Chereads / Autumn in My Heart / Chapter 19 - Penyesalan

Chapter 19 - Penyesalan

Suasana bandara sudah ramai. Bunyi troly pengangkut koper penumpang menimbulkan kebisingan ringan namun cukup membuat telinga sakit. Beberapa orang terlihat berlari menuju pintu gate. Sepertinya mereka hampir terlambat.

Zia melepaskan kacamata hitam yang dipakainya, di tengah kerumunan orang yang sedang mengantri untuk check in akhirnya dia bisa melihat Rafael yang sedang berdiri dan melambaikan tangan padanya.

Seharusnya mereka akan berangkat besok, tapi tiba-tiba semalam Rafael menghubunginya bahwa penerbangan mereka harus dimajukan hari ini karena ada hal mendesak yang harus segera diselesaikan disana.

Selesai check in, mereka menuju ke ruang tunggu. Masih ada waktu sekitar satu jam sampai boarding. Rafael mengajak Zia menuju ke salah satu kafe yang terletak di sudut kanan dari ruang tunggu.

"Maaf bila merepotkan kamu, aku juga sedikit kaget ketika mereka menelepon bahwa terjadi masalah diproyek yang sedang aku jalankan." Kata Rafael membuka pembicaraan. Dia merasa tidak enak pada wanita didepannya itu. Zia hanya tersenyum dan menggeleng.

"Tidak apa-apa, untung saja hari ini aku memang tidak memiliki jadwal mendesak berhubung hari ini hari minggu."

Rafael menarik nafas lega. Dia senang tidak salah memilih mitra kerja.

"Aku akan membayar lebih untuk waktumu hari ini." Rafael berkata dengan senyum khas menghiasi bibirnya.

"Saya suka caramu dalam berbisnis." Ucap Zia sambil tertawa, membuat lelaki yang didepannya itu pun tertawa.

Jam menunjukkan hampir pukul dua belas, Rafael menyarankan Zia untuk memesan makanan berat karena sudah waktunya makan siang. Dia tahu sekalipun nanti dipesawat mereka akan mendapat makan siang, namun terkadang makanan yang disajikan tidak menggugah selera.

Zia memesan nasi goreng Thailand dan segelas orange juice. Rafael terlihat hanya memesan sepiring roti bakar dengan kopi hitam yang masih menggepulkan asap diatasnya.

"Aku baru tahu sepiring roti bisa membuatmu kenyang di jam makan siang ini." Sindir Zia melihat pesanan Rafael. Sejujurnya dia malu karena melihat setumpuk nasi goreng yang kini didepannya. Ada rasa penyesalan dalam dirinya. Bukankah ini terkesan dia seorang penggemar makanan? Tapi ini saatnya makan siang, tidak ada yang salah dengan pesananku. Desisnya pelan.

"Aku sudah terbiasa dengan makanan seperti ini. Sepuluh tahun hidup di London cukup membuat lambung dan ususku beradaptasi dengan makanan barat." Jawab Rafael sambil meneguk kopi hitam yang dipesannya itu.

Zia hanya menganggukkan kepala, memilih menyudahi percakapan ini dan mulai menyantap makanan didepannya itu.

Bunyi dering handphone Zia membuat Rafael melirik tanpa berkata. Zia mengambil handphone yang diletakkan di tepi meja dan membaca pesan yang masuk.

"Kamu sibuk? Aku ingin bertemu kamu." Zia mengernyitkan alisnya membaca pesan yang ternyata datang dari Aldo. Tumben Aldo memintanya untuk bertemu.

"Maaf, aku lagi di bandara. Ada pekerjaan diluar kota, nanti kalau sudah balik aku telepon kamu."

Zia membalas pesan Aldo dengan rasa penasaran. Apa terjadi sesuatu padanya? Rafael yang sedari tadi memperhatikannya bertanya "Pacar kamu?"

"Ohh bukan, teman aku." Jawab Zia singkat. Rafael mengangkat bahunya dan kembali menikmati roti pesanannya yang sudah hampir dingin.

Pintu apartemen itu dibanting. Tentu saja menimbulkan suara nyaring, tetangganya yang kebetulan melihat tingkah Aldo hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan pria tampan itu. Entah mengapa Aldo masih kesal dengan kejadian kemarin, dia berusaha untuk mengerti posisi Tias dan Eiverd namun sampai saat ini alasan mereka tak bisa diterima.

Dia kemudian menelepon Tias. Yupssss, mereka harus secepatnya meminta maaf pada Zia. Nada dering panggilan terdengar diseberang, tak lama kemudian suara Tias terdengar.

"Ada apa Do?" Tanya Tias dengan suara serak. Tampaknya dia baru menangis semalaman. Namun Aldo tak bergeming dengan kenyataan itu. Dia pantas untuk hal itu.

"Jadi kapan kalian akan menjelaskan ini pada Zia?" Aldo bertanya dengan nada emosi. Dia tidak akan membiarkan kedua sahabatnya itu menjadi pecundang dengan mengulur-ngulur waktu.

"Do, aku kan sudah bilang, aku belum siap bicara sama Zia. Tapi aku janji, kapanpun itu aku akan tetap mengakuinya pada Zia." Jawab Tias memelas. Energinya sudah habis, dia tidak ingin bertengkar lagi dengan Aldo.

"Ngak bisa gitu, sampai kapan kamu akan membiarkan Zia menjadi bodoh dengan perbuatan terkutuk kalian?" Aldo masih menyerang Tias dengan kata-kata tajam. Tias menyeka air mata yang kembali mengucur di pipinya.

"Aku barusan telpon Zia, dia lagi bandara untuk tugas luar kota selama seminggu. Aku janji, nanti pas Zia balik aku akan bicara sama dia." Tias berkata pelan diseberang telepon.

"OK, kamu sudah janji. Ingat pas Zia balik, kamu harus jelasin semuanya sama dia. Kalau tidak, aku tidak akan pernah memaafkan kalian berdua." Aldo menutup sambungan telepon teersebut. Sementara Tias kembali. menangis tersedu. Dia tidak bisa membayangkan kalau dirinya akan dibenci Aldo selamanya.

Tiba-tiba penyesalan itu pun datang. Mengapa dia harus mengambil resiko sejauh ini? Jika saja dia tidak ikut campur dengan permainan Eiverd, mungkin saat ini dia tidak berhutang penjelasan pada Zia dan Aldo.

Semua kini menjadi rumit, Tias merasa begitu bodoh ketika menyadari bahwa langkah yang diambilnya ternyata tidak tepat. Dia bahkan mengabaikan fakta bahwa siapa saja bisa salah paham dengan semua ini.

Sekarang semuanya hampir berakhir, dia akan kehilangan kedua sahabat hanya karena melindungi sahabatnya yang lain yang bahkan tak pantas dilindungi.