Chapter 4 - Focus

"A million voices rack your brain

Can you hear my love?

I wanna give you everything

Can you hear my love?

Signal's lost, we got cut off

Can you hear my love?"

(Jacob Whitesides - Focus)

.

.

.

.

.

Ponselku berdering. Nama Sean tertera disana, aku baru saja memikirkannya kini ia sudah menelponku.

"Kau dimana?" Tanya Sean diseberang, suara pantulan bola basket dan lantai terdengar begitu jelas, juga sorakan beberapa gadis.

"Apa kau menelponku di tengah-tengah permainan?"

"Haha tidak, aku sedang beristirahat sekarang. Kau belum menjawab pertanyaanku." Ujar Sean, suaranya nyaris hilang tertelan keramaian di lapangan basket, aku mendengar suara beberapa gadis disebelahnya, itu pasti fans-fansnya.

"Aku di perpustakaan." Jawabku.

"Sendirian?"

"Iya sendirian."

"Aku temani ya?"

"Tidak perlu, sebentar lagi mata kuliah Mrs Sharon selesai, dan aku akan pulang dengan Anna."

"Baiklah, jaga dirimu baik baik ya." Ucapnya sebelum mengakhiri panggilan. Dia memang se-perhatian itu padaku.

"Hey, ayo." Anna sudah tiba di depanku.

"Jangan lewat koridor utama ya?" ucapku.

"Kenapa?" Anna menatapku.

"Uhm.. tidak apa-apa, sudahlah ayo." Aku segera mengamit lengan Anna.

Kami bergegas keluar kampus melewati jalan atau koridor yang sepi dan jarang di lewati mahasiswa lain. Sejujurnya aku menghindari the Boys.

Begitu melihat mobilku aku segera masuk dan menyalakan mesin, setelah Anna duduk di joke sebelahku dengan raut heran seraya menatapku, aku segera tancap gas pulang dari kampusku, University of Central Florida di Orlando.

Selama dua minggu ini aku atau Sean secara bergantian akan mengantarkan Anna kembali ke rumahnya karena mobilnya masih berada dibengkel. Aku senang bisa mengantarnya pulang, senang bisa bertemu keluarganya. Itu mengingatkanku pada mendiang mama dan papa, dua belas tahun lamanya mereka pergi, aku sudah lupa bagaimana rasanya memiliki keluarga.

Aku menoleh ke arah Anna yang tampak serius mengetik pesan. Jemarinya bergerak cepat menyentuh layar ponselnya. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku raut wajahnya tampak bingung.

"Sean mencarimu, dia mencoba menghubungimu tapi tidak bisa."

Aku mengeluarkan ponselku, ada dua panggilan tak terjawab dari Sean.

"Iya, aku tak melihatnya." Aku mengangkat bahu.

"Ada apa? Kenapa wajahmu bingung?"

"Sean bilang kau harus segera pulang ke rumah dan mengunci pintumu rapat. Jangan keluar rumah sampai esok." ujar Anna, kedua alisku merapat, kenapa aku harus melakukan itu. Mobil berhenti, kami tiba di depan halaman rumah Anna.

"Kenapa?" tanyaku bingung.

"Aku tidak tahu, Sean hanya memberitahuku itu." Anna berpaling, sementara aku masih terpaku memikirkan kalimatnya.

"Terimakasih ya tumpangannya." Sahut Anna.

Kenapa aku harus mengunci diri dirumah? Aku baru saja akan memutar arah mobilku saat mataku menangkap sosok ibu Anna tengah memindahkan tanamannya pada pot bunga. Sosok bersahaja itu tengah berdiri disana dengan topi kebun kesayangannya.

"Bunganya indah sekali Ibu McGrath. Kau sangat pandai mengurus tanaman itu." Ujarku dari dalam mobil.

Dia menoleh terkejut kearahku. "Oh dear.. terimakasih banyak Letta." Ibu McGrath tersenyum dari balik topi kebunnya.

Ibu McGrath adalah ibunya Anna, ia memang selalu senang ketika melihatku, dia tak pernah tidak senyum saat berjumpa denganku. Sikapnya selalu hangat padaku, membuatku semakin rindu sosok mama.

"Come dear." Ia melambaikan tangannya padaku, memintaku bergabung dengannya. I'd love to tapi berkebun hanya akan mengingatkanku pada mendiang Mama. Pasti menyakitkan.

"Terimakasih, tapi aku ada tugas rumah untuk dikerjakan." ujarku tersenyum, Ibu McGrath mengangguk lalu balas tersenyum hangat.

***

AUTHOR POV

Ma'am Zoelyn selesai mengucapkan mantra terakhir dan air tempat lelaki itu berdiri kini berubah menjadi biru muda kemudian biru tua kemudian hitam dan air itu perlahan menariknya, hingga sosok itu tenggelam.

Ia pergi meninggalkan Oddeants menuju dunia manusia tempat dimana ambisi dan kepercayaan Ayahnya berada. Kepercayaan Raja Odair pada ramalan kuno. Ramalan tentang 'hati manusia yang akan mendatangkan kejayaan bagi kelangsungan hidup Kerajaan Oddeants'.

***

LETTA POV

Aku adalah gadis penikmat senja. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dan dijadikan panutan dari senja, misalnya belajar mengikhlaskan yang telah pergi.

Senja sudah hampir habis, gelap malam memakan jingga senja perlahan. Aku kini duduk menghela nafasku yang terasa berat. Haruskah kuceritakan ini pada Luke? Ah tidak perlu, itu hanya akan membuatnya khawatir. Lagipula aku bukan anak kecil lagi, dan masalah dengan The Boys ini bukanlah masalah besar, aku bisa menghadapi mereka. Juga ada Sean disisiku, dia pasti akan melindungiku, seperti yang selalu dia lakukan selama ini ; dia selalu melindungiku.

Sudah cukup banyak beban yang ditanggung oleh Luke. Untuk membiayai aku kuliah saja Luke rela tidak jadi melanjutkan kuliah S2 nya, dan demi tinggal bersamaku ia tidak mengambil beasiswa S2 nya di Yale University. Lebih menyedihkannya lagi, ia sekarang menjadi seorang bawahan dari perusahaan milik kedua orang tuaku.

Adik Papaku, Paman Dave mengambil alih perusahaan kami tanpa memberi kami sepeserpun dari uang hasil perusahan yang mencapai milyaran dollar itu. Dua belas tahun yang lalu sebelum orang tuaku meninggal, kami adalah keluarga yang bahagia, tidak ada kurangnya, semuanya tersedia, semuanya terjangkau, namun kini untuk membiayaiku kuliah saja kakakku harus membanting tulang. Terkadang ia harus lembur. Semua peninggalan orang tuaku hampir habis dijual, hanya tersisa rumah ini dan peugeot 107, mobil tua itu dulu koleksi milik Mama, kini menjadi milikku.

Sanak saudara? Oh satu persatu dari mereka perlahan menjauh ketika mengetahui aku dan kakakku sudah mulai kehabisan uang. Lagipula keluarga Mama dan Papa sedari dulu tidak ada yang setuju dengan pernikahan mereka berdua.

Tanganku terulur untuk meraba bekas luka di sepanjang tulang rusukku, aku sudah lupa bagaimana parahnya luka itu dulu, yang kuingat dokter pernah berkata bahwa 12 tulang rusukku pernah patah. Aku mendapat luka itu saat kecelakaan di Clarcona Ocoee, bersama Luke dan kedua orang tuaku. Keajaiban terjadi disana, aku dan Luke selamat namun kedua orang tuaku tewas, mobilnya terbakar. Sampai sekarang aku tidak bisa mengingat bagaimana cara aku dan Luke bisa lolos dari kecelakaan itu. Ponselku berdering, panggilan masuk dari Sean, aku mengangkatnya.

"Apa kau sudah dirumah?" Tanya Sean.

"Sudah dari tadi." Jawabku.

"Sudah kau kunci rapat rumahmu?" Tanya Sean lagi.

"Iya sudah kulakukan seperti yang kau mau, sekarang beritahu aku kenapa?"

"Aku dengar ada gadis berani yang melawan supergeng The Boys di cafeteria tadi siang." Sean terkekeh diseberang. Namun tawanya segera habis karena suara sorakan keramaian dari tim basketnya. Dia masih ada di kampus se-sore ini.

"Darimana kau tahu?" aku menggigit bibirku menahan senyumku.

"Anna memberitahuku. Itu sebabnya aku khawatir padamu, jika saja nantinya The Boys akan balas dendam padamu lalu melakukan tindakan brutal padamu." Jelasnya.

"Tindakan brutal seperti?"

"Menculikmu, lalu menyekapmu digudang, dan meminta uang tebusan."

Aku tertawa geli. "Rencana itu receh sekali untuk ukuran supergeng seperti The Boys. Mereka bukanlah ancaman untukku, lagipula 1 atau 2 hari mereka akan segera melupakan aku. Aku bukanlah sesuatu yang penting untuk diingat."

"Untukku kau penting." Ucap Sean pelan, suaranya bercampur dengan riuh suara keramaian di belakangnya, tapi aku masih mendengar kalimat yang diucapkannya, itu membuat senyum kecil membias di wajahku.

"Apa kau sedang menikmati senja sore ini?"Tanya Sean.

"Tidak. Senja sudah habis." Jawabku.

"Really? Aku sedari tadi latihan indoor."

"Kapan kau akan turnamen?" tanyaku.

"Dua hari lagi, kau harus menontonku."

"Pasti. Aku akan duduk dibarisan paling depan."

"Baiklah, aku harus latihan lagi, jaga dirimu baik-baik ya. Bye.."

"Byee."

Panggilan berakhir.

***