Pendatang Dan Takdirnya
Chapter 8 : Festival(1)
Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)
Hari Minggu itu, seluruh pulau tampak lebih hidup dari biasanya. Wisnu melihat jalanan yang biasanya kendaran lewati, kini dipenuhi oleh penduduk yang sibuk berlalu-lalang, mengangkut berbagai barang untuk persiapan Festival Baranthaka. Aroma rempah dan panggangan memenuhi udara, bercampur dengan suara tawa, perintah, dan dentingan alat kerja. Bendera-bendera kain berwarna merah dan hitam berkibar di setiap sudut, memberikan kesan megah namun juga menegangkan.
Di toko roti, suasananya tak kalah sibuk. Tak ada satu pun pelanggan yang datang hari itu, tapi semua roti telah dipesan sejak pagi untuk dikirim ke berbagai titik persiapan festival. Kotak-kotak roti yang dibungkus rapi memenuhi meja dan rak, siap diantarkan. Wisnu, Tama, dan Wira berdiri di depan toko, masing-masing membawa tumpukan pesanan di tangan.
"Yuk, sekalian lihat arena pusatnya," kata Wira sambil tersenyum. Tama mengangguk setuju. "Biar sekalian tahu tempatnya, besok-besok kalau ada yang ngajakin nonton, gak bengong lagi."
Wisnu, yang sejak awal penasaran, akhirnya mengiyakan. Dengan sepeda mereka, mereka berangkat menuju pusat festival, tempat yang menjadi jantung dari acara ini.
Begitu tiba di lokasi, Wisnu terdiam. Pandangannya tertuju pada bangunan megah yang menjulang di hadapannya. Arena itu jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Dindingnya tinggi, terbuat dari batu-batu besar yang disusun dengan kokoh, seakan telah berdiri di sana selama ratusan tahun. Pilar-pilar besar menopang bangunan melingkar itu, Wisnu awalnya menyamakan dengan sebuah stadion di kotanya. Namun ketika ia melihat bagian tengah dari tempat ini, hal ini mengingatkannya pada gambar-gambar 'Colosseum' yang pernah ia lihat di buku sejarah.
Di bagian dalam, tribun-tribun yang bertingkat mengelilingi sebuah lapangan luas yang masih dalam tahap persiapan. Beberapa pekerja sedang memasang kain besar sebagai tenda di beberapa bagian, sementara yang lain menyiapkan panggung tempat para pemuka suku akan duduk. Di bagian tengah, terlihat beberapa senjata tumpul dan kayu panjang yang mungkin digunakan dalam pertarungan nanti.
Ada sesuatu dalam tempat ini yang membuat udara terasa lebih berat. Ini bukan sekadar festival biasa—ini adalah ajang bagi dendam lama untuk diselesaikan, bagi dua suku untuk bertarung di depan ribuan pasang mata. Wisnu menelan ludah. Tiba-tiba, festival ini terasa lebih nyata, lebih berbahaya.
"Seram juga ya," gumamnya pelan. Tama, yang berdiri di sebelahnya, hanya tertawa kecil. "Ya begitulah. Ada yang menantikan acara ini dengan semangat, ada juga yang datang dengan rasa takut."
Wira menepuk bahu Wisnu. "Udahlah, ayo kita antar roti ini dulu. Kalau kelamaan bengong, nanti kita yang kena marah."
Wisnu mengangguk, tapi pandangannya masih terpaku pada arena yang megah dan mengintimidasi itu. Mereka bertiga segera berpencar untuk mengantarkan roti ke berbagai titik. Wisnu mendapatkan tugas untuk mengantarkan pesanan ke bagian dalam arena, tempat persiapan suku Ranaha berlangsung. Dengan hati-hati, ia melangkah melewati lorong-lorong batu yang terasa dingin, membawa beberapa kotak roti di tangannya.
Begitu sampai di tempat tujuan, Wisnu mendapati sekelompok pria dan wanita suku Ranaha tengah beristirahat di salah satu ruangan terbuka. Mereka tampak santai, duduk di atas bangku panjang atau bersandar di dinding, beberapa di antaranya membersihkan senjata latihan mereka. Namun, yang paling mencolok adalah seseorang yang duduk di tengah dengan postur anggun dan penuh kewibawaan—Putri Riana.
Riana menoleh saat melihat Wisnu mendekat, lalu tersenyum kecil. "Oh? Aku ingat kau," katanya santai. "Wisnu, bukan?"
Wisnu sedikit terkejut, tapi ia segera mengangguk. "Iya, Nona Riana. Saya hanya mengantar pesanan roti."
"Ah, jadi toko rotimu juga ikut membantu festival?" Riana bangkit dari duduknya, berjalan mendekat dengan langkah yang ringan namun terkontrol. Ia mengenakan pakaian bertarung sederhana berwarna merah tua dengan sabuk hitam di pinggangnya, kontras dengan penampilan elegannya saat berdebat dengan Vaya beberapa waktu lalu. Kali ini, auranya jauh lebih menekan.
Wisnu mengangguk lagi, meletakkan kotak roti di meja terdekat. "Kami diminta untuk menyediakan makanan bagi yang sedang bekerja di persiapan."
"Bagus, kalian sangat membantu," jawab Riana sambil mengambil sepotong roti dari dalam kotak. Namun, sebelum menggigitnya, ia menatap Wisnu dengan sorot mata tajam yang penuh rasa ingin tahu. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi. Apakah kau tertarik dengan festival ini?"
Wisnu ragu sejenak sebelum menjawab. "Hmm ... sejujurnya, aku baru pertama kali melihat persiapannya dari dekat. Tempatnya jauh lebih besar dari yang aku kira."
Riana tersenyum tipis, lalu duduk kembali di tempatnya semula. "Wajar. Festival ini bukan sekadar hiburan, Wisnu. Ini adalah ajang bagi suku Ranaha dan suku Vahaya untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang terhormat. Daripada perang tanpa akhir, lebih baik semua dendam diselesaikan di sini, di bawah aturan yang jelas."
Wisnu hanya mengangguk pelan. Ia sudah mendengar tentang tujuan festival ini, tapi mendengarnya langsung dari seorang putri suku yang terlibat membuatnya terasa lebih nyata. Saat memperhatikan Riana lebih dekat, ia mulai memperkuat dugaannya tentang sifat sang putri—anggun, berwibawa, tapi tidak seangkuh Vaya. Riana tampak seperti seseorang yang benar-benar memahami tanggung jawabnya dan tidak sekadar menikmati statusnya sebagai seorang putri.
Namun, saat ia mengingat sesuatu, nyalinya sedikit menciut. Riana bukan hanya seorang pemimpin muda yang karismatik. Ia juga seorang petarung. Dan bukan sekadar petarung biasa—ia pernah ikut bertarung dalam Festival Baranthaka dan menang.
Wisnu menelan ludahnya pelan. Ia mencoba membayangkan bagaimana seseorang seperti Riana bertarung di arena, dan entah kenapa, gambaran itu tidak membuatnya merasa lebih nyaman.
"Kenapa kau terlihat tegang?" tanya Riana tiba-tiba, membuat Wisnu sedikit tersentak.
"Oh, tidak ... hanya teringat sesuatu," jawabnya cepat, berusaha terlihat normal.
Riana menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Baiklah. Tapi jangan terlalu cemas. Festival ini memang intens, tapi kalau hanya menonton, kau tidak perlu khawatir."
Wisnu hanya bisa tersenyum kaku. Ya ... tapi bagaimana kalau ia tanpa sadar sudah terseret lebih dalam ke dunia yang seharusnya tidak ia sentuh?
***
Sehari berlalu, dan suasana di pulau itu telah berubah drastis. Sejak pagi, jalanan dipenuhi oleh orang-orang yang bergegas menuju pusat festival. Bendera-bendera dengan lambang masing-masing suku berkibar di sepanjang jalan, sementara pedagang makanan dan pernak-pernik festival mulai membuka lapak mereka.
Di dalam arena utama, tempat duduk telah diatur sesuai dengan tradisi. Di sisi kiri, barisan kursi panjang yang dihuni oleh suku Ranaha, sementara di sisi kanan, suku Vahaya duduk dengan tenang, masing-masing kelompok mengenakan pakaian khas mereka yang mencerminkan identitas suku. Warna merah dan hitam mendominasi sisi Ranaha, sementara biru dan emas menjadi warna khas suku Vahaya.
Di antara dua kelompok besar ini, terdapat kursi-kursi yang disediakan untuk para penduduk luar—orang-orang yang berasal dari luar pulau tetapi telah diakui sebagai bagian dari komunitas melalui token atau tato khas penduduk setempat. Mereka adalah pengamat netral, yang tidak memiliki keterikatan suku namun tetap menjadi bagian dari kehidupan di pulau ini.
Wisnu, yang sejak pagi sudah terbangun karena keributan di luar, berdiri di depan toko roti yang hari ini tutup. Dari kejauhan, ia bisa melihat orang-orang berjalan menuju arena, beberapa membawa senjata kayu atau peralatan latihan lainnya.
Menurut jadwal yang ia dengar, festival tidak langsung dimulai dengan pertempuran resmi. Dari pagi hingga sore, arena dibuka untuk sesi latihan dan pemanasan. Semua orang yang ingin bertarung malam nanti diperbolehkan turun ke arena, menguji kemampuan mereka, atau sekadar membiasakan diri dengan suasana Colosseum raksasa itu.
Bahkan dari luar, Wisnu bisa merasakan atmosfer yang membebani. Teriakan, dentingan senjata yang beradu, serta suara-suara langkah kaki yang berat menggema di udara.
Ia menghela napas panjang.
Sejujurnya, ia tidak terbiasa dengan dunia seperti ini. Ia hanya seorang pria biasa yang bekerja di toko roti. Namun, entah kenapa, langkah kakinya malah bergerak menuju pusat festival, seakan ingin melihat lebih dekat bagaimana segalanya berlangsung.
***
Wisnu tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari ia akan berada di tempat seperti ini. Seorang pria dari kota, yang terbiasa dengan suara klakson mobil, hiruk-pikuk manusia di trotoar, serta gemerlap lampu jalanan, kini berdiri di depan sebuah arena raksasa, menyaksikan sesuatu yang hanya ia lihat di film atau buku sejarah.
Di satu sisi, ia merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang begitu asing tentang semua ini—tentang cara orang-orang menantikan pertarungan dengan penuh semangat, tentang bagaimana dentingan senjata yang beradu tidak dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan, melainkan sebagai hiburan dan bagian dari tradisi. Ini bukan sesuatu yang bisa ditemukan di dunia modern, di mana segala sesuatu dikendalikan oleh aturan hukum.
Namun di sisi lain …
Ada percikan perasaan yang aneh dalam dirinya. Sebuah dorongan yang sulit dijelaskan. Mungkin, ini adalah daya tarik manusia terhadap konflik dan pertarungan. Atau mungkin, ini hanyalah rasa penasaran terhadap sesuatu yang benar-benar baru baginya. Apapun itu, Wisnu menyadari bahwa, jauh di dalam dirinya, ada sedikit rasa antusiasme.
Saat ia akhirnya memasuki arena, matanya segera tertuju pada lapangan luas tempat para peserta mulai berlatih. Lantai tanah yang keras berdebu setiap kali kaki menghentak, dan suara teriakan serta perintah memenuhi udara.
Di sudut arena, ia melihat dua pria tengah beradu dengan pedang kayu. Salah satunya maju dengan cepat, ayunan pedangnya kuat dan tanpa ragu. Lawannya, yang menggunakan perisai bundar di tangan kiri, menangkis dengan cekatan. Bunyi benturan kayu terdengar nyaring, lalu dalam satu gerakan cepat, pria dengan perisai itu berputar, menendang lawannya di perut hingga tersungkur.
Di sisi lain, seorang wanita dengan rambut diikat tinggi sedang berlatih melawan dua lawan sekaligus. Ia memegang sepasang belati kayu, menggerakkannya dengan kelincahan yang hampir sulit diikuti oleh mata. Setiap serangannya cepat dan presisi, menusuk ke arah titik-titik vital meskipun hanya dalam bentuk latihan. Lawan-lawannya berusaha mengepung, tetapi dengan gerakan ringan dan fleksibel, ia berhasil menyelinap keluar dari jebakan mereka.
Wisnu terdiam, terpaku melihat pergerakan mereka. Ini bukan hanya sekadar pertarungan sembarangan. Ada keahlian, ada strategi, ada ketangkasan yang diasah dengan bertahun-tahun latihan.
Tak jauh darinya, seorang pria bertubuh besar sedang melatih beberapa anak muda yang tampaknya baru pertama kali ikut serta dalam festival. Ia memberi instruksi tegas, lalu memperagakan teknik bertahan yang benar. Dengan satu gerakan sederhana, ia menangkis serangan pedang kayu seorang pemuda, lalu meraih kerah bajunya dan membantingnya ke tanah. Debu mengepul saat pemuda itu terjatuh, sementara sang pelatih tertawa.
"Jika kau tidak bisa menahan serangan seperti ini, jangan harap bisa bertahan di arena malam nanti," katanya.
Wisnu menelan ludah.
Meski ini hanya sesi latihan, tetapi atmosfernya begitu intens. Setiap orang yang berlatih di sini tampaknya benar-benar menganggap pertarungan ini serius. Dan di tengah semua itu, Wisnu berdiri, seorang pria biasa dari dunia modern yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal ini.
Namun, meskipun ada sedikit rasa takut, ada juga perasaan yang sulit ia bantah.
Untuk pertama kalinya, ia penasaran. Seperti apa rasanya berada di tengah arena? Namun Wisnu segera menggeleng dan merenungi semuanya. Ia pun berkeliling dan menikmati festival itu.
***
Sore itu, matahari mulai condong ke barat, mewarnai langit dengan semburat jingga yang melukis bayangan panjang di atas tanah. Arena yang luas, yang sebelumnya hanya dipenuhi suara langkah kaki dan perbincangan riuh, kini mulai senyap seiring dengan irama gendang yang menggema dari kejauhan.
Dum... dum... dum...
Ketukan berat itu bergema ke seluruh penjuru arena, ritmenya perlahan tetapi penuh makna, seakan-akan menandai kehadiran sesuatu yang besar. Udara berubah menjadi lebih berat, seolah semua orang menahan napas dalam diam.
Dari sisi kanan, rombongan petinggi suku Vahaya tiba lebih dulu.
Vaya berjalan paling depan, anggun dalam balutan pakaian kebangsawanannya yang berwarna biru tua dengan pola perak yang melambangkan status dan kejayaan keluarganya. Jubahnya menjuntai dengan elegan, dihiasi sulaman motif ombak dan angin, melambangkan kekuatan dan ketahanan suku Vahaya. Mahkota tipis yang melingkar di kepalanya bersinar samar di bawah cahaya senja.
Di sampingnya, seorang gadis kecil melangkah dengan penuh percaya diri—adik perempuan Vaya, yang meskipun baru berusia sepuluh tahun, sudah membawa diri dengan kewibawaan seorang putri. Pakaian yang dikenakannya mirip dengan Vaya, meski lebih sederhana, tetapi tetap menunjukkan garis keturunan mereka yang mulia.
Di belakang mereka, langkah berat bergema dengan irama yang selaras dengan gendang perang.
Sosok yang muncul membuat Wisnu menegakkan tubuhnya secara refleks.
Pemimpin suku Vahaya.
Seorang pria bertubuh besar dengan tinggi hampir dua meter, mengenakan pakaian kebesaran yang menunjukkan kedudukannya. Jubah hitam dengan hiasan emas tersemat di bahunya, sementara sabuk lebar dari kulit hewan langka melingkari pinggangnya. Tidak ada peralatan perang di tubuhnya, hanya kain, sulaman, dan ornamen yang mencerminkan kekuasaan serta kebesaran. Namun, meski tanpa senjata, posturnya yang tegap dan mata tajamnya cukup untuk membuat orang menelan ludah.
Dan dari sisi kiri, rombongan petinggi suku Ranaha memasuki arena.
Kali ini, suara gendang semakin kuat, seolah membangun ketegangan di udara.
Pemimpin mereka berjalan dengan langkah yang tak kalah mantap.
Ayah Riana memiliki postur yang hampir identik dengan pemimpin suku Vahaya—tinggi, besar, dan memiliki kehadiran yang mendominasi. Namun, ada perbedaan yang mencolok. Jika pemimpin Vahaya membawa aura ketegasan dan kebijaksanaan, pemimpin Ranaha tampak lebih liar, lebih tidak terduga, seperti harimau yang mengawasi mangsanya.
Pakaiannya berwarna merah tua, dengan motif yang menyerupai api dan petir, menggambarkan karakter suku Ranaha yang penuh semangat dan keberanian. Di bahunya tersemat mantel tebal dari bulu binatang, menambah kesan garang pada sosoknya.
Di sampingnya, Riana melangkah dengan percaya diri, mengenakan pakaian kebesaran sukunya yang lebih ringan dibanding para pemimpin. Warna merah dan emas menghiasi kain yang membalut tubuhnya, menunjukkan statusnya sebagai putri Ranaha. Kedua adiknya, yang tampak lebih muda darinya, mengenakan pakaian tempur ringan yang dirancang untuk kelincahan, meski hari ini mereka tidak akan bertarung.
Saat kedua kelompok semakin mendekat satu sama lain, udara terasa berubah.
Hening.
Terlalu hening.
Wisnu merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
Sebuah ketegangan yang tak kasat mata menyelimuti arena. Sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rivalitas. Ini adalah sejarah panjang, dendam yang diwariskan turun-temurun, terpendam dalam diam tetapi selalu ada di bawah permukaan.
Ketika kedua pemimpin suku akhirnya berdiri berhadapan, tidak ada kata-kata yang diucapkan.
Hanya tatapan mereka yang berbicara.
Tatapan yang membawa ratusan tahun cerita—konflik, darah, harga diri yang dipertahankan.
Wisnu menelan ludah, merasa dirinya terlalu kecil untuk berada di tengah situasi ini.
Dan kemudian, ketegangan itu perlahan mencair saat musik mulai mengalun.
Tarian tradisional pun dimulai, para penari bergerak dengan anggun di tengah arena, diiringi suara alat musik khas yang menggema ke seluruh penjuru. Meski Festival Baranthaka adalah festival pertempuran, ada pula momen-momen untuk merayakan budaya dan kehormatan masing-masing suku.
Namun, bahkan di tengah keindahan tarian itu, ketegangan tetap terasa.
Matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, dan cahaya obor mulai dinyalakan, menggantikan cahaya alam yang semakin redup. Begitu malam sepenuhnya turun, suasana berubah drastis.
Pukul 7:30.
Acara utama resmi dimulai.
Musik berhenti. Para penari mundur.
Dari kursinya di antara penduduk luar, Wisnu menatap ke tengah arena, menyadari bahwa suasana yang tadinya masih mengandung unsur perayaan kini telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih serius.
Semua mata tertuju ke panggung utama.
Wisnu melirik ke arah tempat Tama dan Wira duduk, tetapi mereka sudah berada di kursi suku Vahaya, sementara ia tetap di tempat duduknya bersama para penduduk luar. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa seperti orang luar di pulau ini.
Dan ketika seorang pria bertubuh besar melangkah ke tengah arena untuk mengumumkan aturan, Wisnu akhirnya benar-benar menyadari satu hal:
Ini bukan hanya festival biasa.
Ini adalah medan pertempuran.
>> B E R S A M B U N G <<
› Kazehiro