Chapter 8 - A Touch

Aku tersenyum kaku kepada Mrs Desy sebelum akhirnya berjalan cepat menuju rak buku yang berada di pojok paling belakang perpustakaan.

Aku mendengar langkah kaki Brad berada tepat di belakangku. Ya ampun, dia seperti ekorku.

"Bisakah kau berhenti mengikutiku." Desisku tajam ketika tiba di rak paling pojok perpustakaan. Sengaja agar jika aku mengamuk pada Brad, takkan ada yang mendengarnya.

"Aku tidak mengikutimu, aku memang ingin meminjam buku di rak ini." elak Brad, ia menatapku datar.

Pandai sekali dia beralasan, jelas-jelas sedari tadi ia mengikutiku.

"Kau ini." geramku.

Aku melengos pergi menuju salah satu sisi rak, kudapati duplikat buku seni karya seniman terkenal dunia Picasso berderet disana. Tanganku terulur meraih salah satu bukunya yang berjudul Album, aku tak berhasil mencapainya meskipun aku sudah berjinjit. Aku yang pendek atau rak buku ini yang terlalu tinggi.

Aku menjerit terkejut saat tiba-tiba tubuhku terangkat, Brad mengangkat tubuhku, hanya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang sebuah buku.

"Turunkan aku, orang akan melihat." Bisikku kesal.

"Memangnya kenapa jika orang melihat kita? aku sedang membantumu." Jawabnya dingin, tanpa ekspresi, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang dibacanya.

Aku merasa ingin menjambak rambutnya.

"Turunkan aku. Aku merasa tak nyaman dengan posisi ini." Bisikku.

"Ohh." ujar Brad tidak segera menurunkanku namun membenarkan posisiku dan itu membuat rok denimku terangkat lebih tinggi, aku terkejut dan hampir terjatuh, tanganku memegang lehernya sebagai penahan keseimbangan.

"Arghh!" erang Brad, ia menyingkirkan tanganku dari lehernya lalu buru-buru menurunkan tubuhku.

"Sssst! Jika kalian ingin cuddle, lakukanlah di tempat lain. Jangan disini. Kalian mengganggu kenyamanan pengunjung perpustakaan dengan keributan kalian." Seorang librarian berusia 30-an keluar dari balik rak buku, ia menatapku tajam, lalu tatapannya beralih ke Brad. Seketika tatapan tajam itu hilang, dan berubah menjadi tatapan yang melunak. Hey, itu tidak adil, aku tahu Brad sangat tampan.. dan manis, tapi tidak sampai seperti itu, hingga meluluhkan amarah librarian itu. Itu pilih kasih.

"Sorry.." ujarku tersenyum kaku kepada librarian itu sebelum ia berlalu meninggalkanku dan Brad.

Dan apa yang diucapkannya tadi? Cuddle? Dengan Brad? No way. Never.

Mataku menangkap orang-orang yang menonton kami, dari balik rak buku bahkan dari celah buku.

"Apa yang kalian lihat?" tanyaku ketus seketika membuat mereka berhamburan kembali ke tempat semula.

"Kau tidak apa-apa?" Tanyaku beralih pada Brad.

"Hanya semut menggigit leherku." Ia mengusap bagian leher yang tadi sempat kusentuh.

"Biar kulihat." Ujarku. Aku mendekat namun Brad menghindariku.

"Ini hanya semut kecil." Brad bersikeras, ia menutupi lehernya itu dengan tangannya.

"Kau khawatir padaku ya?" seringainya.

Kedua mataku melotot ke arahnya. Aku melengos, kembali ke rak buku, dimana buku picasso berjejer. Aku masih bingung bagaimana meraih duplikat buku Picasso itu. Mataku menyapu sekitar mencari kursi atau tangga atau apapun yang bisa membantuku. Kemana benda - benda itu? Sepertinya tidak ada cara lain selain meminta tolong pada Brad. Aku menelan ludahku.

"Ambilkan buku itu. Cepat." Ucapku.

"Yang mana?" tanyanya.

"Yang itu." Aku menunjuk buku bersampul merah itu.

"Minta tolonglah dengan cara yang baik. Tunjukkan senyummu." Brad menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Aku berdecak kesal seraya memutar kedua bolamataku. Kenapa dia sangat menyebalkan.

"Tolong ambilkan buku itu." Aku sedikit melembutkan ucapanku.

"Tidak, kau masih tidak tersenyum."

Rahangku mengatup rapat, kedua tanganku mengepal selama beberapa detik sebelum aku menarik nafas, menghembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan diri, dan tidak menimbulkan masalah dengan anggota baru The Boys itu. Meskipun aku sangat ingin menjambak rambutnya atau menendang bokongnya.

"Bisakah kau tolong ambilkan aku buku itu. Please.." Ucapku seraya nyengir kuda.

Brad mengangkat sebelah alisnya lalu menyeringai puas. Mungkin tinggi Brad sekitar 190 cm, karena tinggiku yang 152 cm dan aku hanya sebahunya. Aku seperti Hobbit dan dia seperti Voldemort, versi tampan dan cool, dan tidak botak juga, dan hidungnya bagus. Aku segera menggeleng cepat, apa yang baru saja kupikirkan, itu aneh.

Tubuh Brad yang menjulang memudahkannya untuk meraih buku itu tanpa kesulitan. Disaat itulah aku melihat luka itu, luka kemerahan seperti luka bakar di lehernya. Separah itukah luka gigitan semut? Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar, tak ada tanda-tanda kehadiran semut dimanapun.

Setelah Brad memberikan buku itu padaku, ia juga telah mendapatkan buku pinjamannya, kami bergegas menuju meja librarian dan memasukkannya ke daftar pinjaman. Lalu berjalan bersama menuju tempat parkir, masih diiringi tatapan para mahasiswa yang menatapku iri, banyak diantara mereka yang berbisik seraya menatap ke arahku dan Brad.

Brad membuang sisa permen karetnya, lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menjepitnya diantara bibir, lalu menyulutnya. Asap itu segera menyeruak ke udara, aku hampir menahan nafasku melihatnya merokok, dia melakukannya dengan sangat sempurna, caranya menghisap, lalu mengeluarkan asap itu, seolah dia sangat menikmati nikotin itu.

"Namamu adalah Archuletta Zigerna?" Brad menatapku.

Aku harus mendongak untuk menatapnya balik karena dia sangat tinggi. Tunggu. Dia baru saja menyebutkan nama lengkapku.

"Darimana kau tau nama lengkapku?" kedua mataku melebar, dia hanya mendengus pelan lalu menyeringai tanpa menjawab pertanyaanku.

"Dimana rumahmu? Aku akan sering-sering datang." Ujarnya seraya meniupkan asap rokok itu ke udara.

"Kau mau apa?" aku menatapnya sinis.

Dia menoleh kearahku lalu tersenyum miring.

"Kita harus melakukan apa yang biasanya dilakukan seorang teman, hangout, menonton, makan."

Aku diam, sengaja tak membalas perkataannya. Karena setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, segala permintaannya itu memaksa dan mengintimidasi. Tapi apa yang harus kulakukan jika dia benar-benar datang? Bagaimana jika dia macam-macam, seperti membawa anggota The Boys agar turut masuk rumahku.

"Berikan ponselmu." Ucap Brad dengan nada memerintah sebelum kami berpisah jalan karena tempat parkir kami berbeda.

Aku menatapnya sangsi.

"Kau pasti akan membutuhkan nomorku." Jawab Brad santai namun berhasil membuat kedua alisku terangkat tinggi.

"Tidak akan." Ucapku penuh penekanan.

"Tidak apa, kau akan memberikannya juga nanti." ia memajukan bibir bawahnya yang merah.

"Dengar ya, hanya karena kau memiliki paras yang bagus bukan berarti kau bisa mendapatkan semua yang kau mau. Memang. Dalam sekali tatap gadis-gadis lain akan luruh di kakimu, tapi aku tidak. Apa? Nomorku? kau kira dengan modal pesonamu itu kau bisa dapat nomorku?" Aku menatapnya lurus, tepat di manik mata birunya sebelum melengos pergi.

Seorang murid baru yang mencuri perhatian ingin berteman denganku, dan alasannya sepele, karena aku berbeda. Sudah jelas jika setiap orang memang berbeda-beda. Aku memang tidak mengagumi lelaki berdasarkan ketampanannya. Banyak laki-laki tampan di dunia ini yang memanfaatkan wajah tampannya dan bersikap manis kepada para wanita, lalu mempermainkannya.

***