Chereads / Keseimbangan Abadi / Chapter 3 - Pembatasan Kristal Kekacauan

Chapter 3 - Pembatasan Kristal Kekacauan

Di luar dunia tempat Luan berada, para praktisi berkumpul dalam jumlah yang mencengangkan.

Udara bergetar penuh ketegangan saat ribuan sosok berjubah melayang di angkasa, mata mereka berkilat dingin, mengarah pada satu titik.

Dunia yang dulunya hijau dan penuh kehidupan kini menguning layu, tanah retak-retak menangis kehausan, daun-daun berguguran seperti air mata pohon, sementara makhluk-makhluk di dalamnya merayap lemah, bertahan dengan napas terakhir mereka.

Dari ketinggian, para praktisi mengamati kehancuran di bawah mereka.

Mereka bergeming dalam keheningan, menyaksikan kematian sebuah dunia.

Jika seseorang mendongak dari bawah, langit biru telah lenyap, berganti dengan lautan wajah-wajah asing yang mengepung seperti kawanan burung pemangsa tanpa ampun.

Namun, Luan tak menyadari semua ini.

Matanya kosong memandang kekosongan.

Pikirannya tersesat dalam labirin kegelapan, terombang-ambing dalam kabut yang tak berujung.

Dadanya naik-turun perlahan, seolah waktu bergerak lambat bagi dirinya.

Para praktisi bergerak dengan perhitungan.

Tatapan mereka tajam, gerakan mereka terukur.

Tak ada teriakan perang, tak ada serangan gegabah.

Dengan ketenangan yang menakutkan, mereka membentuk formasi rumit di langit, jemari mereka menari di udara, merapalkan mantra kuno yang tak terucapkan selama ribuan tahun.

Ribuan Plat Giok bercahaya lembut di tangan para praktisi seperti kunang-kunang raksasa yang menari di kegelapan.

Sinar mereka berkedip-kedip, menyampaikan pesan tanpa kata.

Setiap kelompok kecil praktisi memiliki satu Plat Giok, mengalirkan Kekuatan Spiritual mereka ke dalamnya dengan keringat bercucuran dari dahi.

Mata mereka menyipit menahan beban, napas mereka tertahan, namun tak ada yang berani berhenti.

Langit mulai berubah warna saat Plat Giok satu per satu menyala terang.

Pertama hanya beberapa titik, lalu puluhan, ratusan, hingga miliaran cahaya berpendar seperti bintang-bintang yang lahir di siang hari.

Cahaya-cahaya itu kemudian terhubung, membentuk jaring raksasa yang berkilauan, melebar ke seluruh penjuru langit, mengurung dunia dalam sangkar cahaya tanpa celah.

Keheningan mencekam menggantung di udara.

Tak ada suara, hanya detak jantung ketakutan yang bergema.

Semua mata menatap nanar, menunggu detik-detik terakhir dunia mereka dengan perasaan campur aduk antara takut, putus asa, dan penyesalan yang terlambat.

Para penduduk dunia itu meringkuk di tanah, memeluk lutut mereka, tubuh menggigil dalam ketakutan.

Mata mereka basah, tapi air mata seolah enggan keluar, tertahan oleh kengerian yang terlalu besar untuk ditangisi.

"Ini pasti hanya mimpi buruk..." bisik seorang wanita tua dengan suara bergetar, jemarinya yang keriput mencengkeram erat jubah lusuhnya. "Kita pasti akan terbangun sebentar lagi..."

Seorang pria paruh baya di sampingnya mendengus pahit. "Berapa kali kau akan membohongi dirimu sendiri, Nyonya? Lihatlah langit itu... Inilah akhir kita."

Mereka yang dulu penuh semangat juang kini hanya bisa terduduk lemah.

Lutut mereka lemas, hati mereka hancur.

Selama bertahun-tahun mereka bertahan, menggigit bibir menahan derita, berharap suatu hari bantuan akan datang dari luar.

Alih-alih penyelamatan, yang datang adalah kehancuran total.

"Kami bertahan dengan tetesan darah terakhir kami..." raung seorang anak muda dengan kepalan tangan berdarah, matanya menatap tajam ke langit. "Dan beginikah balasannya? Dikorbankan seperti lalat?"

Amarah dan pengkhianatan mengalir deras dalam darah mereka, meluap dalam teriakan-teriakan pilu yang mengiris jiwa.

Namun, para praktisi di langit tetap tak bergeming.

Wajah mereka keras bagai batu, hati mereka tertutup rapat.

Jeritan penduduk hanyalah angin lalu bagi mereka, sebuah konsekuensi menyakitkan yang tak dapat dihindari.

Perlahan, jaring cahaya di langit mulai turun, meremas dunia dalam pelukannya yang mematikan.

Angin bertiup kencang, mendadak berubah menjadi badai mengamuk yang mencabik-cabik segalanya.

Bebatuan beterbangan, pepohonan tercerabut dari akarnya, rumah-rumah hancur berantakan seperti kartu yang ditiup angin.

Udara menebal, menjadi semakin berat dan menyesakkan.

Para penduduk terbatuk, berlutut, mencoba menarik napas namun hanya menemukan kesakitan.

Darah menetes dari hidung, mulut, dan telinga mereka, kulitnya terkoyak oleh angin tajam yang merobek-robek.

Mereka yang lemah jatuh terlebih dahulu, tubuh mereka tergolek tak bernyawa, sementara yang kuat masih bertahan, menggertakkan gigi yang berlumuran darah.

Di tengah kekacauan itu, Luan berdiri tegak.

Rambut hitamnya melambai-lambai diterbangkan angin badai, namun tubuhnya tak bergeming sedikit pun.

Tekanan yang menghancurkan dunia hanyalah semilir angin baginya, jaring cahaya yang mengepung tak lebih dari sebuah gangguan kecil.

Gunung-gunung mulai runtuh, tanah merekah lebar, menampakkan inti dunia yang berpijar merah.

Batu-batuan besar beterbangan seperti hujan kematian, menghujani permukaan yang telah hancur, mengubur setiap jejak kehidupan dalam kubur kegetiran.

Tak ada lagi yang bernafas di dunia itu selain Luan.

Penduduk asli telah menjadi debu dalam angin kehancuran, jiwa mereka terbang entah kemana, meninggalkan kesunyian yang memilukan.

Kekuatan Kekacauan dalam diri Luan akhirnya bangkit, melingkupinya dengan cahaya gelap yang berkecamuk.

Namun, bahkan kekuatan itu tak cukup melawan jaring yang semakin mengetat.

Para praktisi menuangkan lebih banyak energi, jaring cahaya itu kini menyatu dengan dunia, mencengkeram Luan dalam genggaman maut.

Dunia hancur berantakan.

Tanah merekah hingga ke inti, gunung-gunung yang perkasa kini rata dengan tanah.

Dan akhirnya, Luan menyadari sesuatu, kakinya mulai terbenam ke dalam tanah, tertarik oleh kekuatan yang tak bisa dilawannya.

Dia mencoba memberontak, menggeliat dalam cengkeraman dunia, mendorong dengan seluruh kekuatannya.

Otot-ototnya menegang keras, urat-urat di lehernya menonjol seperti tali, matanya melebar dalam kengerian.

Tapi semua sia-sia.

Jaring tidak hanya bertahan, tapi semakin kuat, mendorongnya lebih dalam ke perut bumi.

Teriakan Luan memecah udara, melengking tinggi, merobek kesunyian dengan keputusasaan yang begitu dalam.

Suara itu bukan lagi suara manusia, tapi jeritan makhluk yang terperangkap dalam kesakitan abadi.

Jeritan itu bergema di seluruh cakrawala, tersebarl dari bintang ke bintang, menyampaikan penderitaan yang tak terlukiskan.

Dari kedalaman dunia, rantai-rantai raksasa muncul seperti ular besi yang terbangun dari tidur panjang.

Mereka melilit kaki, tangan, dan tubuh Luan dengan kecepatan luar biasa, menariknya semakin dalam ke kegelapan dunia.

Rantai-rantai itu berdenyut kehijauan, menyerap Kekuatan Kekacauan dari tubuhnya, mengalirkannya kembali ke jaring di langit dalam siklus tanpa akhir.

Perlahan, teriakan Luan melemah.

Dari jeritan putus asa menjadi raungan tertahan, lalu erangan lirih, hingga akhirnya hanya desah napas yang hampir tak terdengar.

Matanya yang dulu berkilat-kilat kini meredup, kehilangan cahayanya.

Dunia yang luas itu kini terkompresi menjadi seukuran gunung besar.

Jaring cahaya berubah menjadi kristal transparan yang membungkus sempurna, memenjarakan segala kehidupan di dalamnya dalam kebekuan waktu.

Inilah yang kelak akan dikenal sebagai Pembatasan Kristal Kekacauan, segel terkuat yang pernah diciptakan dalam sejarah Ras Manusia.

Para praktisi menghela napas lega.

Keringat mengalir deras dari dahi mereka, wajah mereka pucat kelelahan.

Beberapa jatuh berlutut di udara, energi mereka terkuras habis setelah ritual yang menguras jiwa.

Namun tugas mereka belum selesai.

Kristal itu harus dipindahkan ke tempat yang lebih aman, jauh dari jangkauan siapapun.

Meski ukurannya menyusut, berat dunia itu tetap sama.

Diperlukan kekuatan gabungan para praktisi puncak untuk mengangkatnya.

Mereka yang lemah pamit lebih dulu, membungkuk hormat sebelum menghilang ke kejauhan dengan hati yang lega namun berat.

Tahun-tahun berlalu dalam perjalanan panjang melintasi hamparan bintang-bintang.

Jubah mereka compang-camping dimakan waktu, rambut mereka memutih oleh beban dan kelelahan.

Pada akhirnya, mereka tiba di tempat yang telah ditentukan, orang-orang menyebutnya sebagai Ujung Kehampaan Tak Berujung.

Di tempat ini, planet, dunia dan bintang hanya tampak sebagai titik-titik cahaya jauh.

Beberapa praktisi telah mencoba melintasi batas ini selama berabad-abad, namun tak satupun kembali dengan jawaban pasti tentang apa yang ada di baliknya.

Pembatasan Kristal Kekacauan tidak dibiarkan begitu saja.

Para praktisi membentuk formasi baru, tangan mereka bergerak cepat mengukir simbol-simbol di ruang hampa.

Cahaya memancar, menyelimuti kristal dalam kilau membutakan.

Perlahan, kristal itu memudar, menjadi samar, hingga akhirnya menghilang dari pandangan dan tersembunyi di balik ilusi tingkat tinggi yang akan menipu mata terlatih sekalipun.

Dengan tugas terselesaikan, para praktisi saling berpamitan.

Tatapan mereka menyiratkan rahasia bersama yang akan mereka bawa hingga ke liang kubur.

Satu per satu, mereka pergi, kembali ke dunia masing-masing dengan hati yang berat namun puas.

Beberapa tahun kemudian, Sheng akhirnya keluar dari pengasingan.

Ketika ia kembali ke tempat pertemuan yang dijanjikan dengan Luan, kakinya terhenti mendadak.

Dunia itu lenyap, hilang tanpa jejak.

Dadanya sesak mendadak, kepalanya pusing, seolah pukulan tak terlihat menghantam telak jantungnya.

"Apa yang terjadi?" bisiknya pada kekosongan.

Tak ada jawaban, hanya gema suaranya sendiri yang memantul seolah mengejeknya.

Setelah momen keterkejutan berlalu, tekadnya membulat.

Ia harus mencari jawaban.

Dengan gerakan tergesa, ia mencari seorang praktisi yang dikenalnya, seseorang yang mungkin tahu sesuatu.

Pertemuan itu membuatnya hancur.

Praktisi itu menatapnya dengan campuran rasa kasihan dan takut, menceritakan peristiwa besar yang telah terjadi, seperti bagaimana para praktisi seluruh dunia bersatu untuk menyegel Luan dan dunianya.

Sheng merasa dunianya runtuh.

Kakinya gemetar, pandangannya mengabur.

Semua suara di sekitarnya berubah menjadi dengung tak bermakna, ia nyaris pingsan berdiri.

"Nona Sheng... Nona Sheng!" Suara itu terdengar jauh, seperti dari ujung terowongan panjang.

Praktisi di depannya menatap khawatir, mengguncang bahunya perlahan.

Sheng menarik napas dalam, mencoba mengendalikan diri.

Dengan suara yang hampir pecah, ia bertanya, "Di mana... di mana mereka membawanya?"

Praktisi itu memberikan informasi tentang seseorang yang mungkin tahu lebih banyak.

Tanpa membuang waktu, Sheng bergegas pergi, harapan tipis menyala di matanya yang basah.

Perjalanan panjangnya membawa Sheng ke seorang praktisi tua yang tahu rahasia Luan.

Setelah pembicaraan singkat yang dipenuhi bisikan dan tatapan waspada, praktisi itu setuju menunjukkan jalan menuju Ujung Kehampaan Tak Berujung tempat Pembatasan Kristal Kekacauan berada.

Tak sabar dengan kecepatan sang praktisi, Sheng membungkusnya dengan kekuatannya sendiri, membawanya melintasi ruang dengan kecepatan melampaui kecepatan cahaya.

Rambut Sheng berkibar liar, matanya tajam menatap ke depan, tangannya gemetar menahan emosi.

Bulan berganti bulan dalam perjalanan mereka.

Bintang-bintang berkilauan melintas cepat di samping mereka seperti hujan cahaya.

Pada akhirnya, mereka tiba di tempat yang dituju, namun hanya kehampaan yang menyambut.

Namun Sheng merasakannya, hubungan samar yang familiar.

Jantungnya berdebar kencang, instingnya mengatakan bahwa Luan masih di sana, tersembunyi entah bagaimana.

Seorang tetua berjaga di kekosongan itu.

Setelah percakapan singkat dan pengakuan identitas, ia mengangkat Plat Giok di tangannya.

Pusaran energi muncul di hadapan mereka, menyibak tabir ilusi yang sempurna.

"Silakan masuk," ujar sang tetua dengan nada hormat bercampur waspada.

Sheng melangkah masuk tanpa ragu.

Di hadapannya, sebuah dunia sebesar gunung besar melayang dalam keheningan.

Kristal transparan berkilau menyelimuti permukaannya yang hancur.

Tangannya terulur menyentuh permukaan kristal itu, dingin dan keras seperti es abadi.

Kesadaran ilahinya menjelajah menembus kristal, mencari, mencari... dan akhirnya menemukan Luan di inti dunia.

Tubuhnya terikat oleh rantai-rantai mistis yang melilit erat, menyerap Kekuatan Kekacauan darinya tanpa henti.

Matanya tertutup, wajahnya pucat seperti mayat hidup.

"Luan..." bisik Sheng, suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung.

Tak ada jawaban.

Hanya kesunyian yang menyakitkan.

Meski begitu, ia tetap berbicara, berjam-jam, berhari-hari.

Suaranya kadang lirih berbisik, kadang pecah dalam isak tertahan.

Entah apa yang ia katakan, tapi ketika akhirnya ia pergi, matanya basah, namun ada keteguhan baru di langkahnya.

Sejak saat itu, ia mulai sering mengunjungi Luan.

Setiap kali ia datang, ia membawa cerita baru, kenangan lama, atau sekadar kehadiran yang setia.

Karena ia tahu, bahkan dalam kegelapan terkelam, setitik cahaya harapan tidak akan pernah padam.