Untuk chapter ini lagunya masih pake lagu Jacob Whitesides - Focus
.
.
.
.
.
Chapter 2
"Apapun dan bagaimanapun usaha yang kulakukan, aku ibarat debu yang tak berarti. Terserah padamu, kau bisa memperlakukanku seolah aku tidak ada,
Seolah aku tidak jatuh cinta padamu. Aku akan baik-baik saja."
.
.
.
.
.
Pagi datang, beralihnya rembulan kepada sang surya. Kicau burung di pepohonan mulai terdengar ramai bagai musik di pagi yang menciutkan ini. Dingin, bahkan embun masih bergantungan pada tiap-tiap permukaan daun.
Suara desingan fryingpan dan spatula berasal dari dapur, aroma pagi itu mulai memasuki kamarku, seolah menamparku agar segera terbangun dan menyambut pagi. Itu pasti Luke, betapapun sibuknya, dia masih berusaha menyempatkan untuk memasak sarapan untukku. Sarapan setiap pagi merupakan rutinitas yang biasa dijalani keluargaku ketika masih ada Mama dan Papa. Sekarang meskipun hanya tinggal kami berdua dirumah ini, terkadang aku masih bisa merasakan percakapan hangat kami berempat di meja makan.
Luke selalu berusaha membuat rumah ini se-hangat ketika Mama dan Papa masih ada, aku sadar dia berusaha keras melakukan itu untukku. Meskipun kami berdua sama-sama tahu, tak ada yang bisa menggantikan hangatnya keluarga kami saat masih berempat, aku sudah lupa rasanya memiliki keluarga yang utuh, atau rasanya menonton film keluarga bersama, rasanya diantar atau dijemput papa, aku sudah tidak merasakan itu lagi sejak dua belas tahun yang lalu.
Jika setiap malam aku terbangun karena mimpi buruk, mama akan datang dan menemaniku tidur hingga pagi. Kini setiap kali mimpi buruk, aku hanya mampu meringkuk di kasur seraya menangis mengingat mama sudah tak disini untukku lagi. Itu dulu, sekarang aku lebih tangguh. Terbiasa hidup tanpa hangat keluarga.
*phone ring*
Siapa yang menelepon pagi buta seperti ini, mataku menyipit menatap kilau cahaya layar ponselku. Satu panggilan masuk dari Anna. Dengan malas aku mengangkatnya.
"Cepat berangkat. Jam tujuh pagi ini akan ada ujian mendadak dari Mr Coltsman!" Teriak Anna diseberang, suaranya yang memekik tinggi membuatku segera membuka mataku lebar-lebar.
Aku duduk di atas ranjangku, mataku melirik jam dinding. Pukul 6.40 ini berarti 20 menit lagi ujiannya dimulai. Damn it! Mr Coltsman memang tidak pernah main-main.
"Dan lebih parahny—" belum habis kata-kata Anna aku sudah memotong sambungan telepon lalu menyibakkan selimutku sembarangan hingga selimut itu terlempar ke lantai.
Buru-buru aku menyambar handukku dan menuju kamar mandi. Tak sampai sepuluh menit aku sudah keluar dengan stripped navy shirt dan rok denim lengkap dengan ankle boot maroon favoritku. Aku menyambar ranselku dan berlari menuju ruang makan, disana sudah ada Luke, ia baru saja meletakkan omelet di atas piringku. Menyadari kehadiranku, Luke segera menoleh, ia tersenyum seperti biasa.
"Kau mau kemana?" Luke tampak terkejut melihatku yang sepagi ini sudah siap.
"Ke kampus. Ada ujian mendadak." Jawabku seraya meneguk segelas air putih diatas meja.
"Sepagi ini?" kedua matanya membulat lebar. Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya.
"Dihabiskan ya sarapannya, maaf tidak seenak buatan mama. Aku berangkat dulu." Luke mengecup puncak kepalaku, lalu mengambil tasnya dan bergegas keluar. Dia berangkat sepagi ini, bekerja seperti budak di perusahaan sendiri.
Aku menyuap omelet itu kedalam mulutku seraya menahan tangisku, aku merindukan orang tuaku, aku merindukan hangatnya keluarga kami. Kalimat Sean barusan membuat retak dinding pertahananku yang kubangun untuk membentengi diriku agar aku kuat dan tegar. Tapi benteng itu telah retak, hatiku telah hancur mengingat bagaimana sepinya aku sekarang. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menegakkan pundakku, tidak ada waktu untuk bersedih. Aku harus cepat, masih ada ujian Mr.Coltsman.
Setelah menghabiskan sarapanku, aku memanaskan mesin mobilku selama 2 menit, lalu segera tancap gas, menuju kampus kesayanganku. University of Central Florida, butuh waktu 20 menit dari rumahku menuju kampusku. Aku sudah pasti telat, tak kubayangkan bagaimana reaksi Mr Coltsman yang menyeramkan itu saat mendapatiku telat.
Aku berjalan tergesa di koridor kampus yang masih sepi, ini masih pukul tujuh pagi! Oh Gosh! bahkan para cleaning staff masih membersihkan sebagian ruang kelas dan koridor, kurasa hanya Mr.Coltsman satu-satunya dosen di seluruh dunia yang bisa berlaku seenaknya dengan mengubah jadwal ulangan mendadak, dan diwaktu yang sangat tidak pas ini.
Dari kejauhan aku mendapati seorang jangkung berdiri dengan tatapan intens yang mengerikan ke arahku. Oh tidak. Itu Bradley yang berdiri di ujung lorong. Damn it! Oh tentu saja aku akan mengabaikan keberadaannya. Aku tidak takut, meskipun sebenarnya jantungku sudah berdegup tidak karuan melihat sorot tajam matanya dari kejauhan. Koridor ini sangat sepi, tidak ada siapapun disini kecuali aku dan Bradley. Bagaimana jika dia tidak sendiri? Bagaimana jika ia datang bersama anggota The Boys yang lainnya?
Aku berjalan menuju kelas Mr Coltsman seraya terus menunduk memandangin lantai dan ujung sepatuku, rambut-rambutku turun dan tiap helainya menutupi wajah. Bagus! Aku tidak ingin Brad melihatku.
'Bruuk'
Aduh kepalaku menabrak sesuatu, aku mendongak dan menatap dada bidang seseorang, mataku terus mendongak dan menatap ke atas, Brad. Sial. Aku mencium aroma bubblegum dari tubuhnya, juga bau rokok dan alcohol yang menyengat. Aku menggeser tubuhku namun lelaki itu turut menggeser tubuhnya dan menghalangi jalanku. Aku berjalan menuju sisi yang lain dengan gerakan yang lebih cepat namun Brad kembali berhasil menghalangi jalanku lagi.
"Cepat menyingkir, aku ada ujian." Ujarku kembali bergeser dan Brad lagi-lagi menghalangi jalanku.
Aku berdecak kesal, kutatap lelaki jangkung di hadapanku itu. Ia balik menatapku diiringi rahangnya yang mengeras dan wajah dinginnya itu. Aku baru saja menyadari jika lelaki itu mengenakan anting di telinga kirinya, juga tindik kecil pada sisi kanan hidungnya. Aku benci mengakuinya tapi benda-benda menjijikkan itu tetap terlihat bagus untuknya.
"Menyingkirlah. Aku tidak ada waktu untuk basa-basimu." ketusku.
"Kau galak sekali. Aku suka itu." Ia menyeringai.
"Apa maumu?" decakku kesal.
Brad baru saja membuka mulutnya, bahkan kalimatnya belum sempat terlontar keluar dari mulutnya, namun dengan gerakan cepat dan gesit aku berlari dan menerobos barikade pertahanan Brad, aku berhasil lolos darinya dan berlari sekencang-kencangnya.
Kondisiku saat ini lebih mirip seperti primata yang berlari ketakutan karena dikejar pemburu. Setelah berlari cukup jauh, aku menoleh ke belakang, memastikan jika Brad tidak menyusulku. Sepertinya dia tidak menyusulku.
Tibanya di depan kelas Mr Coltsman, aku berhenti sejenak, merapikan rambutku kemudian menarik nafas, kubuka pintu dihadapanku itu, dan kini semua tatapan mata tertuju padaku.
Aku terlambat. Ujian sedang berlangsung.
"Cepat ambil soalnya dan kerjakan." Ujar Mr Coltsman tanpa basa-basi, aku segera mengangguk dan mengambil soalku.
Mataku beredar mencari sosok Anna.
"Lihat apa? Cepat kerjakan." Tegur Mr Coltsman lagi. Sial. Ini semua gara-gara Bradley.
Aku berjalan menuju sebuah kursi kosong di sebelah Sean, itu satu satunya kursi kosong yang tersisa, di pojok belakang, dekat jendela, tempat kesukaanku. Aku terkejut saat akan menduduki kursi kosong itu, diatasnya ada secarik kertas bertuliskan 'Milik Letta'.
Aku segera duduk, Sean berdeham kecil disebelahku. Aku meliriknya.
"Terimakasih untuk ini." bisikku pelan.
Sean mengangguk pelan seraya tersenyum manis. Dia mem-booking kursi ini untukku, dia benar-benar teman yang manis. Aku mulai menuliskan identitas pada lembarku. Ada yang aneh dari kelas ini, aku merasakan tatapan teman teman kelasku terus mengekor kepadaku. Sedikit curi-curi pandang. Ada yang salah denganku?
***