Chereads / Autumn in My Heart / Chapter 26 - Pelukan Perpisahan

Chapter 26 - Pelukan Perpisahan

Aldo menarik napas dalam. Puntung rokok yang tadi menari di jemarinya telah diinjak dan hancur. Dia kemudian menatap wanita didepannya itu.

"Akan percuma menasehati orang yang jatuh cinta, biarkan saja mereka. Jangan pernah ikut campur lagi. Ini peringatan buat kamu." Suara lelaki jangkung itu terdengar tegas. Tias memilih diam, dia tidak berani membantah perkataan Aldo. Dia hanya tidak bisa menerka pikiran Zia. Setelah apa yang diperbuat Eiverd, bagaimana Zia bisa kembali dipelukan sahabatnya itu? Sungguh ini membuatnya gila. Tapi seperti kata Aldo, dia tidak ingin ikut campur lagi.

"Aku penasaran pada satu hal, bisakah kamu menjawabnya dengan jujur?" Tias menatap Aldo, dia berharap Aldo akan menjawab pertanyaannya.

"Aku bukan tipe lelaki yang akan membuat kesalahan besar. Nada bicaramu seakan-akan aku menyembunyikan sesuatu yang salah." Aldo membalas menatap Tias. Lelaki itu memang tidak mudah terintimidasi.

"Kamu menyukai Zia?" Pertanyaan itu keluar dengan cepat dari mulut Tias sampai membuat mulut Aldo menganga.

"Pertanyaan macam apa itu?"

"Kamu cukup menjawab ya atau tidak." Tegas Tias.

"Bagaimana bisa kamu menarik kesimpulan seperti itu?" Aldo masih enggan menjawab.

"Cukup jawab pertanyaanku, tidak usah menghindarinya."

"Aku tidak menyukainya, kami hanya bertemu disaat dimana Zia butuh aku. Ayolahhh kamu tahu aku tidak tertarik berhubungan dengan wanita yang lebih tua." Jawab Aldo sesantai mungkin.

"Jangan konyol dan jaga ucapanmu, bukankah dulu ketika kita kuliah kamu pernah jatuh cinta dengan dosen kita yang berstatus janda?" Sindir Tias.

"Jangan bahas masa lalu, kamu tidak tahu sakitnya ditinggal menikah oleh orang yang kamu cintai dan kagumi."

Jawaban Aldo membuat mereka berdua tertawa keras. Tias masih ingat dengan jelas bagaimana Aldo sangat mengagumi dosen perempuan mereka yang baru saja bercerai, dan ketika perasaannya semakin kuat jatuh pada pesona dosen cantik tersebut, tiba-tiba dia harus hancur dengan kabar pernikahan dari wanita yang dikaguminya. Dia tidak menyangka "wanita tua" yang disukainya begitu cepat mendapat pengganti.

"Lalu bagaimana dengan rencanamu?" Tanya Aldo sambil menyalahkan sebatang rokok yang kini terjepit diantara dua jemarinya.

"Aku baru saja mendapat balasan email tadi malam, jika tidak ada halangan bulan depan aku sudah harus disana." Suara Tias terdengar tenang dan disudut bibirnya terukir senyum.

"Bukankah itu sebelum pernikahan Eiverd dan Zia?"

"Aku sudah mengambil keputusan, dan aku yakin Zia bisa memakluminya. Aku tidak ingin menunda lagi. Berada disini pada hari pernikahan mereka membuat aku merasa bersalah."

"Mungkin sulit, tapi aku rasa keputusanmu tepat." Sinar mata Aldo yang tenang membuat Tias mantap akan keputusannya.

"Sebelum pergi aku akan pamit pada mereka, tidak ada alasan untuk menghindar." Kata Tias mantap.

"Aku akan selalu mendukungmu." Aldo menggenggam tangan Tias, memberikan kedamaian pada wanita itu.

Mereka berpisah dipersimpangan jalan, pertemuan hari ini adalah salam perpisahan Tias. Dia harus pergi mengunjungi Zia untuk berpamitan, ada banyak hal yang harus dipersiapkan dan mungkin mereka tidak akan memiliki waktu lagi untuk bertemu.

Bunyi bel apartement membangunkan Zia dari tidurnya. Tias tersenyum lebar ketika pintu terbuka dan segera memeluk wanita didepannya. Zia yang baru berusaha mengumpulkan nyawanya lagi, bingung dengan sikap Tias.

"Ayo masuk dulu." Kata Zia pada Tias yang masih memeluknya erat. Mereka berjalan masuk, Zia mengambil sebotol wine dalam lemari.

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Tias pada Zia yang sedang menumpahkan wine di gelas untuk mereka berdua.

"Aku tahu kamu pasti kaget dengan keputusanku, tapi aku tidak bisa berbohong pada hatiku. Aku masih terlalu mencintai Eiverd." Jawab Zia pelan.

"Sebagai sahabat, aku menghormati keputusanmu. Asal kamu yakin pada keputusan itu. Aku hanya berharap yang terbaik untuk kalian."

"Terima kasih untuk selalu menjadi sahabat terbaikku." Zia memeluk Tias hangat. Mata mereka berkaca-kaca.

"Ada yang harus aku katakan padamu." Kata Tias sambil melepas pelukan sahabatnya itu. Zia menatapnya dalam. Pasti bukan kabar baik.

"Aku lolos test untuk mengambil program Doktor di Perancis."

"Aku ikut bahagia, walaupun sebenarnya aku sedikit cemburu." Tias tersenyum mendengar ucapan sahabatnya.

"Tapi, bulan depan aku sudah harus berada disana. Waktuku sedikit, aku datang untuk pamit." Tias berkata setenang mungkin, karena Zia bisa mengamuk.

"Bukankah itu berarti kamu memberitahuku bahwa kamu tidak akan hadir di hari pernikahanku?"

"Maafkan aku." Mereka terdiam. Zia tahu dia tidak bisa memaksa Tias untuk tinggal. Ini kesempatan emas buat sahabatnya, dia tidak ingin bersikap egois. Tias berhak mengejar mimpinya.

"Pergilah, aku selalu mendukungmu." Dengan kebesaran hati, kalimat itu keluar dari bibir mungil Zia.

Tias nampak meneteskan airmata, Zia merangkulnya dalam pelukan. Mereka menangis bersama dalam diam.

"Aku berharap kamu dan Eiverd akan bahagia."

"Kebahagiaanmu tak kalah penting. Berjanjilah untuk selalu mengabariku, aku siap mendengar segala keluh kesahmu. Hidup di negeri orang pasti akan membuatmu tersiksa. Hiduplah dengan baik disana." Zia menepuk-nepuk bahu Tias.

"Begitu juga kamu, aku berjanji akan membunuh Eiverd jika dia menyakitimu lagi."

"Aku tidak ingin bersahabat dengan pembunuh." Mereka tertawa bersama sampai tak sadarkan diri karena sebotol anggur. Kedua sahabat itu sungguh tidak bisa minum alkohol.