Sudah seminggu Zia tidak masuk kantor. Insiden yang terjadi di Manokwari mengharuskannya untuk beristirahat. Itu berarti sudah seminggu pula dia tak keluar apartement dan hanya menghabiskan waktu di tempat tidur. Walaupun dia sudah beristirahat cukup, mukanya masih terlihat pucat. Tenaganya belum kembali, seperti dikuras. Untuk berjalan saja dia sering hilang keseimbangan.
Zia merangkak ke arah pintu ketika bel apartementnya berbunyi. Aldo tadi menelepon, dari nada bicaranya seperti ada sesuatu yang serius yang telah terjadi.
Pintu terbuka, Aldo terkejut melihat penampilan wanita didepannya itu. Zia hanya tersenyum kecut melihat reaksi Aldo, siapapun yang melihat keadaannya sekarang pasti akan terkejut. Dia lebih terlihat seperti zombie daripada seorang manusia.
"Kamu sakit?" Tersirat rasa cemas pada kalimat lelaki itu.
"Kecapean aja, mungkin butuh lebih banyak istirahat." Jawab Zia setenang mungkin agar lelaki yang kini duduk didepannya itu tak khawatir.
"Sudah makan?" Aldo masih mencerca Zia dengan pertanyaan. Zia hanya menggelengkan kepalanya. Dia melirik jam dinding yang tergantung diatas akuarium berukuran kecil yang terletak di ruang tamu. Sudah hampir pukul empat sore. Pantas saja tubuhnya terasa tak bertenaga, dia belum makan apapun seharian ini.
"Aku heran sama kamu dan orang-orang sakit lainnya. Apa kalian tidak ingin sembuh? Bagaimana bisa dalam keadaan sakit masih bisa menahan lapar. Untung saja aku sudah pesan makanan lewat aplikasi online. Tapi melihat keadaanmu sekarang, sepertinya aku harus memasak bubur untukmu." Aldo menuju ke dapur, dan mulai beraksi. Untung saja Zia sempat meminta Daniella membawakan bahan makanan, kalau tidak mungkin Aldo sudah memcekiknya sekarang.
Lelaki berhidung mancung itu terlihat gesit di dapur. Dia menyadari Zia sedang memperhatikannya.
"Jangan menunjukkan kekagumanmu seperti itu, aku memang koki handal. Tentu saja itu menambah kharisma ketampananku."
"Jangan terlalu sombong, kamu hanya sedang memasak bubur. Bahkan anak SD pun bisa melakukannya." Kata Zia yang disambut tatapan cemberut Aldo. Zia hanya tersenyum melihatnya. Entah sejak kapan mereka akrab, tapi mengenal Aldo lebih dalam ternyata menyenangkan.
"Aku mandi dulu, masak yang enak dan bersihkan kembali dapurku nanti." Ujar Zia sambil melangkah ke kamar mandi.
Setengah jam kemudian, dia tampak lebih segar. Zia menghirup aroma harum dari dapur. Dia menarik kursi dan duduk tenang di meja makan sementara Aldo menyajikan bubur ayam yang kelihatan begitu lezat. Tampilannya seperti makanan restoran terkenal.
"Ayo habiskan, kamu kehilangan banyak energi." Kata Aldo sambil duduk di depan Zia.
Tak butuh waktu lama bagi Zia untuk menghabiskan bubur itu. Dia kelaparan. Kini dahinya nampak berkeringat.
"Kamu bawah mobil?" Tanya Zia
"Iya, kenapa?"
"Bisa antar aku ke suatu tempat?"
Aldo terlihat bingung namun akhirnya mengangguk. Setelah berganti pakaian, mereka pun pergi ke tempat yang dimaksud Zia. Aldo semakin bingung ketika ternyata itu adalah gedung kantor tempat Zia bekerja. Gedung itu terlihat sepi, hanya ada satu orang satpam yang berjaga.
"Jangan bilang kamu datang untuk bekerja, ayolahhh ini weekend. Jangan buat aku menyesal menemanimu kemari." Aldo tampak was-was, dalam keadaan sakit tak seharusnya Zia datang bekerja.
"Tenang aja, aku pastikan kamu ngak bakalan menyesal." Kata Zia sambil tersenyum.
"Yakin?" Aldo masih tampak tak percaya.
"Iya."
Akhirnya mereka sampai pada tempat yang dimaksud Zia. Ini adalah atap gedung, untuk apa Zia mengajaknya kemari? Apa jangan-jangan Zia sudah mengetahui perselingkuhan Eiverd dan Tyas? Dan sekarang, jangan-jangan dia akan, dia akan bunuh diri dengan melompat dari atap gedung? Pikiran Aldo kacau, wajahnya tiba-tiba terlihat tegang. Dia tak ingin menjadi saksi kematian Zia. Ini gila, benar-benar gila! Sekarang dia menyesal telah menuruti keinginan gadis itu.
Zia berjalan cepat ke tepi gedung itu, jantung Aldo berdegup kencang. Tanpa pikir panjang dia berlari mendapati Zia. Aldo menarik dan mendekap Zia dengan kencang sampai wanita itu hampir tak bernafas.
"Do, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja kan?" Tanya Zia cemas melihat tingkah Aldo.
"Masih ada aku disini, masih banyak yang memihak kamu. Masih banyak yang sayang sama kamu. Tolong jangan lakukan hal yang bodoh, apalagi didepan mata aku." Suara Aldo bergetar, Zia hanya bisa menatapnya.
"Maksud kamu?" Tanya Zia bingung.
"Aku tahu apa yang ada dipikiran kamu, tapi sumpah itu bukan jalan terbaik dari masalah kamu."
"Do, kamu tahu darimana masalah aku?" Zia kaget mendengar ucapan Aldo. Darimana dia tau apa yang menimpaku di Manokwari? Batin Zia.
"Ngak usah tanya aku tahu darimana. Satu hal yang pasti aku akan selalu disampingmu."
"Iya makasi banyak Do, walaupun kita barusan dekat tapi aku sangat menghargai perhatianmu. Sekarang bisa lepaskan tangan aku? Aku mau ambil kursi disana." Kata Zia sambil menunjuk beberapa kursi yang disusun rapi di tepi atap itu.
"Jadi kamu jalan ke arah sana untuk ngambil kursi?" Tanya Aldo
"Iya, emang kamu pikir aku mau ngapain?" Jawab Zia cuek, raut wajah Aldo tiba-tiba berubah. Dia mengetuk keras jidatnya. Astaga, dia barusan berpikir Zia akan bunuh diri.
"Jangan-jangan kamu pikir aku mau terjun bunuh diri yah?"
"Ngak kok." Aldo membantah namun melihat apa yang dilakukannya tadi Zia tau lelaki itu berpikiran yang tidak-tidak.
"Kamu kebanyakan nonton sinetron!" Teriak Zia sambil tertawa keras. Aldo hanya terdiam, lebih baik tidak melakukan sesuatu daripada akan terlihat semakin bodoh didepan Zia.
Matahari sudah mulai tenggelam, warna jingga yang menghiasi sudut barat langit terlihat begitu memukau. Zia tampak sangat menikmati keindahan alam tersebut.
"Kamu tahu alasan aku ngajak kamu kesini?" Tanya Zia pada Aldo yang sibuk mengambil potret keindahan sore yang disajikan langit.
"Pastinya bukan untuk menyaksikan aksi bunuh diri melompat dari atap gedung." Zia tertawa mendengar jawaban Aldo, dia heran mengapa Aldo bisa berpikir dia akan bunuh diri.
"Bukan kok, aku kesini untuk menunjukkan keindahan senja sama kamu. Aku adalah pengagum senja, bahkan walau kerjaan menumpuk, setiap sore aku selalu datang kemari untuk menikmatinya." Ujar Zia
Aldo hanya diam mendengar penjelasan Zia. Dia sependapat, tempat ini adalah tempat yang sempurna untuk menikmati senja.
"Kamu tahu persamaan rindu dan senja? Mereka sama-sama bisa hadir, namun merekapun bisa pergi. Tapi satu hal yang pasti, mereka akan hadir kembali. Entah itu besok atau bisa jadi kapan saja."
"Senja selalu pergi secara perlahan, karena dia tahu pergi secara tiba-tiba hanya akan menyakiti penikmatnya." Sambung Aldo. Zia berpaling menatap Aldo, dia tidak menyangka Aldo bisa merangkai suatu kalimat yang bagus.
"Benar, sedangkan rindu kadang tak seperti itu. Dia selalu datang dan pergi sesuka hatinya. Btw, aku suka pemikiran kamu tentang senja."
"Aku mengutipnya dari sebuah buku." Kata Aldo sambil memainkan mata kirinya. Sebuah pukulan kecil mendarat di lengannya. Zia terkadang geram dengan sikap Aldo, namun disatu sisi dia menikmatinya.
Tak terasa langit jingga itu sudah pergi digantikan gelap malam yang terlihat suram seperti kisah wanita berkacamata itu.