Chereads / The Outsider and His Destiny / Chapter 4 - Chapter 4 : Sesuatu yang aneh mulai terjadi

Chapter 4 - Chapter 4 : Sesuatu yang aneh mulai terjadi

Pendatang Dan Takdirnya

Chapter 4 : Sesuatu yang aneh mulai terjadi

Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)

{ Peringatan! Di chapter ini mengandung unsur Gore, jika yang tidak nyaman bisa baca secara cepat }

Seminggu telah berlalu sejak Wisnu menerima tanda pengakuan sebagai penduduk asli. Kini, tanda yang terukir di lengan kanannya telah sembuh sepenuhnya, meninggalkan bekas yang tampak seperti simbol unik. Saat melihatnya di kaca, ia tidak bisa menahan senyum kecil.

"Dilihat-lihat kok keren ...." gumamnya, memutar sedikit lengannya untuk melihat tanda itu dari berbagai sudut.

Selain tanda di lengannya, ia juga selalu mengenakan token kayu pengenal sebagai kalung, tersembunyi di balik bajunya. Meski sederhana, ada perasaan berbeda saat memilikinya—seakan kini ia benar-benar memiliki tempat di pulau ini.

Hari ini, Wisnu baru saja menerima gaji pertamanya. Setelah bekerja sebulan penuh, melihat uang hasil jerih payahnya sendiri memberi kepuasan tersendiri.

Dengan uang itu, ia memutuskan membeli sepeda. Pulau ini cukup besar untuk dijelajahi, dan memiliki sepeda akan memudahkannya untuk berkeliling tanpa harus berjalan kaki terus-menerus.

Kamis pun tiba, hari di mana toko roti tutup. Biasanya, ia akan pergi bersama Tama dan Wira, tetapi kali ini kedua temannya memiliki urusan masing-masing dengan keluarga mereka.

Tak ingin melewatkan kesempatan, Wisnu memutuskan untuk lebih mengenal daerah di sekitar tempat tinggalnya.

Mengenakan pakaian santai dan membawa bekal sederhana. Yaitu sebungkus kue dan termos teh, ia mulai mengayuh sepedanya menuju perbukitan di bagian barat pulau. Jalanan yang menanjak terasa cukup menantang, tetapi udara segar dan suara burung-burung yang berkicau membuat perjalanan ini terasa menyenangkan.

Setelah beberapa puluh menit mengayuh, akhirnya ia sampai di puncak bukit.

Dari sini, pemandangan terbentang luas di hadapannya.

Di kejauhan, garis pantai terlihat jelas, dengan lautan biru yang berkilau di bawah sinar matahari. Ombak bergulung-gulung dengan ritme yang tenang, memecah di tepian pasir putih yang membentang panjang. Beberapa kapal nelayan tampak bergerak perlahan di kejauhan, sementara angin laut membawa aroma garam yang khas.

Wisnu duduk di bawah pohon besar, membuka bekalnya, dan meneguk teh hangat sambil menikmati suasana yang begitu damai.

"Indahnya ...." gumamnya, benar-benar takjub dengan keindahan yang ada di depan matanya.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Dari kejauhan, ia mendengar suara langkah kaki yang bergerak di belakangnya.

Awalnya, ia tidak terlalu memperhatikan. Mungkin hanya warga yang juga datang untuk menikmati pemandangan. Tetapi, ketika ia menoleh sedikit, matanya langsung membelalak.

Di antara orang-orang yang datang, ada sosok yang sangat familiar—Putri Vaya.

Jantung Wisnu langsung berdegup kencang.

Refleks, ia segera berjongkok di balik semak-semak terdekat, menahan napas.

"Kenapa aku bersembunyi?" pikirnya dalam hati.

Tetapi, entah mengapa, melihat rombongan itu, ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk langsung menyapa mereka. Sesuatu dalam sikap mereka terasa ... berbeda.

Angin yang tadinya sejuk kini terasa berbeda. Seperti membawa sesuatu yang berat, sesuatu yang seharusnya tidak ada di tempat seindah ini. Wisnu tetap berjongkok di balik semak-semak, menahan napas, matanya terpaku pada sosok Putri Vaya dan sekelompok orang yang menyertainya.

Di hadapan mereka, tiga pria berlutut di tanah, tangan mereka diikat ke belakang. Salah satu bawahan Vaya menekan kepala salah satu dari mereka, memaksanya menunduk dalam posisi yang tidak nyaman.

Salah satu pria mendongak perlahan, wajahnya kotor, penuh debu dan keringat. Matanya memancarkan ketakutan yang begitu nyata, tetapi bibirnya tetap terkatup rapat.

Vaya melangkah maju dengan tenang. Tidak ada jejak keramahan di wajahnya, tidak ada senyum yang biasa ia berikan pada rakyatnya. Mata birunya kini tampak seperti bongkahan es, dingin dan tanpa belas kasihan.

Wisnu mencoba mendengarkan percakapan mereka, tapi terlalu jauh. Suara angin dan gemerisik dedaunan membuat kata-kata yang diucapkan hanya terdengar seperti gumaman samar. Tapi dari bahasa tubuh, ia bisa merasakan ketegangan yang menguar di antara mereka.

Tiba-tiba, salah satu pria yang berlutut itu menggeleng. Ia berkata sesuatu—sesuatu yang terdengar seperti penolakan.

Hening sejenak.

Vaya menatapnya lama. Kemudian, tanpa ragu, ia mengulurkan tangannya ke salah satu bawahannya.

Seseorang dengan cepat menyerahkan sebuah parang besar ke tangannya.

Wisnu merasakan detak jantungnya melonjak.

Tidak mungkin ....

Dengan gerakan yang santai, hampir tanpa beban, Vaya mengangkat parang itu tinggi-tinggi, mengamati pantulan cahaya matahari di atas bilahnya yang tajam. Lalu, dalam satu ayunan cepat—

*CRAK!*

Kepala pria itu terpisah dari tubuhnya dalam sekejap. Darah menyembur ke tanah seperti air mancur, membentuk pola merah gelap di rerumputan hijau. Tubuh tanpa kepala itu jatuh ke samping, kejang-kejang sesaat sebelum akhirnya diam.

Wisnu menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan, menahan suara yang nyaris lolos dari tenggorokannya.

Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia merasa seolah-olah bisa mendengarnya bergema di dalam kepalanya.

Putri Vaya berdiri di sana, sama sekali tidak terlihat terganggu oleh tindakan barusan. Ia mengibaskan parang itu sekali, membuat darah yang menempel pada bilahnya terpercik ke tanah.

Dengan langkah pelan, ia beralih ke dua orang yang tersisa. Angin sudah berhenti berembus dan kini sudah tak ada yang mengganggu Wisnu untuk mendengarkan.

"Jadi, siapa yang ingin bicara sekarang?"

Salah satu dari mereka mulai menangis, tubuhnya bergetar tak terkendali. Wisnu bisa melihat dari ekspresinya bahwa ia berada di ambang kehancuran mental.

Tapi yang satunya ....

Pria terakhir masih tetap diam, meskipun wajahnya kini lebih pucat dari sebelumnya.

Vaya menghela napas pendek, matanya menyipit sedikit—tanda kesabarannya telah habis.

Tanpa peringatan, ia mengayunkan parang itu lagi.

*CRAK!*

Satu kepala lagi jatuh ke tanah, menggelinding perlahan sebelum berhenti di dekat kaki bawahannya.

Yang terakhir akhirnya berteriak—jeritan putus asa yang menggema di udara.

Tapi itu tidak mengubah nasibnya.

Dalam sekali tebasan, hidupnya berakhir.

Hening kembali menguasai tempat itu.

Wisnu tidak bisa bergerak. Tubuhnya terasa mati rasa, pikirannya kosong.

Ia datang ke bukit ini untuk menikmati pagi yang damai.

Tapi kini, ia menyaksikan sesuatu yang tidak akan pernah bisa ia lupakan.

Sosok Putri Vaya yang selama ini ia anggap ramah dan berwibawa, kini terlihat begitu mengerikan.

Begitu menyeramkan.

Begitu mematikan.

Vaya membuang pandangannya ke arah mayat-mayat yang kini tergeletak di tanah, lalu menyerahkan kembali parang itu pada bawahannya.

"Dapatkan informasi dari tubuh mereka. Kalau tidak ada yang berguna, buang ke laut."

Suara itu terdengar begitu biasa, seolah ia hanya membicarakan masalah pekerjaan sehari-hari.

Kemudian, dengan santai, ia berbalik dan mulai berjalan pergi.

Sementara itu, Wisnu masih tersembunyi di balik semak-semak, tubuhnya sedikit gemetar.

Ia tahu ia harus pergi.

Ia tahu ia tidak boleh berada di sini lebih lama lagi. Tapi kakinya terasa seakan tertanam di tanah. Dan di dalam benaknya, hanya ada satu pertanyaan yang berulang-ulang menggema.

"Apa sebenarnya yang terjadi di pulau ini?"

***

Wisnu merasakan jantungnya masih berdegup kencang, keringat dingin membasahi tengkuknya. Tangannya bergetar, matanya tak bisa lepas dari pemandangan mengerikan di hadapannya—tiga tubuh tak bernyawa kini tergeletak begitu saja, darah mereka mengotori rerumputan hijau.

Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri," Ini tidak nyata ... kan?"

Tapi pemandangan itu terlalu jelas. Terlalu nyata.

Wisnu menggelengkan kepala, memaksa pikirannya tetap fokus, "Aku harus pergi dari sini."

Tapi sebelum itu ...

Ia melirik ke arah termos dan bekal rotinya yang tergeletak tak jauh dari tempat ia tadi duduk. Itu bisa menjadi jejak. Bisa saja seseorang melihatnya dan bertanya-tanya.

Dengan hati-hati, ia merayap keluar dari persembunyiannya. Setiap gerakannya terasa seperti mimpi buruk, seolah-olah tanah di bawahnya bisa runtuh kapan saja dan menelannya.

Ia menyambar termos dan kantong rotinya, lalu cepat-cepat menutupinya dengan dedaunan dan ranting kering. Ia menekan tubuhnya ke tanah, memastikan tidak ada yang melihat.

Dan saat itulah ...

*CRAK.*

Sebuah ranting patah di bawah kakinya.

Darahnya langsung membeku.

Salah satu bawahan Vaya yang tengah berjongkok, memasukkan tubuh tanpa kepala ke dalam kantong plastik hitam besar, tiba-tiba berhenti.

Matanya menyipit, kepala menoleh ke arah Wisnu.

Jantung Wisnu seperti berhenti berdetak.

Perlahan, orang itu bangkit. Tangan kanannya meraba pinggangnya, mungkin mencari sesuatu—senjata?

"Lihat ke sana," katanya pelan.

Dua orang lainnya menoleh, mata mereka kini menyapu area semak-semak tempat Wisnu bersembunyi.

Wisnu langsung menahan napas, tubuhnya menegang.

Ia merayap mundur dengan sangat pelan, berusaha mencari semak yang lebih rimbun. Napasnya hampir tak terdengar, tetapi di dalam dadanya, paru-parunya terasa seperti terbakar.

Langkah kaki mendekat.

"Hei, ada sesuatu di sini?"

Seseorang menarik belukar, menggeser dedaunan dengan kakinya.

Wisnu kini benar-benar menempel ke tanah, bersembunyi di balik semak lebat. Satu kesalahan, satu tarikan napas terlalu keras, dan semuanya akan berakhir.

Seseorang berhenti tepat di depan persembunyiannya.

Lalu ... hening.

Detik-detik berlalu begitu lambat, seolah-olah dunia mempermainkannya.

Wisnu hampir bisa merasakan napas orang itu.

"Jangan bergerak ... jangan bergerak ...."

Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, salah satu pria itu menghela napas kasar.

"Ah, tidak ada apa-apa. Mungkin hanya suara binatang."

"Tsk ... Selesaikan saja pekerjaannya, kita sudah membuang terlalu banyak waktu di sini," ujar yang lain.

Langkah kaki pun terdengar menjauh.

Wisnu masih tak berani bergerak.

Dengan mata mengintip dari balik dedaunan, ia melihat tubuh-tubuh itu satu per satu dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Suara kantong itu berdesir saat mereka mengangkatnya, seolah hanya membawa sampah, bukan nyawa manusia yang baru saja dihabisi.

Salah satu dari mereka mengikat ujungnya rapat-rapat, lalu mengayunkannya ke bahunya.

"Bawa ke tebing, kapal akan datang menjemputnya."

Tanpa bicara lagi, mereka bertiga mulai berjalan pergi, membawa kantong-kantong hitam itu menuruni bukit, menghilang ke dalam pepohonan.

Wisnu tetap diam selama beberapa menit setelah mereka pergi.

Baru setelah suara mereka benar-benar lenyap dari kejauhan, ia berani menarik napas panjang.

Tangannya masih gemetar.

Ia menelan ludah.

Pikirannya berkecamuk, "Apa yang baru saja aku lihat?

***

Beberapa menit kemudian, Wisnu sudah mengayuh sepedanya secepat mungkin. Napasnya memburu, jantungnya berdetak kencang seakan ingin melompat keluar dari dadanya. Jalanan berbatu di bawahnya membuat roda sepeda bergetar hebat, tetapi ia tidak memperlambat laju.

Ia hanya ingin segera pulang.

Namun, bayangan tadi terus menghantuinya.

Darah yang mengalir di tanah, mata yang membelalak kosong, kepala yang terpisah dari tubuh, suara parang yang membelah udara sebelum semuanya berakhir dalam keheningan.

Wisnu menelan ludah, perutnya terasa mual.

Tangan kanannya yang menggenggam setang sepeda sedikit gemetar.

"Pulau ini ... bukan hanya tempat yang damai. Ada sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya di baliknya."

**

Di kaki bukit, sebuah mobil hitam berhenti dengan mesin yang menyala pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah kesunyian alam. Mobil itu tampak asing, mencolok di antara jalan tanah berbatu dan rimbunan pepohonan liar yang mengelilinginya. Desainnya elegan, namun memancarkan aura yang mengundang rasa waspada. S Seolah-olah kendaraan itu bukan sekadar alat transportasi, melainkan simbol kekuatan yang tersembunyi.

Di dalam mobil, seorang wanita duduk dengan postur sempurna. Kakinya bersilang, tubuhnya tegak namun tetap terlihat santai. Dia adalah Nona Vaya, putri tunggal kepala suku yang dihormati sekaligus ditakuti. Di tangannya, ia memegang sebuah gelas kaca, menyesap cairan di dalamnya dengan gerakan yang penuh keanggunan. Setiap gerakannya terukur, seolah-olah waktu tunduk padanya.

Di luar, salah satu bawahannya mendekat dengan langkah teratur. Pria itu baru saja kembali dari atas bukit, wajahnya sedikit berkeringat namun tetap tenang. Ia berhenti di samping jendela mobil yang tertutup rapat, membungkuk sedikit sebagai tanda hormat sebelum mengetuk kaca dengan dua ketukan halus.

Vaya membiarkan ketukan itu menggantung di udara, seolah-olah memberi waktu pada pria itu untuk merenungkan posisinya. Kemudian, dengan gerakan lambat, ia menekan tombol untuk menurunkan jendela. Udara sore yang hangat menyelinap masuk, membawa aroma tanah lembab dan dedaunan yang mulai layu. Matanya yang tajam menatap lurus ke bawahannya, menunggu laporan yang pasti akan datang.

"Jejak sudah bersih, Nona," ujar pria itu dengan suara tegas, penuh keyakinan.

Vaya tidak langsung merespons. Ia kembali menyesap minumannya, gerakannya begitu tenang dan terkendali. Tidak ada ketergesaan, tidak ada tanda-tanda bahwa ia merasa terburu-buru. Ia membiarkan keheningan mengisi ruang antara mereka, menciptakan tekanan yang nyaris terasa.

"Apakah ada orang lain di sana?" tanyanya tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh dengan intonasi yang membuat pria itu menegang.

Bawahannya terdiam sejenak, mungkin karena pertanyaan itu terlalu spesifik. Kemudian, dengan kepala tertunduk, ia menjawab, "Tidak, Nona. Tidak ada siapa-siapa selain mereka bertiga."

Vaya tidak langsung bereaksi. Ia menatap pria itu dengan tatapan yang dalam, seolah-olah mencoba membaca setiap detak jantungnya. Ia Kemudian memalingkan wajah, senyum tipis muncul di bibirnya. Bukan senyum yang ramah, melainkan senyum yang dingin, tajam, dan penuh arti.

Indra penciumannya yang tajam telah menangkap sesuatu yang berbeda sejak awal. Bukan aroma tanah lembab, bukan bau besi dari darah yang mengering. Ada sesuatu yang lain—halus, namun jelas. Ada seseorang di sana. Dan bau ini berasal bukan dari penduduk asli.

Kepalanya kemudian sedikit merangsang segala ingatannya. Mencoba mengingat setiap penduduk asing yang ada di Pulau dan bagaimana bau mereka. Namun, entah kenapa dia terfikirkan seseorang.

Dengan gerakan halus, Vaya mengulurkan tangan dan membuka jendela sedikit lebih lebar. Angin sore berhembus lagi, menerbangkan helaian rambut panjangnya yang hitam legam. "Kita pergi," katanya akhirnya, suaranya ringan, hampir seperti nada bicara seseorang yang sedang bersenandung kecil.

Pengawalnya segera memberi hormat dan mundur, sementara mesin mobil mulai bersuara pelan. Saat kendaraan itu melaju, mata Vaya tetap menatap lurus ke depan. Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan. Tapi jelas ... ada sesuatu yang baru saja mulai terbentuk di dalam kepalanya. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.

> B E R S A M B U N G <

> Kaze