Lelaki itu nampak ragu. Sudah setengah jam dia terlihat enggan keluar dari mobilnya. Tersirat keraguan diwajahnya yang nampak tak terawat lagi. Kumis dan jenggot yang melingkar pada setengah wajahnya dibiarkan begitu saja. Sekilas penampilannya terlihat kacau.
Kompleks apartement kekasihnya itu cukup sepi. Eiverd datang untuk menemui Zia tanpa pemberitahuan. Sebenarnya dia belum siap bertemu Zia, namun atas desakan Tias tadi malam akhirnya dia memberanikan diri untuk datang dan minta maaf.
Baru saja dia keluar dan menutup pintu mobil, pandangannya tertuju pada dua perempuan yang berjalan masuk ke arah apartement itu.
Zia nampak memegang beberapa kantong plastik belanjaan, dibelakangnya Tias berusaha mengejar langkah Zia yang sengaja dipercepat. Keduanya tampak dalam situasi yang tegang. Eiverd mengernyitkan dahinya, semalam waktu Tias menghubunginya, bukankah mereka sudah berbaikan? Bahkan Tias mengatakan kalau Zia tidak memarahinya seperti dugaannya. Lantas situasi macam apa yang ada didepannya sekarang? Eiverd nampak bingung sendiri. Dia mempercepat langkahnya, apa yang terjadi sebenarnya? Apakah Tias berbohong bahwa Zia sudah memaafkannya?
Tanpa mereka sadari, Eiverd kini ada dibelakang mereka. Lelaki itu berusaha menguping pembicaraan mereka. Tias terlihat mendesak Zia untuk menjawab pertanyaannya, namun wanita disampingnya itu lebih memilih diam.
Semakin lama suara Tias semakin keras, samar-samar Eiverd bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Apa sih yang kamu sembunyikan dari aku?" Tanya Tias sambil meremas pergelangan tangan sahabatnya itu. Zia nampak menepis tangan Tias dan masih tidak memberikan jawaban.
"Zia, kamu belum maafin aku sepenuhnya? Aku tahu aku ngak pantas dimaafin, aku terima kalau saat ini kamu kecewa sama aku, tapi tolong jangan menyimpan itu sendirian. Aku berhak tahu semuanya." Nada bicara Tias terdengar putus asa. Sudah dari tadi dia mengikuti Zia namun sahabatnya itu memilih diam.
"Maaf kalau sikap aku kayak gini, tapi satu hal yang pasti aku sudah maafin kamu bahkan Eiverd sekalipun." Kata Zia sambil terus berjalan.
"Terus apa maksud ucapan teman kamu tadi?"
"Jangan dipikirkan, dia hanya asal bicara."
"Aku ngak percaya, bagaimana mungkin dia bercanda terhadap sesuatu yang sangat serius?"
Diujung lorong, Eiverd nampak tegang. Apa yang dibicarakan mereka berdua? Lelaki itu berjalan lebih cepat, kini hanya tersisa beberapa langkah jarak antara mereka, namun kedua wanita tersebut tidak menyadari kehadirannya karena perdebatan kecil mereka.
"Kamu pulang aja, aku lagi ingin sendiri." Kata Zia pada Tias. Mereka baru saja sampai didepan pintu apartement Zia.
"Jangan membuatku menjadi sahabat yang jahat bahkan tidak tahu malu. Aku bukan anak kecil lagi sampai tidak bisa mengerti apa yang diucapkan temanmu itu." Suara Tias melemah, dia sudah putus asa.
"Itu bukan kesalahan kamu." Jawab Zia pendek.
"Bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia sepenting itu? Kamu melewatinya seorang diri, dan aku? Yahh aku bersenang-senang dengan kekasihmu. Jika memikirkannya terus, aku tidak dapat memaafkan diriku sendiri."
"Aku tidak merahasiakannya. Hanya saja saat itu, baik kekasihku maupun sahabat-sahabatku sedang bersenang-senang." Kata Zia dengan tatapan sinis. Dia baru menyadari, bahwa memaafkan perbuatan mereka sangat berat. Rasa sakit dihatinya masih sering hadir, walau dia tahu dengan pasti alasan Tias melakukan semua itu.
"Sekarang aku merasa benar-benar jahat. Aku bersenang-senang disaat kamu merahasiakan kehamilanmu bahkan sekarang kamu telah kehilangan janinmu." Kata Tias pelan namun masih terdengar jelas ditelinga Eiverd. Seketika kaki yang menumpu badan lelaki itu goyah. Dia seperti disambar petir mendengar ucapan Tias. Jadi selama ini Zia hamil? Dan apa maksud perkataan Tias bahwa Zia telah kehilangan janinnya?
Kedua wanita itu terkejut melihat kehadiran Eiverd yang kini ada didepan mereka. Wajahnya terlihat pucat bercampur kekesalan dan rasa bersalah. Zia dan Tias saling berpandangan, dari tingkah Eiverd mereka bisa menilai kalau Eiverd sudah mendengar semua pembicaraan mereka.
"Sayang, apa maksud ucapan Tias?" Tanya Eiverd dengan suara bergetar.
"Kamu bahkan tidak berhak memanggilnya sayang." Sambung Tias dengan nada kesal.
Zia hanya memilih diam, dia membuka pintu apartement dan masuk kedalam diikuti Tias dan Eiverd. Suasana menjadi hening, mereka tidak tahu harus memulai pembicaraan darimana. Mata Tias menatap tajam ke arah Eiverd, sedangkan Zia memilih duduk dan membenamkan wajah diantara kedua kakinya.
"Aku rasa ini saatnya kamu menjelaskannya pada kami, bagaimanapun juga aku dan Eiverd berhak tahu." Kata Tias memecah keheningan. Perlahan Zia mengangkat wajahnya yang kini nampak sembab, disudut matanya terlihat butir airmata yang tersisa. Eiverd sangat tersiksa melihat keadaan itu tapi dia takut mendekat pada Zia. Dia merasa tak pantas menghibur kekasihnya itu.
"Semua terjadi begitu saja, awalnya aku juga tidak tahu kalau aku hamil. Nanti ketika aku pingsan dikantor dan Daniella membawahku ke rumah sakit barulah aku tahu aku hamil." Zia berkata pelan dan sedikit terbata.
"Daniella tahu tentang keadaanmu?" Tanya Tias tak sabar. Dia bisa membayangkan bagaimana Zia melewati semua ini.
"Tidak, aku tidak pernah memberitahunya. Tapi aku pikir dia sudah mengetahuinya namun dia menghargai privasiku dan tetap diam."
"Dan apa maksud Tias bahwa kamu kehilangan janinmu?" Tanya Eiverd hati-hati. Sudah dari tadi dia begitu penasaran. Dia tak akan memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu yang buruk terjadi pada kekasihnya itu.
"Waktu aku ke Manokwari, malam sebelum aku dan Rafael balik ke Jakarta, tiba-tiba aku pingsan saat menaiki tangga. Aku terjatuh ke bawah dan ketika sadar aku sudah berada di rumah sakit. Ternyata saat itu, janin dalam kandunganku tidak dapat diselamatkan, selain karena benturan ketika terjatuh, kondisiku yang lemah, rasa stres yang hebat serta pekerjaan yang melelahkan menjadi faktor lain." Jelas Zia pada mereka. Tias terdiam mendengar penjelasan Zia. Dia tidak tahu harus berkata apa. Sedangkan Eiverd langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Perlahan terdengar isakan dari wajah lelaki itu. Dia begitu menyesal, karena ketidakdewasaannya dia kini kehilangan calon anaknya. Semakin lama isakan itu semakin kuat. Situasi semakin canggung. Zia dan Tias memilih diam. Entah apa yang harus mereka lakukan dalam keadaan seperti ini.
Tiba-tiba Eiverd berdiri dan berlutut dihadapan Zia. Dia membenamkan wajahnya pada kaki Zia dan menangis.
"Aku tahu aku ngak pantas untuk minta maaf, aku salah dan pengecut. Pukul aku semaumu jika itu bisa mengurangi rasa sakit yang kamu alami." Kata Eiverd pada kekasihnya itu.
Zia tidak bereaksi, dia masih memilih diam. Tias hanya menatap mereka, airmatanya pun sudah mulai jatuh.
"Sudahlah, aku ingin istirahat. Kalian pulanglah, aku akan menghubungi kalian jika sudah siap berbicara tentang hal ini lagi. Untuk saat ini, aku ingin sendiri." Zia kemudian melangkah menuju kamarnya, dan menutup rapat pintu kamarnya itu.
Sementara Eiverd dan Tias saling bertatapan, mereka sadar mendesak Zia saat ini bukan tindakan yang tepat. Mereka berdua melangkah keluar, dengan rasa penyesalan yang sangat besar.
Dan di kamar yang gelap itu, tangis Zia pecah dalam keheningan malam.