Legenda kuno menceritakan bahwa ketika dunia pertama kali muncul dari kekosongan, dua entitas agung terlahir bersama.
Sheng, yang membawa hembusan kehidupan dan kedamaian, serta Luan, yang dalam nafasnya mengandung kekacauan.
Sejak fajar pertama, keduanya berjalan berdampingan seperti bayangan dan cahaya, dua sisi dari keping takdir yang sama.
Mereka adalah paradoks sempurna; satu tidak akan bermakna tanpa kehadiran yang lain.
Kekuatan mereka menari dalam keselarasan, menenun harmoni yang memikat di seluruh dunia.
Ketertiban dan kekacauan, bukan sebagai musuh, melainkan sebagai pasangan abadi yang menjaga keseimbangan rapuh alam semesta.
Namun takdir ternyata memiliki rencana lain.
Sebuah peristiwa misterius yang bahkan para praktisi kuat pun tak mampu memperkirakannya memisahkan mereka.
Luan menghilang dari sisi Sheng, meninggalkan luka menganga yang tak terucapkan.
Kehilangan satu-satunya jiwa yang memahaminya, Luan mulai tenggelam dalam badai emosinya sendiri.
Kesedihan melanda, kemarahan berkobar, dan kebingungan menyelimuti.
Kekuatan kekacauannya yang dahsyat mulai lepas kendali, meluap tanpa terkendali seperti air bah yang menghancurkan tanggul.
Ke manapun langkahnya membawa, jejak kekuatan Luan meresap ke tanah, menggerogoti tatanan alam dan merusak vitalitas kehidupan.
Pohon-pohon yang dahulu rimbun kini meranggas, air yang dahulu jernih berubah keruh, dan udara yang dulu segar kini terasa berat dengan keputusasaan.
Luan merasakan perih di hatinya saat melihat kehancuran yang ditinggalkannya.
Air mata tak kasat mata menetes dalam jiwanya, namun tanpa Sheng di sisinya, ia tak tahu bagaimana menghentikan bencana yang terlanjur tercipta dari kesedihannya.
Dalam perjalanan panjang tanpa henti, Luan menjelajahi luasnya cakrawala dunia.
Ia menyusuri lembah-lembah sunyi yang menggaungkan kesepiannya, mendaki puncak-puncak gunung menjulang yang seolah mencoba menggapai langit yang sama-sama kesepian.
Sepanjang pengembaraannya, ia berjumpa dengan berbagai makhluk dengan segala keunikannya.
Beberapa dari mereka dengan kepolosan dan kemurnian hati, menyambutnya dengan tangan terbuka dan senyum hangat.
Namun yang lain, dengan insting yang telah dipertajam oleh rasa takut, menatapnya dengan mata yang menyipit curiga.
Bisikan-bisikan ketakutan mengikuti setiap langkahnya, menambah beban kesedihan di pundaknya yang sudah berat.
Di awal perjalanannya, Luan berusaha keras mengendalikan kekuatan yang mengalir dalam darahnya.
Setitik harapan masih berpendar dalam hatinya, bahwa suatu hari ia akan menemukan cara untuk hidup tanpa Sheng.
Namun seiring dengan bergulirnya waktu yang kejam, Luan mulai menyadari kenyataan pahit bahwa tidak semua makhluk mampu menerima kehadirannya.
Sepasang mata yang menatapnya dengan kebencian dan ketakutan perlahan mengikis semangatnya yang rapuh.
Tanpa disadarinya, kekuatan kekacauan yang berusaha ia kurung dalam hatinya mulai menemukan celah.
Seperti air yang merembes melalui retakan halus, kekuatan itu mulai bocor, membawa kehancuran bagi mereka yang berani menunjukkan permusuhan.
Kabar tentang Luan menyebar lebih cepat dari angin musim gugur, melintasi gunung dan lautan, menjangkau telinga para praktisi kuat yang telah lama menjaga keseimbangan dunia.
Mata mereka yang bijak melihat bahaya yang mengancam, namun juga memahami penderitaan yang terpancar dari setiap jejak Luan.
Dengan tekad yang berkobar seperti api suci, para praktisi tersebut memutuskan untuk bertindak.
Mereka berpencar ke empat penjuru mata angin, berharap dapat menemukan Sheng yang hilang.
Dalam hati mereka tertanam keyakinan bahwa hanya dengan mempertemukan kembali kedua entitas ini, keseimbangan yang telah goyah dapat dipulihkan.
Bertahun-tahun berlalu seperti mimpi yang terlupakan.
Musim berganti, generasi silih berganti, hingga akhirnya para praktisi menemukan jejak samar yang mereka yakini sebagai tanda keberadaan Sheng.
Awalnya, mereka yang menemukannya didorong oleh rasa penasaran yang menggelitik.
Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang menggoda indera mereka untuk mendekat, seperti melodi lembut yang hanya bisa didengar oleh hati yang sunyi.
Namun, ketika jarak di antara mereka terhapus, kesadaran menyentak mereka bagai gelombang dahsyat.
Napas mereka tertahan, mata terbelalak dalam kekaguman.
Mereka telah menemukan Sheng, entitas kedamaian yang telah lama menghilang dari dunia.
Ia adalah sosok gadis muda yang memancarkan keanggunan abadi.
Kehadirannya seperti fajar pertama yang membelai bumi dengan cahaya lembut, menjanjikan hari baru yang penuh harapan.
Rambutnya tergerai bagaikan aliran sungai keemasan di bawah belaian matahari, berkilau dan bergoyang lembut setiap kali angin menggodanya untuk menari.
Setiap helainya seolah menyimpan butiran cahaya yang memantulkan keindahan semesta.
Ketika pandangan mereka bertemu dengan matanya yang sebiru samudera dalam, dunia seakan berhenti berputar.
Dalam sepasang mata itu tersimpan kedalaman tak terhingga, seperti langit malam yang ditaburi bintang-bintang abadi.
Tidak hanya indah, namun juga menyimpan kebijaksanaan yang melampaui batas pemahaman manusia biasa, seakan sanggup melihat menembus tabir waktu dan ruang.
Wajahnya begitu sempurna hingga sulit diungkapkan dengan kata-kata, seperti karya seni agung yang dipahat oleh tangan takdir itu sendiri. Terukir di sana kelembutan yang menyentuh jiwa, kebijaksanaan yang menenangkan hati, dan kesucian yang tak ternoda oleh waktu.
Meski hanya berbalut pakaian sederhana yang memeluk tubuhnya dengan lembut, keindahan fisiknya tak mampu tersembunyi.
Tubuhnya bagaikan manifestasi kesempurnaan itu sendiri, seperti pahatan dewi yang tercipta dari esensi terpilih alam semesta, indah tanpa perlu sesuatu yang berlebihan.
Namun, lebih dari semua keindahan fisik itu, energi yang terpancar darinya lah yang membuat siapapun terpesona.
Aliran kesucian yang tak terlihat namun begitu terasa, seperti simfoni yang dimainkan oleh alam untuk mengiringi kemunculannya.
Aura kehadirannya seperti belaian teduh di tengah terik kehidupan, menenangkan jiwa-jiwa yang gelisah dan menyembuhkan hati yang terluka.
Seperti bulan yang menerangi malam kelam, ia membawa kedamaian yang mengalir jauh ke dalam jiwa siapapun yang berada di dekatnya.
Deskripsi tentang pesona Sheng telah tersebar luas dalam kisah dan nyanyian, sehingga para praktisi yang menemukannya langsung mengenalinya, seperti mengenali matahari di langit yang cerah.
Meski lega karena telah menemukan harapan untuk menyelesaikan masalah Luan, mereka tak bisa menyembunyikan kebingungan mereka tentang tempat ditemukannya Sheng.
Entitas agung itu ditemukan dalam sebuah Alam Rahasia yang baru saja membuka selubungnya pada dunia.
Para praktisi yang mendatangi tempat itu sebenarnya tak berniat mencari Sheng.
Dengan hati yang rakus, mereka datang untuk berburu harta karun yang konon tersembunyi di balik selubung mistis Alam Rahasia.
Namun takdir menertawakan niat mereka, dan sebagai gantinya, mereka menemukan harta yang jauh lebih berharga daripada emas dan permata, mereka menemukan Sheng.
Pertanyaan yang menggantung di benak para praktisi adalah: mengapa Sheng berada di sana? Meski memiliki kekuatan untuk membuka ruang tersembunyi, apa alasannya melakukan hal tersebut? Dan ketika pertanyaan itu meluncur dari bibir mereka, Sheng hanya tersenyum lembut dengan kebingungan yang tulus di matanya.
"Aku tidak tahu," jawabnya dengan suara yang merdu seperti aliran sungai kecil. "Rasanya aku seperti baru saja terbangun dari mimpi yang sangat panjang."
Meski kedatangan mereka tak dimaksudkan untuk mencari Sheng, para praktisi cepat menyadari besarnya tanggung jawab yang kini jatuh di pundak mereka.
Dengan penuh penghormatan, mereka memutuskan untuk membimbing Sheng keluar dari Alam Rahasia, berharap dapat mempertemukannya kembali dengan Luan secepat mungkin.
Sayangnya, jarak yang memisahkan Sheng dan Luan bukanlah jarak yang bisa ditempuh dalam sekejap mata.
Perjumpaan mereka masih harus menunggu, melewati berbagai rintangan ruang dan waktu.
Dalam perjalanan menuju pertemuan yang dinantikan, Sheng menyaksikan bekas tempat Luan berada sebelumnya.
Tempat-tempat yang kehilangan kehidupannya, tanah yang retak dan gersang, tumbuhan yang layu dan mati, air yang keruh dan beracun.
Kehidupan di tempat itu seperti telah direnggut dengan paksa, meninggalkan kekosongan yang memilukan.
Hatinya terasa dicengkeram oleh rasa bersalah yang menusuk.
"Ini terjadi karena aku tidak berada di sisinya," bisiknya pada angin yang berlalu, dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan.
Tanpa ragu, Sheng memutuskan untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut.
Dengan tangan lembutnya yang terentang, ia mengalirkan kekuatan kedamaian yang mengalir dalam nadinya.
Cahaya keemasan memancar dari tubuhnya, menyentuh setiap sudut yang telah kehilangan kehidupan.
Keajaiban pun terjadi di hadapan mata para praktisi yang tertegun.
Tanaman yang sebelumnya layu perlahan menegakkan batangnya, daun-daun kering menghijau kembali, bunga-bunga mekar dengan warna-warni cerah, dan air yang keruh menjernihkan dirinya.
Kehidupan kembali hadir di tempat yang tadinya mati.
Meski demikian, Sheng tahu bahwa pemulihan sempurna membutuhkan waktu.
Luka yang tertoreh terlalu dalam tidak bisa disembuhkan dalam sekejap, seperti hati yang patah tidak bisa utuh kembali hanya dengan satu kata maaf.
Dengan kesabaran yang hanya dimiliki oleh jiwa-jiwa agung, Sheng melanjutkan perjalanannya.
Setiap langkahnya membawa harapan, setiap sentuhannya membawa kehidupan.
Ia menyusuri tanah-tanah yang telah kehilangan vitalitasnya, tempat-tempat yang tenggelam dalam kekosongan mencekam.
Dengan kekuatan yang mengalir dari dalam jiwanya, ia memulihkan tanah yang terluka ini, seperti ibu yang dengan sabar merawat anaknya yang sakit.
Tumbuhan yang tertunduk lemah kembali menatap langit dengan kepala tegak, udara yang hampa kembali terisi dengan hembusan kehidupan, dan makhluk-makhluk yang nyaris punah perlahan bangun dari tidur panjang mereka.
Di setiap tempat yang dipulihkannya, Sheng merasakan ikatan dalam dirinya semakin kuat dengan sesuatu. tidak, itu adalah seseorang yang sangat dikenalnya.
Sesuatu yang gelap namun juga terang, kacau namun juga teratur, itu adalah Luan.
Seperti dua kutub magnet yang saling mencari, kekuatan mereka mulai memanggil satu sama lain.
Dunia-dunia yang dahulu diselimuti bayang-bayang kekacauan kini mulai merasakan belaian kedamaian.
Kehidupan kembali bersemi, merayakan kebangkitannya dengan tarian angin dan nyanyian burung-burung.
Namun, meski telah membawa kembali kehidupan di banyak tempat, beban yang dipikul Sheng semakin berat.
Setiap penggunaan kekuatan meminta harganya sendiri.
Cahaya yang memancar dari tubuhnya mulai meredup, seperti lilin yang perlahan-lahan habis terbakar.
Jarak antara dirinya dengan Luan semakin menyempit, namun kekuatannya semakin terkuras.