Sudah tiga jam angin kencang dan hujan deras mengguyur kota itu. Di beberapa titik, orang-orang sudah mulai menyelamatkan harta benda mereka. Ketinggian air terus naik, jika hujan tak kunjung berhenti sudah pasti kota ini akan banjir lagi.
Zia duduk ditepi jendela, mobil-mobil yang melintas ditengah hujan badai malam ini seakan menjadi tontonan baginya. Segelas wine yang menghiasi tangannya diaduk dan diteguknya sekaligus. Lelaki yang duduk dibelakangnya diam seribu bahasa. Keheningan malam ditemani dinginnya udara menjadi paket komplete untuk dinikmati, tapi tidak untuk Eiverd. Dahinya mengucurkan keringat yang cukup deras, bahkan hampir sama dengan derasnya hujan diluar saat ini.
Semenjak dia berada di apartement kekasihnya, dia belum mengucapkan apa-apa selain "Selamat Malam" ketika Zia membukakan pintu untuknya.
Eiverd nampak gelisah, dia berusaha menyusun kata untuk membuka pembicaraan dengan Zia namun selalu gagal. Zia terlihat tidak peduli dengan keresahan pacarnya, walau sesungguhnya dia mungkin akan luluh dengan kehadiran Eiverd disisinya malam ini.
Zia meletakkan gelas kosong yang dipegangnya dan berjalan menuju tempat dimana kekasihnya duduk. Wajah Eiverd terlihat menegang, saat ini dia siap ditampar atau dipukul oleh Zia. Dia tidak punya pilihan lain, malam ini dia harus menyelesaikan masalah mereka.
"Untuk apa kamu datang jika hanya duduk diam membisu?" Kata Zia memecah keheningan diruangan itu. Suara deras hujan diluar masih terdengar begitu jelas. Eiverd kaget mendengar Zia yang tiba-tiba berbicara padanya.
"Aku minta maaf." Ujar lelaki itu pelan. Suaranya tenggelam diantara bunyi air hujan yang turun dengan begitu ganas. Zia menatap Eiverd dalam, dia sebenarnya tidak begitu jelas mendengar apa yang dikatakan kekasihnya itu, tapi dia tahu apa maksud perkataan Eiverd.
"Ini bukan perkara memaafkan dan dimaafkan, aku ingin komitmenmu untuk tidak mengulanginya lagi."
"Aku tahu telah membuat kesalahan yang fatal, dan aku janji tidak akan melakukannya lagi. Tolong percaya sama aku." Nada suara Eivers terdengar begitu memohon.
"Jangan membuat janji, aku benci orang yang mudah berjanji dan begitu mudah juga melanggarnya. Tidak ada jaminan yang pasti apa kamu akan menepati janjimu atau tidak."
"Tolong percaya sama aku sekali ini saja."
"Terus ketika aku percaya, dan kamu melanggar janjimu, kamu akan datang lagi dengan memohon maaf? Jangan berbicara semudah itu dengan hal yang bahkan tidak ada jaminannya."
Eiverd terdiam mendengar kata-kata Zia. Dia sudah putus asa untuk membujuk Zia. Semua upayanya ditebas habis oleh perkataan Zia yang terasa seperti sebilah pedang yang tajam.
Zia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Dengan cepat Eiverd segera menyusul dan memeluk Zia dari belakang. Seketika langkahnya terhenti, darahnya berdesir. Tolong jangan lakukan ini, batin Zia.
Eiverd memeluk erat wanita yang kini terdiam didepan pintu kamar itu. Sekali lagi keheningan tercipta. Sudah lama mereka tidak merasakan keromantisan malam dan membelai satu sama lain.
Airmata mengalir dari sudut mata Zia. Dia masih mencintai Eiverd. Lelaki itu tahu cara meluluhkan hatinya. Naluri untuk memberontak seketika hilang. Dia menikmati sentuhan hangat yang diberikan Eiverd.
Eiverd perlahan melepas pelukannya dan kini berdiri dihadapan Zia. Dengan lembut dia menghapus airmata Zia dan mencium bibirnya. Zia terkejut dan hanya bisa diam, tetapi pada akhirnya dia membalas ciuman Eiverd. Mereka bercumbu dengan penuh gairah, pintu kamar didepan merekapun terbuka. Gairah malam itu dilampiaskan diatas ranjang dengan ditemani suara hujan diluar.
Otak Zia menyerah pada hatinya. Eiverd mampu membuatnya luluh malam ini.
"Terima kasih." Kata Eiverd seraya mengecup kening kekasihnya itu. Zia hanya diam, namun sekali lagi matanya mengeluarkan airmata. Eiverd memeluk Zia begitu erat, kehangatan yang sudah lama tak mereka rasakan malam ini terbayar.
Dibalik selimut yang membungkus tubuh mereka, Eiverd membisikkan sebuah kalimat yang membuat airmata Zia jatuh makin deras.
"Ayo kita menikah."