Chapter 11 - Party

"Cause your friend,

They look good, but you look better.

Don't you know? All night

I've been waiting for a girl like you to come around. "

(One Direction - Stole My Heart)

.

.

.

.

.

Aku meraih ponselku, mataku menyipit sesaat untuk memandang layar ponselku yang menyilaukan, satu panggilan masuk dari Anna. Aku menerimanya.

"Alex mengadakan pesta di rumahnya dan dia mengundang satu angkatan kita." cerocos Anna dengan begitu semangat.

Aku melirik jam dindingku menunjukkan pukul 23.46. Menghela nafas.

"Tengah malam begini?" tanyaku datar.

"Ayo ikut. Semuanya datang Letta. Disana juga ada mesin cuci mata kita Brad." ujar Anna terdengar begitu tak sabar.

Aku nyaris tergelak geli mendengar kalimat 'mesin cuci mata' yang dilontarkan Anna.

Pesta di rumah Alex Si Ketua Pembuli, pentolan dari geng bernama The Boys, datang kesana terdengar seperti rencana penyerahan diri. Mereka pasti masih mengingat kejadian di cafeteria kala itu. Bagaimana jika mereka masih dendam padaku. Sial, itu mengerikan jika mereka mengeroyokku. Tapi aku tidak takut pada mereka.

"Besok kita ada kuliah pagi Anna." Elakku seraya mengusap mata.

"Hey, tomorrow is weekend." aku menelan ludahku mendengar Anna mengatakan itu.

Alasanku terdengar begitu konyol. Aku tidak bisa mengelak lagi, kalimatnya membantingku telak.

"Sebenarnya.. aku tak ingin pergi ke pesta itu. Yeah you know? Aku malas bertemu The Boys." Ucapku menggaruk tengkuk yang tak gatal sema sekali.

"Oh come on accompany me. Pleaseee. Ini pesta besar Letta, akan ada banyak sekali orang disini, mereka tidak akan mengenalimu." ujar Anna di seberang.

Aku mengigit bibir bawahku, menimbang-nimbang sesaat. Menarik nafas berat.

"Baiklah, aku akan menjemputmu." jawabku malas.

"Baiklah. Aku tunggu." Ucap Anna riang. Panggilan berakhir.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu mengingat kejadian tadi sore, menikmati senja paling indah yang pernah kulihat. Sebelum aku tidur dalam keadaan kekenyangan setelah mencoba empat menu di sebuah restaurant baru bersama Sean. Bibirku tersenyum simpul mengingatnya. Aku duduk di tepi ranjang selama beberapa menit, mengumpulkan kesadaranku lalu bergegas mengganti pakaian.

***

Dentuman musik yang begitu keras terdengar hingga jarak beberapa blok dari rumah Alex. Dari jauh sudah terlihat gemerlap lampu warna warni yang menghiasi rumahnya. Aku memarkirkan Peugeotku jauh dari rumah Alex, khawatir jika seseorang usil dan mencoret-coretnya. Belum apa-apa aku sudah berfikiran negative kepada Alex dan geng buli-nya itu.

Aku memasuki rumah Alex yang sangat luas. Anna menarik tanganku menuju sebuah bar mini yang ada di salah satu sisi rumah Alex. Ia memesan segelas sampanye dan segera menegaknya hingga habis.

"Kau tidak memesan Letta?" Anna setengah berteriak karena suara musik disini begitu keras.

Aku menggeleng kuat. Jelas aku tidak mau minum apapun. Semua minuman disini memabukkan, aku tidak ingin mabuk.

Anna mengedarkan pandangannya kesekitar, celingukan dengan wajah polos.

"Kau mencari apa?" tanyaku.

"Brad of course." jawab Anna.

"Kau menyukainya?" Tanyaku.

"Tidak, walaupun tampan tapi dia bukan tipeku. Aku rasa dia menyukaimu." Jawab Anna.

Aku menatapnya lekat-lekat, memastikan dia belum mabuk, tapi tampaknya dia memang masih sepenuhnya sadar.

"Dia hanya menyatakan berteman denganku bukan berarti dia menyukaiku." Aku menggedikkan bahu.

"Heyyy! whatsup Letta! kau datang ya." pekik seorang laki laki dengan lip-rings dan anting di kedua telinganya tiba-tiba disebelahku.

Aku terlonjak kaget lalu mundur beberapa langkah dari tempatku. Alex. Dia mabuk. Aku baru sadar Alex menyebut namaku, dia tahu namaku, dia mengenaliku. Kejadian di cafeteria itu benar-benar membuatku dikenal orang, termasuk pemimpin geng The Boys ini.

"Dan temanmu... uhm.." laki-laki itu tampak berfikir sambil menunjuk ke arah Anna.

"Temanku Anna." Sambarku.

"Oh iya Anna. Enjoy my party huh?!" teriak Alex seraya menggigit bibir bawahnya.

Ia terus tersenyum seraya memandangi Anna intens, bola matanya menelusuri sosok Anna dari atas hingga bawah. Wajah Anna udah memerah. Seseorang muncul dari balik punggung Alex, itu Brad.

"Hey Alex. Semua orang di sana sudah menunggu permainanmu." Brad menepuk pundak laki-laki itu.

Aku mengerutkan alisku, permainan?

"Bye Letta.." Ujar Alex seraya menyentuh daguku membuatku sontak mundur beberapa langkah.

Anna membeku ditempatnya. Dia tampak sangat terkejut mendapati sosok yang dicari-carinya kini telah ada di hadapannya. Brad menatapku seraya memainkan rokoknya yang masih ia jepit diantara bibirnya. Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada, menatapnya dengan tajam. Aku baru sadar dia mengenakan ripped jeans selutut dan hoodie berwarna putih, juga rambutnya panjangnya yang terkulai beberapa helai di depan wajahnya. Dia menghembuskan asap rokok seraya menyeringai.

Ya Tuhan, dia tampak hot. Apa yang harus kulakukan, semoga aku bisa menahan diriku untuk tidak jatuh pada pesonanya itu.

"Letta aku mau keliling sebentar." ucap Anna tiba tiba membuatku menoleh terkejut ke arahnya. Anna beranjak pergi.

"Bukannya tadi kau ingin sekali bertemu dengan Brad?" bisikku pada Anna.

Gadis itu menggeleng. "Tidak jadi aku mau kesana dulu." ia menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang bermain kartu, lalu melangkah pergi.

"Aku ikut denganmu." aku baru saja akan melangkahkan kakiku namun Brad menarik tanganku, menahannya.

Aku menatap tangannya yang masih mengenakan sarung tangan. Kenapa dia terus mengenakan sarung tangan itu?

"Aku datang kemari untuk menemaninya." Geramku di depan wajahnya.

"Dia tidak mengajakmu tadi. Dia memang ingin kau disini agar bersamaku." Brad menyeringai. Aku benci seringai itu.

Anna beranjak pergi, aku menatap punggungnya hingga menghilang di balik keramaian. Aku berbalik menatap Brad sinis seraya mengangkat daguku, dia tersenyum kecil.

"Kau yakin tidak mau memberi nomor teleponmu padaku? aku bisa menelponmu kalau kau kesepian." Ia mengangkat kedua alisnya dengan ekpresi menyebalkan itu.

"Tidak akan." Tegasku.

Aku berdecak kesal seraya memutar kedua bola mataku, Brad melempar putung rokoknya ke lantai lalu menginjaknya. Ia membuka permen karet lalu segera melahapnya, diantara sekian banyak permen karet di seluruh dunia, kenapa dia harus permen karet itu. Ia menyodorkan padaku tapi aku menggeleng menolak. Itu permen karet aroma bubblegum, kesukaanku sejak aku masih kecil, dulu mama sering membelikan itu untukku.

"Aku mau tahu permainan apa yang kau bicarakan pada Alex?" tanyaku.

"Itu permainan yang The Boys selalu mainkan setiap party." Jelas Brad, dia menunduk menatapku.

Apa aku terlihat sependek itu. Ia seperti menatap semut dibawah kakinya.

"Bawa aku kesana." Pintaku. Sejujurnya aku memang penasaran dengan tipe permainan yang orang-orang sejenis The Boys mainkan.

"Kau tidak akan suka dengan permainan itu." Brad beralih memainkan permen karet di dalam mulutnya. Argh. Kenapa dia suka sekali makan permen karet kesukaanku itu.

"Aku tidak akan memainkannya, hanya melihat saja." Ujarku. Aku menatapnya. Ia balas menatapku, dalam.

"Ikuti aku."

***