Bumi Akhir Abad 21.
Dunia tidak lagi seperti dulu.
Kota-kota megah dengan gedung pencakar langit yang dahulu bersinar di bawah langit malam kini hanyalah reruntuhan sunyi.
Jalan-jalan yang dulunya dipenuhi kendaraan kini terhampar bangkai mesin, tertutup debu dan karat.
Langit selalu kelabu, berat oleh kabut dan debu.
Matahari hanya bayangan samar di balik tirai asap tebal, seperti harapan yang terus memudar namun tak pernah benar-benar lenyap.
Udara dingin menusuk hingga ke tulang.
Aromanya campuran busuk dari sampah dan reruntuhan yang tak lagi disentuh manusia.
Kota-kota besar yang dulunya pusat peradaban kini lautan beton hancur.
Alam mulai merebut kembali tahtanya, akar-akar pepohonan merambat dengan kekuatan luar biasa, perlahan menembus beton dan baja.
Sungai-sungai jernih telah berubah menjadi aliran beracun yang berkilau aneh di bawah cahaya senja.
Air hitam keunguan itu menyimpan sisa-sisa peperangan besar yang tak pernah berhenti, limbah kimia dan darah yang telah bercampur menjadi satu.
Di antara reruntuhan itu, kehidupan tetap bertahan, meski tak lagi sama.
Orang-orang bergerak waspada, pandangan mereka liar menyapu sekeliling.
Kepercayaan adalah kemewahan yang tak lagi mampu mereka bayar, terlalu banyak pengkhianatan dan darah tertumpah demi sepotong roti atau seteguk air bersih.
Mereka hidup dari hasil mengais reruntuhan.
Jari-jari kotor dan berdarah mencari sisa makanan kaleng atau barang yang bisa digunakan kembali.
Tidak ada senyum di wajah mereka, hanya ekspresi kosong dan lelah yang tampaknya tak berujung.
Mata yang dulu berbinar kini redup, tersembunyi di balik kerutan dan kotoran.
Di sudut kota yang hancur, Mo Tianxing berdiri di balik jendela pecah.
Jemarinya menyentuh kaca dengan hati-hati.
Ia baru saja menyelesaikan pendidikan dasar, sesuatu yang hampir tak lagi berarti di dunia penuh kehancuran ini.
Kertas sertifikat di tangannya seperti lelucon pahit.
Ia menatap tinta memudar pada kertas usang itu, merasakan kemarahan dan kesedihan bergolak dalam dadanya.
"Apa gunanya pendidikan jika dunia tak bisa menjamin hidup bahkan untuk esok hari?" bisiknya, suaranya serak menahan emosi.
Di tangannya yang lain juga tergenggam surat panggilan wajib militer.
Tinta hitam di atas kertas kusam yang terasa seperti vonis kematian.
Jemarinya meremas kertas itu, tapi tak berani merobeknya.
Sekuat apapun kebenciannya pada takdir ini, menolak panggilan sama saja bunuh diri.
Besok dia berangkat ke medan perang, tempat yang selama ini hanya ia dengar dari cerita para veteran yang kembali dengan tubuh penuh luka dan tatapan hampa.
Bahkan dari jauh, ia bisa mendengar samar teriakan yang terbawa angin.
Jantungnya berdebar kencang.
Perutnya mengejang dalam ketakutan yang tak bisa disembunyikan.
Keringat dingin membasahi dahinya meski udara terasa menggigit kulit.
Mo Tianxing lahir di dunia yang hampir tak pernah mengenal kedamaian, di mana suara ledakan dan tembakan lebih akrab daripada tawa dan nyanyian.
Sedari kecil, ia terbiasa tertidur diiringi gemuruh pertempuran di kejauhan, terbangun oleh jeritan kesakitan yang menembus malam.
Negara yang hampir kehilangan seluruh tentaranya dalam perang besar membutuhkan pemuda sepertinya untuk melawan musuh yang bahkan mereka sendiri tak lagi mengerti alasannya.
Perang tanpa tujuan, pertempuran tanpa kemenangan, kematian tanpa makna.
Ia memejamkan mata, berusaha mengingat cerita tentang masa lalu yang dulu dibisikkan ibunya.
Sebelum semuanya runtuh, dunia dipenuhi kenyamanan dan harapan.
Jalan-jalan bersih dengan lampu terang, rumah hangat dengan makanan berlimpah, dan langit biru tanpa asap atau debu.
Teknologi canggih, kendaraan secepat kilat, dan komunikasi yang menembus batas benua dalam sekejap.
Dunia yang hampir tak bisa ia bayangkan, surga yang hanya hidup dalam cerita.
Keserakahan dan ambisi manusia menghancurkan segalanya.
Negara-negara berperang untuk sumber daya yang menipis, hingga akhirnya senjata pemusnah massal digunakan tanpa pertimbangan.
Ledakan nuklir, serangan biologis, dan gelombang elektromagnetik menghapus jejak peradaban dalam hitungan hari.
Perang besar telah berlangsung beberapa dekade.
Senjata-senjata canggih telah lama hilang, digantikan senjata sederhana dari sisa logam dan kayu.
Pasukan tempur lebih mirip gerombolan milisi dengan baju seadanya, tanpa kendaraan berat atau teknologi.
Mereka bertempur dengan tangan, panah, tombak, atau senjata api buatan tangan yang hanya menembakkan beberapa peluru sebelum rusak.
Namun kekejaman perang tak berkurang, hanya berubah bentuk menjadi lebih personal dan karenanya, lebih mengerikan.
Malam datang cepat, membawa dingin yang menusuk tulang dan rasa takut yang mencekik tenggorokan.
Orang jarang keluar setelah gelap, bahaya datang dari alam liar dan sesama manusia yang dipaksa keputusasaan untuk melakukan apapun demi bertahan hidup.
Mo Tianxing menatap cakrawala kelabu, mencoba mengingat warna asli langit yang hampir terlupakan.
Apakah benar-benar biru seperti dalam cerita ibunya? Atau itu hanya dongeng penghibur bagi anak-anak di dunia sekarat?
Di luar sana, seseorang menyeret kereta kayu berisi potongan kayu bakar dan barang bekas.
Suara derit roda yang tak rata bergema di jalanan kosong, suara kehidupan yang masih bertahan meski terluka.
Anak-anak kecil dengan tubuh kurus duduk di sudut jalan.
Mereka bermain dengan batu-batu kecil yang mereka anggap harta karun.
Tawa mereka jarang terdengar, dan ketika terdengar, terasa asing dan menyakitkan, seperti musik di tengah pemakaman.
Seorang ibu muda dengan bayi di gendongannya mengais tumpukan sampah, jari-jarinya berdarah oleh pecahan kaca dan logam tajam.
Matanya terfokus mencari makanan, apapun yang bisa dimakan untuk menjaga bayinya tetap hidup satu hari lagi.
Semua orang tahu dunia ini telah mati.
Meskipun bumi masih berputar, matahari masih terbit dan tenggelam, namun jiwa dari tempat ini telah lama pergi, digantikan kekosongan mengerikan.
Namun, mereka tetap bertahan, bukan karena harapan akan masa depan yang lebih baik, tetapi karena itulah satu-satunya pilihan yang mereka miliki.
Hidup, bagaimanapun kerasnya, masih lebih baik daripada kematian yang tak menawarkan apapun selain kegelapan abadi.
Pagi itu, Mo Tianxing melangkah perlahan, menyusuri jalanan berlumpur dan penuh serpihan bangunan hancur.
Kakinya terasa berat, seperti ditarik beban tak kasat mata yang semakin menekan dengan setiap langkah.
Wajahnya kosong, topeng tanpa emosi yang dipakainya untuk menyembunyikan badai dalam dirinya.
Namun matanya tak bisa berbohong.
Di balik sorot yang berusaha ia jaga tetap datar, terdapat kecemasan tak terucapkan, seperti laut bergejolak namun tak bersuara.
Surat panggilan itu tersimpan di sakunya, kertas usang yang terasa seperti bara api, membakar kulitnya meski tertutup kain.
Ia merasakannya di sana, beban tak kasat mata yang terus mengikis semangatnya.
Di dunia runtuh ini, tak ada tempat untuk pemuda sepertinya.
Mereka yang tak tahu apa yang harus diperjuangkan, selain bertahan hidup.
Mereka yang lahir setelah perang besar, yang tak pernah mengenal dunia selain puing dan debu.
Generasi tanpa masa depan, hanya dengan masa kini penuh darah dan ketakutan.
Ketika sampai di kamp militer yang tersembunyi dalam hutan belantara, Mo Tianxing disambut pemandangan yang membuat hatinya semakin ciut.
Barisan tenda usang berdiri di antara pepohonan kering dan mati.
Wajah-wajah yang menyambutnya tampak jauh lebih tua dari usia sebenarnya.
Mata mereka adalah hal yang paling mengganggunya.
Tatapan kosong, hampa, seperti jendela jiwa yang telah lama mati.
Mereka bukan lagi prajurit, melainkan bayang-bayang manusia yang hanya hidup untuk bertahan, mayat hidup yang masih bisa bergerak dan bertempur, namun telah kehilangan esensi kemanusiaan.
Pelatih mereka adalah veteran perang, pria tangguh dengan tubuh penuh bekas luka.
Luka-luka itu, beberapa masih merah dan basah, beberapa telah membentuk jaringan parut tebal, adalah medali sekaligus kutukan yang harus mereka bawa seumur hidup.
Pikiran mereka hancur seiring waktu, digerogoti oleh ingatan mengerikan dan trauma yang tak pernah teratasi.
Beberapa tertawa tanpa alasan, beberapa terlonjak ketakutan oleh suara biasa, dan beberapa lainnya menatap kosong ke kejauhan.
Mereka tahu satu hal, perang ini tak akan pernah berakhir, dan mereka akan terus bertempur hingga tubuh mereka lelah, atau hancur berkeping di bawah serangan musuh.
Tak ada kemenangan, tak ada kedamaian, hanya hari demi hari berdarah yang mengantarkan mereka semakin dekat ke kematian.
Di kamp gelap dan penuh rasa putus asa itu, Mo Tianxing memulai latihan militer pertamanya.
Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mengalir di punggungnya.
Ini adalah latihan yang akan menentukan nasibnya, apakah ia akan tetap hidup sedikit lebih lama, atau mati bahkan sebelum melihat medan perang sesungguhnya.
Tak ada kemuliaan di sini, tak ada kepahlawanan, hanya kengerian dan keputusasaan yang terselubung dalam rutinitas militer kasar dan brutal.
Mereka hanya diberikan alat-alat sederhana dari logam dan kayu.
Pedang besi tua dengan mata tumpul.
Tombak dengan ujung dari besi berkarat pada batang kayu hampir lapuk.
Panah yang rapuh, dengan tali busur hampir putus.
Mo Tianxing mengambil pedang yang diberikan kepadanya, merasakan beratnya yang tidak merata dan pegangan yang tidak nyaman.
Ini adalah senjata yang akan ia gunakan untuk bertahan hidup, atau mungkin, senjata yang akan gagal melindunginya.
Tangannya bergetar saat pertama kali mengayunkan pedang, namun seiring waktu, ia mulai menemukan ritme, merasakan besi tua itu menjadi perpanjangan tangannya sendiri, meski masih terasa janggal.
Hari-hari di kamp berlalu dengan kelelahan dan keputusasaan.
Tubuh Mo Tianxing protes dengan setiap gerakan, otot-ototnya berteriak kesakitan, tulang-tulangnya berderak oleh tekanan berlebihan.
Mereka berlari hingga kaki mereka hampir patah, bergulat di tanah berlumpur hingga kulit mereka lecet dan berdarah, dan berlatih menggunakan senjata usang hingga telapak tangan mereka melepuh.
Malam hari, mereka tidur gelisah di atas kasur jerami kasar, terjaga oleh suara pertempuran yang bergema di luar batas kamp.
Derap langkah kaki teratur, seperti detik jam yang menandakan waktu mereka semakin menipis.
Dentingan logam saat pedang bertemu pedang, tombak menusuk perisai, berkumandang seperti musik kematian dalam kegelapan.
Mo Tianxing tidak tahu banyak tentang perang yang sesungguhnya, hanya cerita mengerikan yang dibisikkan oleh mereka yang telah kembali.
Namun ia tahu satu hal: ia harus bertahan hidup.
Ia harus berlatih sekuat tenaga, secepat mungkin, dan siap menghadapi kenyataan bahwa besok, atau lusa, atau minggu depan,
ia mungkin menjadi salah satu dari banyak tubuh tak bernyawa yang berserakan di medan perang.