Kota kecil di timur Indonesia ini menyuguhkan keindahan alam yang memikat hati. Zia dan Rafael baru saja tiba di Manokwari. Ini bukan kunjungan yang pertama kali bagi Zia di kota ini. Bahkan beberapa tahun yang lalu dia pernah bekerja disini.
Zia tampak bersemangat, segera dia mengambil handphone dan menghubungi temannya yang tinggal di kota kecil ini. Dia mendorong kopernya ke kamar dan langsung keluar mencari taxi. Ini kesempatan besar, sudah lama dia ingin mengunjungi Manokwari namun tidak memiliki kesempatan karena kesibukannya bekerja.
Wawwww, matanya membesar dan senyum sumringah terlukis di wajahnya. Sepanjang jalan dipenuhi buah Duren, buah kesukaannya. Dia datang disaat yang tepat. Manokwari memang terkenal dengan kota buah, bila musimnya sepanjang jalan akan dipenuhi dengan buah-buahan dengan harga yang sangat murah. Sebiji duren dengan ukuran besar kadang hanya lima ribu rupiah. Ini benar-benar surga untuk pecinta duren sepertinya.
Setelah membayar ongkos taxi yang lumayan mahal dengan jarak yang terbilang dekat, Zia berlari kecil menuju rumah Flo, temannya. Untung saja ini hari Minggu, jadi Flo tidak memiliki kegiatan lain. Setelah mengetuk pintu diiringi teriakan kegembiaraan, temannya itu muncul dari balik pintu. Teriakan histeris seketika menggema keluar dari mulut mereka.
"Akhirnya aku kesini lagi." Teriak Zia kegirangan. Flo hanya tersenyum melihat tingkah temannya itu.
"Pasti kamu ngak sempat mandi dan ganti pakaian dan langsung menuju kesini." Tebak Flo melihat gaya Zia yang sedikit kacau. Zia tersenyum sambil mengedipkan matanya.
"Aku rindu kamu, rindu makanan Papua, rindu aerobic bareng kamu, pokoknya rindu kota ini. Urusan mandi belakangan, aku ngak punya waktu banyak disini." Kata Zia sambil melirik sekelilingnya. Ternyata empat tahun berlalu dan kota ini sudah banyak berubah.
"Setelah kamu pindah aku kehilangan teman makan." Kata Flo sambil menatap Zia dan tertawa.
"Dan hari ini, kita akan memulai petualangan kita berburu makanan, cepat ganti baju dan ambil motor kamu." Ucap Zia sambil mendorong Flo masuk ke kamarnya.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu, dan kini mereka sudah siap mengitari kota ini. Hari sudah sore, terlihat matahari sudah berwarna kemerahan. Mereka mampir ke kios Mie Ayam yang tidak jauh dari rumah Flo.
"Ok, kita mulai dari sini." Flo berkata dengan semangat. Zia segera memesan Mie Ayam porsi jumbo, persis seperti pesanan mereka waktu masih kerja bersama. Ini kios Mie Ayam paling enak di Manokwari.
Tak lama 2 mangkok mie ayam ukuran jumbo terhidang di depan mereka, tanpa banyak bicara mereka mulai melahapnya. Hari ini Zia menang, biasanya dia tidak dapat mengalahkan Flo dalam urusan makanan, tapi sekarang nafsu makannya sangat besar.
"Kamu menang." Kata Flo tertawa melihat tingkah Zia yang mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Ayo kita lanjut ronde kedua." Zia segera berdiri dan membayar tagihan. Mereka melanjutkan petualangan wisata kuliner sampai hampir tengah malam.
"Makasi yah untuk hari ini, perutku hampir meledak." Zia mengelus perutnya yang kini sudah maju 5cm.
"Aku yang makasi karena sudah di traktir makan. Btw, berapa lama kamu disini?"
"Semingguan, tapi kayaknya aku bakalan sibuk soalnya aku datang dengan klien aku. Makanya aku bela-belain ngajak kamu jalan hari ini, takutnya nanti kita ngak sempat ketemu."
"Ok deh, nanti kabarin aja kalau kamu free biar aku jemput. Perutku masih rindu traktiranmu." Mereka tertawa, Flo pun pamit pulang. Zia bergegas masuk ke hotel, dia ingin segera mandi dan tidur.
Pagi ini begitu cerah. Zia membuka jendela, hamparan laut luas tersaji di depannya. Sudah pukul 7 pagi, dia merapikan kembali rambutnya sebelum turun sarapan. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu.
"Good morning." Sapa Rafael yang berdiri didepannya.
"Hey good morning."
"Siap untuk sarapan?"
"Ayokkkkk."
"Kemarin kamu kemana? Selesai mandi aku ke kamar kamu tapi sepertinya kamu tidak di dalam." Tanya Rafael yang penasaran karena tiba-tiba Zia menghilang kemarin.
"Ohh, aku mampir ke rumah teman aku untuk menjalankan misi rahasia."
" Misi rahasia?" Rafael tampak bingung dengan jawaban Zia.
"Wisata kuliner." Jawab Zia sambil tertawa.
"Aku tersinggung."
"Kenapa?"
"Kamu ngak ajak aku."
"Aku pikir kamu cape, jadi aku ngak mau ganggu. Nantilah kalo kerjaan kita sudah selesai, aku ajak keliling Manokwari dan wisata kuliner bareng. Tapi kamu yang traktir." Ucapan Zia membuat Rafael tertawa keras. Dia menyukai pembawaan Zia yang selalu bisa membuat orang lain tersenyum bahkan tertawa.
"Ok, aku yang traktir."
Tak terasa seminggu berlalu, pekerjaan mereka sudah beres. Sesuai janji, Zia mengajak Rafael berkeliling. Dia menghubungi Flo namun temannya itu tidak bisa ikut karena harus menjenguk neneknya yang lagi sakit.
Zia dan Rafael mengunjungi RM Ayam Goreng yang sangat terkenal di kota itu. Mereka memilih sarapan diluar hotel agar benar-benar menikmati perjalanan ini.
Weekend membuat mereka harus mengantri panjang karena begitu banyak pelanggan yang datang.
Perjalan pun dilanjutkan ke wisata pantai pasir putih yang disebut Zia pantai tiga warna. Pantai ini begitu indah. Mereka memesan gorengan dan rujak ulek. Zia pun mengajak Rafael menyeberang ke pulau Mansinam, pulau yang begitu legendaris di kota itu.
"Kamu pernah tinggal disini?" Tanya Rafael heran karena Zia begitu menguasai kota ini.
"Kurang lebih setahun." Rafael hanya menganggukkan kepala. Dia bersyukur karena selama ini dia tidak pernah menikmati perjalanannya ke Manokwari.
Setelah puas menikmati keindahan alam, mereka mampir ke salah satu RM Seafood. Udang dan lobster yang tersaji begitu menggoda. Zia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Kamu teman makan yang asik." Goda Rafael melihat Zia makan dengan lahap.
"Aku makan banyak karena gratis. Rugi banget kalau ngak dinikmati." Jawab Zia cuek. Rafael tersenyum, perempuan didepannya ini benar-benar menarik.
Matahari sudah terbenam, perlahan langit menjadi gelap. Lampu-lampu mulai dinyalakan, menambah keindahan tersendiri.
Mereka memilih bersantai di cafe dekat laut sambil menikmati kelap-kelip cahaya lampu di malam hari.
Rafael melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. Sudah pukul sembilan.
"Balik yuk, kamu kelihatan cape." Ajak Rafael yang sedari tadi mengamati Zia yang memang terlihat sedikit pucat.
"Masih ada yang belum kita kunjungi." Kata Zia. Rafael mengerutkan dahinya, sudah banyak tempat yang mereka kunjungi tapi sepertinya petualangan malam ini belum berakhir.
Mereka mampir di salah satu restoran ikan bakar. Ada banyak ikan segar yang masih hidup ditaruh dalam ember dan diletakkan didepan restoran. Pengunjung bisa memilih sendiri ikan yang akan mereka nikmati.
"Rasanya tidak lengkap jika kita tidak mencicipi ikan bakar disini. Ini salah satu rumah makan favoritku. Aku memesan ikan kuah kuning serta Papeda (makanan khas Papua yang terbuat dari sagu) juga." Terang Zia. Rafael sedikit terkejut, karena mungkin dia tidak sanggup untuk menghabiskan makanan pesanan mereka. Perutnya sudah hampir meledak. Baru sekarang dia menikmati makanan berat sepanjang hari.
"Kamu memang ratu kuliner." Zia menganggap itu sebagai pujian walaupun bisa saja Rafael sedang menyindirnya.
Setelah hampir satu jam menunggu, pesanan mereka datang. Rafael kagum karena Zia. masih bisa makan dengan lahap. Bagaimana bisa seorang wanita bisa makan sebanyak ini? Batin Rafael.
Petualangan kuliner mereka hari ini berakhir. Rafael lega mereka akhirnya kembali ke hotel.
"Sebenarnya masih ada satu tempat yang ingin aku kunjungi, tapi kamu kelihatan lelah dan stres jalan sama aku." Goda Zia.
"Dan dengan senang hati aku akan menolaknya." Balas Rafael cepat.
"Biasanya jam segini aku senang nongkrong sama teman-teman aku di warkop dekat lampu merah yang barusan kita lewati. Walaupun kenyataannya aku ngak bisa minum kopi, tapi tetap aja aku ketagihan ke tempat itu, apalagi kalau lagi stres dengan kerjaan." Zia bernostalgia, empat tahun yang lalu dia pernah tinggal di kota ini. Kota yang memiliki sejuta kenangan manis.
"Aku senang kamu menikmati perjalanan ini. Terima kasih sudah mengajakku berkeliling."
"Aku yang makasi, sudah ditraktir makan seharian. Pasti dompet kamu sekarang lagi menangis dan dendam sama aku." Kata Zia diiringi tawa kecil.
"Harganya cukup terjangkau, dan mengajakmu makan seharian belum mampu membuatku aku bangkrut."
"Sombongggg!! Aku tahu sebuah restoran berkelas di kota ini dengan harga fantastis untuk seporsi nasi goreng." Teriak Zia bersemangat.
"Kamu bisa pergi sendiri." Potong Rafael cepat. Dia tidak akan sanggup lagi meladeni nafsu makan wanita yang duduk disampingnya ini.
Rafael memakirkan mobil sementara Zia mengambil kunci kamar yang mereka titipkan di resepsionis.
"Selamat malam bu, mohon maaf harus kami informasikan bahwa sekarang ini lift sementara dalam perbaikan. Jika ibu berkenan silahkan naik melalui tangga atau ibu bisa menunggu sampai lift selesai diperbaiki." Resepsionis itu berkata selembut dan seramah mungkin. Zia terlihat sedikit kesal, karena kamarnya ada dilantai tiga dan dalam keadaan perut terisi penuh sangat tidak menyenangkan untuk menaiki tangga. Rafael yang baru sampai sedikit bingung dengan wajah kesal Zia. Setelah menerima penjelasan yang sama dari resepsionis, Rafael akhirnya mengajak Zia untuk menggunakan tangga agar mereka dapat beristirahat dengan cepat.
Zia akhirnya mengalah, dia mengikuti Rafael. Baru saja empat langkah menaiki tangga, tiba-tiba dia merasa pusing. Tangannya belum sempat menyentuh dinding ketika dia jatuh terguling ke bawah. Mereka yang menyaksikan kejadian tersebut berteriak dan langsung menuju ke tempat dimana Zia jatuh. Rafael meminta mereka untuk menghubungi ambulans. Zia pingsan dan yang membuat Rafael takut adalah Zia berdarah.
Sampai di rumah sakit terdekat Zia langsung mendapat penanganan medis. Kliennya itu menunggu dengan setia sampai akhirnya dia diijinkan masuk.
Zia nampak belum sadar. Rafael terlihat berbincang dengan dokter yang menangani Zia. Dia nampak terkejut, namun berusaha menyembunyikannya.
Akhirnya setelah satu jam Zia sadar. Kepalanya masih sakit dan penglihatannya masih sedikit kabur. Rafael menatapnya penuh arti.
"Apa yang terjadi?" Tanya Zia pelan.
"Kamu tiba-tiba pingsan dan jatuh dari tangga."
"Aku mungkin terlalu bersemangat sehingga jatuh kelelahan." Bisik Zia pada dirinya sendiri.
"Kamu kehilangannya." Rafael menggenggam tangan Zia dengan penuh arti. Sebutir air mata jatuh di pipi Zia. Mereka terdiam, sampai Zia tertidur kembali dia dan Rafael tidak berkata apa-apa lagi.