Chereads / Keseimbangan Abadi / Chapter 9 - Pertarungan Terakhir

Chapter 9 - Pertarungan Terakhir

Suatu pagi, ketika embun masih menggantung di daun-daun layu dan matahari belum sepenuhnya muncul dari balik awan kelabu, Mo Tianxing bersama rekan-rekannya dikirim ke garis depan pertempuran.

Pedang besi tua terasa berat dalam genggamannya yang gemetar.

Keringat dingin mengucur di telapak tangannya, membuat gagang pedang terasa licin.

Mo Tianxing menelan ludah dengan susah payah, tenggorokannya kering, sementara jantungnya berdegup liar bagai kuda yang mengamuk dalam dadanya.

Senjata yang mereka terima begitu kasar dan tak terawat, jauh berbeda dari yang ia bayangkan selama pelatihan singkat yang asal-asalan itu.

Namun bukan kondisi senjata yang membuatnya ketakutan setengah mati, melainkan ketidaktahuannya bagaimana menggunakannya dalam pertempuran sungguhan.

Berlatih dengan boneka jerami sangatlah berbeda dibandingkan menghadapi musuh berdarah daging yang siap mencabut nyawanya kapan saja.

Tidak ada lagi waktu untuk teori strategi atau taktik.

Yang tersisa hanyalah insting bertahan hidup primitif yang membuat Mo Tianxing merasa seperti anak domba yang dikirim ke tengah kawanan serigala kelaparan.

Mo Tianxing berdiri terpaku di tengah medan perang, pandangannya kabur oleh asap dan debu yang beterbangan.

Napasnya tersendat, seolah paru-parunya berlumur lem.

Setiap tarikan napas terasa seperti menarik beban berat.

Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia bisa merasakan darah berdentum di telinganya.

Di hadapannya terbentang pemandangan kengerian yang tak pernah terbayangkan bahkan dalam mimpi terburuknya.

Tanah cokelat kehitaman becek oleh darah. Reruntuhan bangunan menjulang seperti kerangka raksasa.

Jeritan kesakitan menusuk gendang telinga, menembus hingga ke sumsum tulang, bagaikan melodi neraka yang tak berkesudahan.

"Berbaris!" teriak komandan dengan suara parau. "Bersiap menyerbu!"

Mata Mo Tianxing bergerak liar mencari rekan-rekannya.

Wajah mereka adalah cermin ketakutannya sendiri, topeng keteguhan yang dipaksakan untuk menyembunyikan kecemasan yang mencengkeram.

Beberapa teman sepelatihannya saling berbisik, mencoba menenangkan diri dengan omong kosong tentang kemuliaan dan keberanian. Mo Tianxing tahu lebih baik.

Tak ada yang mulia dari pembantaian ini.

Dari keremangan senja, sosok-sosok gelap bermunculan.

Mereka bergerak lincah di antara reruntuhan dan pepohonan mati.

Mata mereka berkilat seperti binatang buas.

Belum sempat Mo Tianxing mencerna apa yang terjadi, suara desing panah melesat membelah udara.

Dalam sekejap, tubuh prajurit di sampingnya terhuyung.

Darah menyembur dari dadanya yang tertusuk, mewarnai pakaiannya merah pekat.

Tubuhnya ambruk ke tanah dengan suara berdebum lembut, matanya masih terbuka namun nyawanya telah pergi.

Mo Tianxing terpaku.

Otot-ototnya kaku, napasnya pun tertahan.

Waktu seakan membeku saat ia menatap rekannya yang kini terbaring tak bernyawa.

Pikirannya kosong, tubuhnya seakan lumpuh.

"Bertarung atau mati!" Sebuah teriakan kasar menyadarkannya dari samping.

Lai Wei, prajurit tua yang selalu menertawakan kecanggungan Mo Tianxing selama pelatihan, kini mendorongnya keras.

Dari sudut matanya, Mo Tianxing melihat sosok musuh muncul dari balik batu besar.

Wajahnya penuh kebencian, pedang panjang teracung tinggi, siap menebas.

Tubuh Mo Tianxing bergerak lebih cepat dari pikirannya.

Dengan gerakan kikuk, kakinya melangkah ke samping.

Jari-jarinya yang basah oleh keringat dingin menggenggam erat gagang pedangnya, mengangkatnya dengan tangan gemetar.

Bunyi logam beradu bergema ketika pedang mereka bertemu.

Getarannya merambat hingga ke tulang, membuat Mo Tianxing meringis.

Telapak tangannya terasa kebas dan panas, namun genggamannya tak mengendur.

Musuhnya mendesis geram, matanya menatap tajam tanpa berkedip.

Dalam gerakan terlatih, pria itu mengayunkan pedangnya sekali lagi, menyasar leher Mo Tianxing.

Mo Tianxing merasakan angin dari tebasan itu menyapu kulitnya.

Tubuhnya melompat ke samping secara naluriah, nyaris kehilangan keseimbangan di tanah berlumpur.

Tanpa disadari, pedangnya terangkat.

Saat musuhnya menekan maju, logam tajam itu menembus dada lawannya dengan suara basah yang mengerikan.

Mata pria itu membelalak terkejut, menatap Mo Tianxing dengan pandangan tak percaya.

Dunia Mo Tianxing seakan berhenti berputar.

Darah hangat menyembur, membasahi tangannya, lengket dan berbau amis.

Perutnya bergolak, mulutnya mengering.

Ini pertama kalinya ia mencabut nyawa seseorang.

Bukan rasa kemenangan yang ia rasakan, melainkan kehampaan yang mencekam.

Saat tubuh lawannya merosot jatuh, Mo Tianxing mundur terhuyung.

Dadanya naik turun dengan cepat, mencoba menghirup udara sebanyak mungkin.

Seluruh tubuhnya gemetar hebat seperti daun tertiup angin kencang.

"Jangan berhenti, bodoh! Terus maju!" Lai Wei kembali berteriak sambil berlari melewatinya.

Wajahnya penuh goresan dan darah, matanya tajam dan fokus. "Bertahan hidup atau mati, itu pilihanmu sekarang! Tak ada jalan tengah!"

Kata-kata itu menyadarkan Mo Tianxing.

Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan jantungnya.

Jarinya yang lengket oleh darah menggenggam kembali gagang pedangnya dengan tekad baru.

Dalam kekacauan berdarah itu, sebuah kesadaran merasuki Mo Tianxing.

Ini bukan lagi tentang benar atau salah.

Bukan tentang keadilan atau kebenaran.

Ini adalah pertarungan untuk bertahan hidup.

Untuk melihat matahari terbit esok hari.

Dengan tekad yang mulai terbentuk, Mo Tianxing menggenggam pedangnya lebih erat.

Gerakannya masih kaku, masih dipenuhi keraguan, namun ada sesuatu yang perlahan bangkit dalam dirinya, keinginan primitif untuk bertahan hidup.

Pedang itu terasa berat, seperti beban dosa yang kini harus ia pikul.

Namun beban itu juga menjadi garis tipis yang memisahkan antara hidup dan mati.

Dalam pertempuran, waktu berjalan dengan aneh.

Setiap detik terasa seperti keabadian, setiap menit seperti sekejap mata.

Mo Tianxing bergerak dari satu musuh ke musuh lainnya.

Pedangnya yang semula asing kini mulai terasa seperti perpanjangan tangannya sendiri.

Saat ia berhadapan dengan musuh berikutnya, rasa ragu masih ada namun tidak lagi mendominasi.

Sesuatu yang lebih kuat mendorongnya, itu adalah keinginan untuk hidup.

Dalam gerakan yang lebih yakin, pedangnya menebas tubuh lawannya.

Darah menyembur, memercik ke wajahnya yang kotor.

Napas Mo Tianxing masih tersengal, namun kini ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, kegigihan.

Saat matahari tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat merah darah, Mo Tianxing menatap medan pertempuran dengan mata yang berbeda.

Ia masih ketakutan, masih terguncang, namun sesuatu telah berubah dalam dirinya.

"Kau masih hidup rupanya," Lai Wei menepuk bahunya dengan tangan berlumur darah kering. "Tidak buruk untuk hari pertama."

"Berapa banyak kehilangan kita?" tanya Mo Tianxing dengan suara serak.

"Lebih dari separuh," jawab Lai Wei datar. "Besok pasti akan lebih banyak lagi."

Hari itu, di tengah kekacauan dan kehancuran, Mo Tianxing menyadari bahwa perang ini bukan tentang siapa yang benar atau salah.

Ini adalah tentang bertahan hidup di dunia yang tak lagi peduli akan keadilan.

***

Beberapa bulan berlalu sejak Mo Tianxing pertama kali menginjakkan kaki di medan perang ketika sebuah surat usang tiba untuknya.

Surat dengan lipatan tidak rapi dan noda tanah di beberapa sudutnya, diantarkan oleh seorang kurir yang terlihat lebih lelah dari biasanya.

Mo Tianxing menerima surat itu dengan perasaan campur aduk.

Jemarinya yang kasar, penuh bekas luka dan kapalan, perlahan membuka surat itu.

Matanya menyusuri setiap huruf yang ditulis dengan tinta hitam yang mulai memudar.

Seketika wajahnya memucat seperti kertas.

"Ibumu yang telah lama sakit, akhirnya telah berpulang dengan tenang."

Kalimat itu menghantam Mo Tianxing seperti tombak yang menembus dadanya.

Tangannya gemetar hebat, jantungnya seakan diremas oleh tangan tak kasat mata.

Air mata yang selama ini ia tahan, yang selama ini tak pernah ia izinkan untuk jatuh di hadapan sesama prajurit, kini mengalir tanpa bisa ditahan.

Di antara suara dentingan senjata dan teriakan komandan, Mo Tianxing tenggelam dalam keheningan yang mencekam.

Dunia di sekelilingnya mendadak sunyi, seolah waktu telah berhenti dan ruang telah menyempit menjadi titik kecil yang menyesakkan.

Bayangan-bayangan masa lalu berkelebat di benaknya.

Ibunya yang tersenyum lembut saat mengusap kepalanya, ibunya yang bernyanyi pelan saat malam terasa terlalu dingin, ibunya yang selalu menyiapkan teh hangat meski tubuhnya lemah.

Rasanya baru kemarin ia berpamitan, berjanji akan kembali membawa kebanggaan.

Namun kini, ia tak akan pernah bisa melihat senyum itu lagi.

Hari-hari berikutnya terasa bagai mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.

Mo Tianxing bergerak seperti mayat hidup.

Tangannya tetap mengayunkan pedang, kakinya tetap melangkah maju, tapi hatinya telah mati bersama kabar itu.

Setiap malam, saat rekan-rekannya tertidur kelelahan, Mo Tianxing terjaga.

Matanya menatap hampa ke arah langit berbintang, pikirannya berkelana jauh ke kampung halaman yang kini terasa lebih asing dari sebelumnya.

"Berhentilah meratap seperti anak kecil," suara kasar Lai Wei memecah keheningan malam itu.

Pria tua itu duduk di sampingnya tanpa diundang, menyodorkan sebotol minuman keras murah.

"Ibumu sudah tenang. Dia tidak akan senang melihatmu seperti ini."

"Kau tidak mengerti," gumam Mo Tianxing.

"Justru aku sangat mengerti," Lai Wei meneguk araknya dengan rakus. "Aku kehilangan seluruh keluargaku dalam satu malam saat desa kami diserang. Istri, tiga anak, dan ibuku sendiri. Semua pergi begitu saja."

Mo Tianxing menatap pria tua itu dengan tatapan baru.

Selama ini ia mengira Lai Wei hanyalah prajurit keras kepala yang menikmati perang.

"Lalu bagaimana caranya kau bertahan?" tanya Mo Tianxing lirih.

"Dengan menerima kenyataan bahwa kehidupan dan kematian adalah bagian dari perjalanan yang sama," Lai Wei menatap bintang-bintang.

"Dan dengan menyadari bahwa meratapi mereka terus-menerus tidak akan membuat mereka kembali. Yang bisa kita lakukan hanyalah hidup dengan cara yang akan membuat mereka bangga."

Kata-kata itu menusuk Mo Tianxing, namun juga memberinya sudut pandang baru.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak menerima kabar kematian ibunya, Mo Tianxing tertidur dengan lebih tenang.

Hari berganti hari, dan perlahan-lahan, Mo Tianxing mulai membiasakan diri dengan kematian.

Ia belajar dari Lai Wei tentang cara melihat kematian bukan sebagai akhir yang mengerikan, melainkan sebagai bagian alami dari kehidupan.

"Setiap orang yang lahir ke dunia ini pasti akan mati," kata Lai Wei suatu hari saat mereka mengubur rekan seperjuangan yang gugur. "Yang penting bukan bagaimana kita mati, tapi bagaimana kita hidup."

Mo Tianxing mengangguk pelan.

Kematian rekannya kali ini tidak lagi membuatnya terguncang seperti dulu.

Ada kesedihan, tentu saja, namun juga ada penerimaan.

"Kau tahu," ujar seorang prajurit muda bernama Zhang Hao yang baru bergabung, "Ibuku selalu berkata bahwa orang yang kita cintai tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hidup dalam ingatan kita."

"Ibumu wanita yang bijak," jawab Mo Tianxing dengan senyum tipis. "Seperti ibuku."

Semakin lama di medan perang, semakin Mo Tianxing memahami nilai kehidupan.

***

Suatu pagi yang mendung, kabar menyebar bahwa musuh datang dalam jumlah yang lebih besar.

Langit tertutup oleh asap hitam yang membumbung tinggi dari api yang menyala di kejauhan.

Mo Tianxing berdiri di garis depan, seperti biasa.

Tak ada lagi rasa takut di hatinya, tak ada lagi keraguan.

Hanya ada kekosongan, kekosongan yang anehnya memberikan kekuatan untuk terus melangkah maju.

"Mungkin hari ini," pikirnya saat mengangkat pedangnya, "mungkin hari ini semuanya akan berakhir."

Anak panah pertama menembus udara, diikuti oleh ribuan lainnya.

Suara teriakan dan ringkikan kuda bercampur menjadi simfoni kematian yang telah akrab di telinganya.

Mo Tianxing melangkah maju, pedangnya terayun dengan ketepatan yang mengerikan.

Namun kali ini rasanya berbeda.

Setiap ayunan pedangnya dan langkahnya terasa lebih berat.

Seolah tubuhnya sendiri telah terlalu lelah bertarung.

Sebuah pedang musuh berhasil menyayat lengan kirinya, mengirimkan gelombang rasa sakit yang menyengat.

Darah segar mengalir dari luka yang menganga, namun ia tak memedulikannya.

Di tengah keriuhan pertempuran, Mo Tianxing melihatnya, seorang prajurit musuh dengan helm berhias bulu merah.

Mata mereka bertemu, dan tanpa perlu kata-kata, keduanya tahu bahwa ini adalah pertarungan hidup dan mati.

Mo Tianxing mengangkat pedangnya, namun tubuhnya yang lelah seperti berkhianat.

Gerakannya lambat dan mudah terbaca.

Pedang musuh terayun, menembus celah di zirahnya yang usang.

Rasa sakit yang luar biasa menjalari seluruh tubuhnya, mengaburkan pandangannya sejenak.

Darah hangat merembes dari lukanya, membasahi tanah di bawahnya.

Dunia di sekitarnya mulai berputar, suara-suara bertempur semakin samar.

Namun di tengah rasa sakit yang mencengkeram, sudut bibir Mo Tianxing tertarik ke atas, membentuk sebuah senyum.

Sebuah senyum yang tak pernah ia tunjukkan sejak lama.

Senyum yang anehnya penuh kedamaian.

"Akhirnya," bisiknya pelan, "akhirnya aku bisa pergi, pergi dari neraka yang tak pernah berakhir ini."

Pedangnya terlepas dari genggamannya, jatuh dengan dentingan pelan ke tanah berbatu.

Tubuhnya ambruk, terbaring telentang dengan mata menatap langit yang mulai gelap.

Suara-suara pertempuran terdengar semakin jauh, semakin samar, seperti gema dari kehidupan yang perlahan memudar.

Napasnya semakin pendek, dadanya naik turun dengan susah payah.

Pandangannya mulai kabur, dan dalam kegelapan yang menyelimuti, Mo Tianxing melihat kilasan-kilasan hidupnya.

Semua perjuangan, semua pengorbanan, semua kenangan yang telah ia lalui.

"Apakah ini akhirnya?" tanyanya pada kekosongan.

Matanya perlahan menutup, napasnya berhenti.

Detak jantungnya yang selama ini menemaninya melalui ribuan hari penuh perjuangan kini terdiam.

Mo Tianxing telah pergi, meninggalkan dunia yang telah lama kehilangan warnanya.

Namun di tengah kesedihan yang menyelimuti kematiannya, ada sedikit rasa damai.

Rasa damai karena akhirnya, setelah sekian lama, ia bisa beristirahat dari semua penderitaan dunia.

Dan ketika hujan mulai turun, membasahi wajahnya yang kaku, tubuh Mo Tianxing masih menyimpan senyum terakhirnya.

Senyum seseorang yang akhirnya menemukan kedamaian setelah perjalanan panjang yang melelahkan.

Namun takdir rupanya memiliki rencana lain untuk Mo Tianxing.

Ini bukanlah akhir perjalanannya, melainkan hanya awal dari kisah yang lebih besar yang akan segera dimulai...