan dengannya, karena aku tidak mau se-dekat ini, aku tidak mau jatuh cinta pada parasnya yang menipu itu.

"Jatuh cintalah padaku.." bisiknya di telingaku.

Apa yang dia lakukan? Buru-buru tanganku meraih lengannya itu dan menyingkirkannya dari pinggangku. Aku beranjak meninggalkan Brad setelah melihatnya menyeringai untuk kesekian kalinya.

***

Aku membuka mataku dan merasakan keadaan yang begitu familiar. Aku bangun di atas kasur di kamarku sendiri, jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi.

Luke sudah pulang atau mungkin dia sudah berangkat lagi. Ini akhir pekan, tapi Luke tak pernah libur.

Setiap akhir pekan, jam 3 sore aku selalu menghabiskan waktuku bersama Anna di Vespr Craft Coffee and Allures, itu sudah menjadi jadwal tetap dan rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan.

Kami sering menghabiskan waktu berjam-jam disana hanya menikmati bercangkir-cangkir kopi dan suasana perkotaan.

Aku menghembuskan nafas mengingat pesta semalam, permainan menjijikkan The Boys, Bradley, dan Anna. Oh! Anna! Aku ingat semalam aku pulang begitu saja setelah merasa kesal oleh kelakuan Brad dan aku tanpa sadar meninggalkan Anna. Aku meraba kasurku mencari ponselku, untuk segera menghubunginya, kuharap ia tidak marah padaku. Dimana ponselku? Aku menyibakkan selimutku, mengintip kolong kasur, dibawah bantal, disaku jeans, diatas meja belajar.

Tidak ada.

Semalam.. aku mencoba mengingat kejadian semalam.

Aku datang ke pesta di rumah Alex dan.. aku menari dengan Brad.

'Jatuh cintalah padaku'

Aku menggelengkan kepalaku, kenapa aku mengingatnya. Brad benar-benar mengacaukan fikiranku. Aku menuruni tangga, Luke sudah berangkat.

Dimana ponselku?

Aku mencari di dalam mobilku, tidak ada juga, menyisir rambutku ke belakang, lalu berkacak pinggang seraya mencoba mengingat-ingat.

Damn it! Jangan-jangan tertinggal di rumah Alex, aku memijit keningku, ceroboh sekali. Telepon rumah berdering. Aku bergegas mengangkatnya, ketika kulirik di layar yang tertera nomor ponselku. Siapa yang memakai ponselku.

"Halo." Ucapku.

"Bonjour mi amor." suara berat itu, Brad.

Seketika itu juga aku merasa seperti dihantam ombak. Bagaimana bisa ponselku ada bersamanya?!

"Beraninya kau." desisku.

"Hey semalam kau pergi begitu saja dan tanpa sadar menjatuhkan ponselmu." aku bisa membayangkan seringainya saat ia mengucapkan kalimat itu. Baiklah ini mungkin saja memang kesalahanku.

"Cepat kembalikan ponselku." Ucapku dengan penuh penekanan.

"Jangan bawa mobil, naiklah taxi, aku tunggu kau di perpustakaan kota." Ujarnya, aku bisa tahu dia pasti terus menyeringai saat mengucapkan itu.

Dasar menyebalkan! Aku segera menutup sambungan telepon.

***