Chereads / Keseimbangan Abadi / Chapter 6 - Campur Tangan Dao Surgawi

Chapter 6 - Campur Tangan Dao Surgawi

Suasana pertempuran masih terasa.

Kapal-kapal Ruang yang dulu gagah perkasa kini hanya serpihan yang mengambang, compang-camping dan bobrok, seolah mengisahkan kehebatan perang yang baru saja berlalu.

Di antara kehancuran itu, beberapa Kapal Ruang berkualitas tinggi masih bertahan, berdiri tegak seakan menolak untuk menyerah pada kehancuran di sekitarnya.

Suara ratapan memenuhi kehampaan.

Para praktisi memeluk rekan-rekan mereka yang sekarat, mata berkaca-kaca menatap tubuh yang perlahan kehilangan cahaya kehidupan.

Ada yang sudah terbujur kaku, wajah mereka membeku dalam ekspresi terakhir saat gugur di medan pertempuran.

"Bertahanlah! Kau tidak boleh mati di sini!" teriak seorang praktisi, suaranya pecah oleh kesedihan saat darah rekannya membasahi telapak tangannya.

Mereka semua datang dengan kesadaran penuh bahwa kematian adalah harga yang mungkin harus dibayar.

Namun, ketika kenyataan itu berdiri di hadapan mereka, rasa sakit dan kehilangan tetap tak tertahankan.

Tangan-tangan bergetar, mata-mata basah, dan hati yang remuk menjadi saksi bisu betapa berharganya nyawa yang telah hilang.

Para praktisi yang tersisa mengumpulkan kekuatan, bersiap untuk menghancurkan sisa jiwa Luan yang masih bertahan.

Jari-jari mereka sudah terangkat, menggunakan segel mantra penghancur, namun...

KRAAAAAKKK!

Suara mengerikan seperti kaca realitas yang dirobek paksa menggema hingga ke sudut terjauh Kehampaan Tak Berujung.

Getaran dahsyat menyapu seluruh medan perang, membuat para praktisi terhuyung dan jatuh berlutut, mata mereka melebar karena ketakutan yang mendalam.

"Ap-apa itu?" bisik seorang praktisi, suaranya nyaris hilang ditelan ketakutan.

Dalam pertempuran sebelumnya, bentrokan antara serangan Luan dan serangan dari formasi pembunuh memang menciptakan Retakan Ruang.

Tapi retakan-retakan itu selalu pulih dengan sendirinya, menutup seperti luka yang sembuh secara alami.

Namun, kali ini tidak.

Retakan itu justru semakin lebar, menganga seperti mulut raksasa yang haus darah.

Celah Ruang terbentuk, jurang tanpa dasar yang menelan cahaya, seakan menawarkan jalan menuju ketiadaan abadi.

Jantung para praktisi berdegup kencang.

Telapak tangan mereka basah oleh keringat dingin.

Lalu, dari dalam kegelapan Celah Ruang, sesuatu muncul.

Sebuah mata.

Mata tunggal raksasa yang memancarkan aura keagungan tertinggi.

Retina berwarna emas dengan iris hitam yang seolah menyimpan rahasia seluruh semesta.

Tatapannya dingin dan acuh tak acuh, menyapu seluruh medan pertempuran dalam sekejap.

Para praktisi merasakan eksistensi mereka ditelanjangi, dinilai hingga ke relung jiwa terdalam.

Ketakutan mencekam menjalari tulang belakang, membuat lutut mereka gemetar dan napas tercekat.

Bahkan para leluhur yang baru bangkit dari kubur pun merasakan kengerian yang sama.

"D-Dao Surgawi..." bisik seorang praktisi tua, suaranya pecah dan bergetar seperti daun kering ditiup angin.

Waktu seakan membeku.

Namun, ini bukan penghentian waktu biasa.

Para praktisi masih bisa merasakan denyut jantung mereka, masih bisa berpikir dan bernapas, tapi seluruh realitas terasa diambil alih oleh kehendak yang jauh lebih tinggi dan tak terjangkau.

Di tengah keheningan yang mencekam, mata Dao Surgawi menatap intens pada dua jiwa yang tersisa di medan pertempuran, Sheng dan Luan.

Dua entitas yang kini hanya berupa sisa jiwa yang nyaris padam.

"Beri aku... satu kesempatan lagi..."

Suara Sheng menembus keheningan, lembut namun dipenuhi ketulusan yang mendalam.

Meski hanya berupa sisa jiwa, suaranya menggetarkan hati setiap yang mendengar.

Luan, yang telah menghabiskan seluruh kekuatannya, hanya bisa terdiam tak berdaya.

Tatapan Mata Dao Surgawi tetap tak berubah.

Tidak ada emosi di sana, tidak ada belas kasihan maupun kemarahan, hanya tatapan saksi sejati yang melihat segala sesuatu apa adanya.

Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Cahaya ilahi turun dari mata raksasa itu, menyelimuti kedua sisa jiwa dengan kelembutan yang misterius.

Kekuatan yang melampaui imajinasi semua yang hadir melucuti seluruh kekuatan Sheng dan Luan hingga ke esensi terdalam, menghapus segala yang pernah diberikan kepada mereka.

Dua entitas permulaan yang pernah ditakuti itu kini hanya berupa berkas jiwa biasa, tanpa kekuatan, tanpa keagungan.

Tanpa kata-kata, dua berkas cahaya melesat ke arah yang tak diketahui.

Satu berwarna emas lembut, satu lagi hitam kelam seperti malam tanpa bintang.

Mereka meluncur dengan kecepatan yang tak terjangkau, meninggalkan batas Kehampaan Tak Berujung dalam hitungan detak jantung.

"Apakah mereka pergi ke Kehampaan Tak Berujung lainnya?" gumam seorang praktisi, matanya masih terpaku pada titik di mana cahaya itu menghilang, seperti anak yang kehilangan arah.

Tidak ada yang tahu jawabannya.

Kebanyakan praktisi hanya mengetahui bahwa tempat mereka berdiri adalah Ujung Kehampaan Tak Berujung.

Namun, hanya segelintir praktisi yang tahu kebenaran lebih dalam, bahwa di luar Ujung Kehampaan ini masih ada Kehampaan Tak Berujung lainnya yang tak terjangkau meski mereka terbang sepanjang masa hidup mereka.

Para praktisi hanya bisa berdiri terpaku, menyaksikan takdir dua entitas agung yang kini berada di luar jangkauan mereka.

Apakah ini benar-benar kesempatan baru, atau hanya siklus lain yang akan terulang dalam skenario berbeda?

Mata Dao Surgawi perlahan menutup, seperti kelopak bunga yang layu di akhir musim.

Celah Ruang yang menjadi pintu masuknya mengkerut dan menutup kembali, menyisakan bekas luka samar di permukaan realitas.

Kehadirannya singkat seperti mimpi yang nyata.

Tapi dampaknya begitu nyata.

Kapal Ruang yang bobrok dan hancur, darah yang mengambang seperti kabut merah, potongan tubuh, dan mayat tersebar di kehampaan.

Kemenangan terasa begitu hambar dan pahit, harga yang dibayar terlalu mahal.

Di tengah lautan kehancuran, seorang pemuda berdiri tegak di antara puing-puing Kapal Ruang.

Rambutnya yang panjang berkibar, wajahnya tersembunyi di balik bayang-bayang.

Luka-luka dari pertempuran sebelumnya masih membekas di tubuhnya, darah kering menghiasi kulitnya seperti tato merah yang menakutkan.

Namun, tidak ada setitik pun kelemahan dalam sorot matanya.

Mata itu berkilat dingin, penuh dengan tekad yang membara dan dendam yang tak tergoyahkan.

Tangannya terkepal begitu keras hingga darah segar merembes dari sela jarinya, kuku-kukunya menancap dalam ke daging.

Rasa sakit itu tidak digubrisnya, seolah hanya angin lalu dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya.

"Akhirnya... saatnya telah tiba," gumamnya pelan, giginya bergemeretak menahan luapan emosi.

Meski pertempuran yang baru saja usai sangat kacau dan mematikan, pemuda ini tidak pernah melepaskan pandangannya dari Luan.

Matanya yang tajam mengikuti setiap gerakan entitas itu, hingga ke tetesan darah hitam yang kini mengambang tepat di hadapannya.

Bagi mata yang tak terlalu memperhatikan, darah itu mungkin terlihat seperti darah biasa.

Pertempuran telah memakan banyak korban, dan darah berserakan di mana-mana.

Namun, pemuda itu tahu persis, ini adalah darah Luan, substansi langka yang mungkin hanya akan ia temui sekali seumur hidup.

Tanpa ragu, ia melangkah maju.

Kekuatan Spiritual yang kuat menyelimuti tubuhnya, memberikan aura keemasan yang kontras dengan kegelapan di sekitarnya.

Dengan gerakan yang terlatih dan hati-hati, ia mulai mengumpulkan darah hitam itu.

Denyut kekuatan merusak dalam darah Luan membuat ruang di sekitarnya bergetar samar, seperti udara di atas bara api.

Namun, pemuda itu tetap tenang, seolah telah mempersiapkan diri untuk momen ini sejak lama.

Jari-jarinya bergerak lincah, membentuk simbol-simbol kompleks.

Kekuatan Spiritualnya membungkus darah itu dalam segel yang rumit, lapisan demi lapisan perlindungan untuk menahan kekuatan korosif di dalamnya.

Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan darah tersegel itu ke dalam sebuah artefak kuno berbentuk tabung kristal.

Artefak itu memancarkan aura isolasi absolut, dindingnya berkilau dengan rune-rune perlindungan yang berpendar biru pucat.

Para praktisi lain terlalu sibuk mengurus korban dan memperbaiki kerusakan, sehingga tindakan pemuda ini luput dari perhatian.

Bagi mereka yang melihat sekilas, ia hanya tampak seperti seseorang yang mengambil barang miliknya yang tercecer atau membantu mengumpulkan puing-puing.

Setelah memastikan darah Luan tersimpan dengan aman, pemuda itu berpaling kepada rekan-rekannya yang masih bertahan.

Matanya yang tajam menyapu mereka satu per satu, menilai kondisi dan kelelahan yang terpancar dari tubuh mereka.

"Aku harus segera pergi," katanya dengan suara rendah dan tegas, nada yang tak menyisakan ruang untuk pertanyaan. "Ada sesuatu yang harus kuselesaikan."

Tanpa menunggu jawaban panjang, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan rekan-rekannya dalam kebingungan.

Mereka hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, beberapa mengucapkan kata-kata formal perpisahan yang terdengar hampa.