Chereads / The Outsider and His Destiny / Chapter 14 - Chapter 14 : Permasalahan baru

Chapter 14 - Chapter 14 : Permasalahan baru

Pendatang Dan Takdirnya

Chapter 14 : Permasalahan baru

Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)

Pagi itu datang dengan tenang. Udara masih sejuk, cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui jendela kamar Wisnu, menciptakan bayangan samar di dinding. Hanya ada suara samar ombak di kejauhan dan kicauan burung yang sesekali terdengar. Tidak ada suara orang-orang beraktivitas seperti biasanya—seakan-akan seluruh pulau masih terjebak dalam sisa-sisa kekacauan semalam.

Wisnu menggerakkan tubuhnya perlahan, merasakan sisa-sisa kelelahan yang masih menempel. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal, membuka layar dengan malas. Notifikasi pesan masuk dari grup chat toko membuatnya mengerutkan dahi.

Wira: "Jadi, kita tetap buka hari ini atau nggak?"

Tama: "Hmm ... setelah kejadian semalam, rasanya aneh kalau langsung buka seperti biasa. Suasana masih berat."

Wira: "Setuju, sih. Lagipula, aku juga masih capek."

Tama: "Kalau gitu, libur aja sehari lagi. Bonus istirahat."

Wira: "Oke, kita kasih tahu bos nanti."

Wisnu menghela napas dan tersenyum kecil. Sehari tanpa pekerjaan berarti ia bisa benar-benar bersantai. Ia meletakkan kembali ponselnya dan membenamkan kepalanya di bantal, memutuskan untuk menarik selimutnya kembali. Toh, tidak ada yang harus ia lakukan hari ini. Dengan nyaman, ia membiarkan dirinya kembali tenggelam dalam tidur yang lebih panjang dari biasanya.

Ketika akhirnya ia bangun lagi, matahari sudah tinggi. Ia mengerjapkan mata, merasakan kantuk yang masih tersisa, lalu perlahan bangkit. Setelah mandi, ia menyiapkan sarapan sederhana—roti dan telur dadar. Sambil menikmati makanannya, ia membuka ponselnya dan mulai menggulir berita terbaru dari situs lokal yang dikelola orang-orang luar pulau.

Berita utama hari itu tentu saja tentang insiden di festival. Namun, isinya terasa lebih datar dibanding apa yang sebenarnya terjadi. Tidak ada detail mendalam, hanya sekadar laporan bahwa festival Baranthaka berakhir lebih cepat dari biasanya karena insiden yang tidak disebutkan secara jelas. Beberapa spekulasi muncul di kolom komentar, tapi tanpa ada konfirmasi dari pihak suku asli, berita itu tetap menggantung tanpa kepastian.

Wisnu menghela napas dan menutup ponselnya.

Hari itu, ia menjalani segalanya dengan santai. Berbaring di kasur, mendengarkan musik, membaca buku yang sudah lama tertunda, dan sesekali membuka media sosial tanpa tujuan yang jelas. Hari benar-benar terasa lambat, tapi justru itulah yang ia butuhkan setelah semua kekacauan yang terjadi.

***

Keesokan harinya.

Pagi yang lebih normal akhirnya datang. Wisnu berangkat ke toko seperti biasa, dan saat ia tiba, Wira serta Tama sudah ada di sana. Mereka menyapa satu sama lain dengan santai, lalu mulai bersiap-siap membuka toko.

Tidak ada satu pun dari mereka yang menyinggung kejadian di festival. Seakan-akan ada kesepakatan tak tertulis bahwa topik itu tabu untuk dibahas. Entah karena mereka tidak ingin mengingatnya, atau karena membicarakannya hanya akan menambah beban yang tidak perlu.

Mereka bertiga hanya fokus pada pekerjaan mereka, menjalankan rutinitas seperti biasa. Pelanggan mulai berdatangan, aroma roti memenuhi ruangan, dan suara tawa kecil dari pelanggan yang berbincang terdengar menghangatkan suasana.

Setelah beberapa hari yang penuh ketegangan, akhirnya segalanya kembali berjalan normal. Wisnu bisa menjalankan tugasnya tanpa gangguan.

Wisnu mengira hari ini akan berlalu seperti hari normal lainnya—bekerja, melayani pelanggan, dan menunggu waktu tutup toko. Namun, dugaannya meleset. Sekarang, ia berdiri di depan meja, menatap seorang pelanggan yang sepertinya tidak benar-benar datang untuk membeli roti.

Vaya duduk dengan anggun di kursinya yang biasa, perlahan menikmati potongan roti dengan cara yang begitu tenang, nyaris seperti seseorang yang sedang menikmati makan siang di sebuah restoran mahal.

Wisnu, yang baru saja mengantarkan pesanannya, berharap bisa segera kembali bekerja. Tapi ada sesuatu dalam ekspresi Vaya yang membuatnya sadar bahwa ia tidak akan bisa pergi begitu saja.

"Lalu? Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanyanya akhirnya, menyembunyikan nada frustrasi dalam suaranya.

Vaya meliriknya sekilas sebelum mengunyah dengan santai. "Tidak ada. Aku hanya ingin kau berdiri di sini."

Dahi Wisnu berkerut. "Lalu?"

Vaya hanya tersenyum halus. Senyum itu bukan sekadar senyum ramah—bukan juga senyum yang bisa dengan mudah diabaikan. Ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang membuat Wisnu merasa seperti sedang dipermainkan.

Rasanya ingin menghela napas panjang, tapi Wisnu menahannya. Lagi-lagi, hari santainya gagal terwujud.

***

Sepuluh menit

Sudah sepuluh menit Wisnu berdiri di tempat yang sama, diam, tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulut Vaya.

Ia sempat melirik ke arah Wira dan Tama, berharap ada alasan untuk pergi dari sini, tapi kedua rekannya jelas memilih untuk tidak terlibat. Tama bahkan pura-pura sibuk membersihkan etalase yang sudah berkilau sejak pagi, sementara Wira hanya mengangkat bahu dari kejauhan.

Sementara itu, Vaya tetap di kursinya. Ia menikmati rotinya perlahan, menyandarkan dagu di telapak tangannya, tampak begitu tenang dan nyaman, seolah-olah pemandangan Wisnu yang berdiri kaku di hadapannya adalah hal yang menghibur.

Wisnu menggertakkan giginya, menahan kesal yang mulai naik ke ubun-ubun.

"Gila. Ini benar-benar buang-buang waktu!"

Akhirnya, setelah merasa tak tahan lagi, ia bersuara. "Nona, kalau Anda tidak benar-benar butuh sesuatu, saya masih ada pekerjaan lain."

Vaya menoleh, menatapnya seolah baru menyadari kehadirannya. "Ah, kau masih di sini?"

Wisnu ingin menjerit. "Masih di sini? Kau yang menyuruhku berdiri di sini!"

Namun, sebelum sempat membalas, Vaya tersenyum. "Bagaimana rasanya tinggal di sini, Wisnu?"

Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba sehingga Wisnu sempat terdiam.

"... Apa?"

"Pulau ini. Kehidupan di sini." Vaya menyilangkan kakinya, lalu menatapnya dengan ketertarikan yang tidak bisa ditebak. "Bagaimana rasanya bagi orang luar sepertimu?"

Wisnu mengerutkan kening. Kenapa tiba-tiba menanyakan ini?

"Entahlah," jawabnya. "Awalnya aneh. Sekarang sudah mulai terbiasa."

Vaya menyandarkan punggungnya ke kursi. "Terbiasa?" gumamnya, seakan-akan sedang mencerna kata itu dengan saksama.

"Ya. Maksudku, ada banyak hal yang masih sulit dimengerti, tapi aku mulai memahami ritmenya. Sejauh ini, aku tidak punya masalah."

"Tidak punya masalah?" Vaya mengulang kata-kata itu, lalu tertawa kecil. "Itu menarik."

Wisnu menatapnya curiga. "Apa maksudnya?"

Vaya mengangkat bahu. "Kau yakin tidak punya masalah, Wisnu?"

Nada suaranya terdengar begitu ringan, begitu halus. Namun, ada sesuatu di dalamnya—sesuatu yang membuat Wisnu merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis.

"Sejauh ini, tidak ada masalah besar," jawabnya hati-hati.

Vaya tersenyum lagi. "Kalau begitu, baguslah." Ia menopangkan dagunya di tangannya lagi, menatapnya dengan mata yang terlihat seperti sedang mengamati sesuatu yang menarik.

"Aku senang kau mulai terbiasa."

Wisnu menelan ludah. Ada sesuatu dalam caranya mengatakannya yang membuat bulu kuduknya meremang.

"Aku memang ingin kau betah di sini."

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi entah kenapa, rasanya seperti peringatan. Seolah-olah ada makna lain yang tersembunyi di baliknya.

Wisnu menghela napas, berusaha menjaga kesabarannya.

"Apa maksud Nona dengan 'kau ingin aku betah di sini'?" tanyanya, mencoba menatap Vaya dengan ekspresi datar, meskipun di dalam dirinya ada kegelisahan yang sulit ia jelaskan.

Vaya tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum samar—senyuman yang terasa lembut, harusnya. "Aku hanya ingin memastikan kau merasa nyaman di sini, Wisnu."

"…Kenapa?"

Vaya berkedip sekali dengan matanya yang polos. "Kenapa tidak?"

Wisnu menggertakkan giginya. Ia sudah cukup lama mengenal Vaya untuk tahu bahwa tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya tanpa alasan. Wanita ini selalu punya maksud terselubung.

Vaya meraih cangkirnya, menyeruput tehnya perlahan. "Lagipula, aku selalu memperhatikan orang-orang yang menarik perhatianku."

Wisnu berkedip. "Menarik perhatianmu?"

"Hmm." Vaya menatap cangkirnya sejenak sebelum kembali menatap Wisnu. "Aku selalu tertarik pada sesuatu yang berbeda. Kau berbeda."

"…Berbeda bagaimana?"

Senyum Vaya melebar sedikit. "Oh, kau tahu. Seorang pria yang tiba-tiba muncul di pulau ini, mencoba beradaptasi dengan kehidupan yang sangat asing baginya. Orang luar yang berusaha memahami dunia yang bahkan tak pernah menganggapnya bagian dari mereka. Itu menarik."

Wisnu merasakan sesuatu yang aneh dalam cara Vaya mengatakannya. Seakan-akan … ia bukan manusia, melainkan sekadar sesuatu yang sedang diamati.

"Aku hanya bekerja di sini," balasnya, berusaha terdengar santai.

"Tapi aku sudah tertarik." Vaya tersenyum lebih lembut, lalu melanjutkan dengan suara yang hampir berbisik, "Dan tentu saja, aku ingin memastikan kau baik-baik saja. Terima kasih sudah menjaga dirimu untukku."

Wisnu membeku.

"…Apa maksudnya?"

Vaya hanya terkekeh kecil. "Tidak apa-apa. Aku hanya senang kau ada di sini, Wisnu."

Sebelum Wisnu bisa mengajukan lebih banyak pertanyaan, Vaya berbalik ke arah Wira dan Tama yang sejak tadi diam, pura-pura sibuk dengan pekerjaan mereka.

"Hei, kalian berdua," panggilnya ringan.

Wira dan Tama langsung menoleh dengan ekspresi waspada. "Eh … ya?"

Vaya menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya tampak santai. "Bagaimana rasanya bekerja bersama Wisnu?"

Tama dan Wira saling berpandangan sebelum akhirnya Wira menjawab, "Uh … biasa saja?"

"Biasa?" Vaya mengangkat alis. "Bukan sesuatu yang spesial?"

Tama lalu menjawab. "Kalau spesial sih, enggak. Dia nggak bikin masalah juga, jadi ya … aman lah."

Vaya mengangguk pelan, lalu menatap Wisnu lagi. "Lihat? Aku senang kau bisa beradaptasi dengan baik."

Wisnu merasa ada sesuatu yang aneh dalam nada suaranya. Seolah-olah ia sedang berbicara bukan tentang seseorang yang memiliki kendali atas dirinya sendiri, tapi lebih seperti … seseorang yang sedang memastikan barang miliknya tetap dalam kondisi baik.

"Jaga dia baik-baik, ya," lanjut Vaya, masih dengan senyum halusnya.

Tama dan Wira kembali bertukar pandangan. "Uh … tentu?" Jawab Wira ragu.

"Bagus." Vaya mengangguk puas.

Wisnu menatapnya dalam diam.

Sesuatu tentang percakapan ini terasa… salah.

Seakan-akan, dalam pikirannya, Vaya sudah menempatkan dirinya di posisi yang lebih tinggi. Seolah ia punya hak untuk berkata bahwa Wisnu harus dijaga dengan baik.

Seolah … Wisnu memang miliknya.

Dan yang paling mengganggu Wisnu adalah … ia tidak bisa membaca maksud Vaya sepenuhnya.

Wanita ini terlalu sulit ditebak. Ia selalu berbicara dalam lapisan-lapisan makna yang sulit dicerna.

Vaya akhirnya menghela napas pelan. Ia lalu bangkit dari tempat duduknya, meraih tas kecilnya dengan anggun.

"Aku rasa itu saja untuk hari ini," katanya dengan nada lembut.

Ia menoleh pada Wisnu, lalu pada Wira dan Tama. "Terima kasih untuk pelayanannya."

Dengan gerakan halus, ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di meja. Jumlahnya lebih dari cukup untuk menutupi makanannya—bahkan terlalu banyak untuk sekadar tip.

Namun, sebelum ada yang bisa mengatakan apa pun, Vaya sudah berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Langkahnya tenang, nyaris tanpa suara, meninggalkan suasana yang terasa ... aneh.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, seolah ada beban besar yang langsung menghilang dari ruangan itu.

Wisnu, yang selama ini berdiri dengan tubuh tegang, akhirnya membiarkan dirinya terjatuh ke kursi dengan lemas. Ia menghela napas panjang dan menutup matanya sesaat, mencoba meredakan ketegangan yang masih tersisa.

"Haadeeh ...." Gumamnya.

Ia menunduk, menatap tangannya sendiri yang terasa sedikit dingin. Selama percakapan tadi, ia harus terus-menerus menjaga ekspresi dan pikirannya agar tidak terseret dalam permainan kata-kata Vaya.

Dan sekarang setelah semuanya selesai ... rasanya seperti baru saja melewati ujian mental yang berat.

Wira dan Tama, yang sejak tadi hanya bisa mengamati dari kejauhan, akhirnya saling melirik sebelum mendekati Wisnu.

Untuk pertama kalinya, tidak ada tawa atau ejekan seperti yang biasanya mereka lakukan setiap kali Wisnu berurusan dengan Vaya.

Sebaliknya, ada sesuatu yang mirip dengan ... simpati di wajah mereka.

Tama akhirnya menyuarakan pikirannya lebih dulu. "Sekarang tampaknya kau benar-benar terjebak di sesuatu yang sulit."

Wira mengangguk setuju. "Iya … biasanya kami cuma bercanda, tapi sekarang kayaknya beneran parah."

Wisnu mengangkat wajahnya, menatap mereka dengan ekspresi putus asa. "Yakaan?" keluhnya. "Ugh, kenapa bisa begini?"

Wira menyilangkan tangan di dadanya, menghela napas. "Aku nggak tahu apa yang terjadi antara kau dan Nona Vaya, tapi … ada sesuatu di matanya tadi. Sesuatu yang..."

"Menyeramkan?" Wisnu menebak.

Wira dan Tama langsung mengangguk bersamaan.

"Yap. Itu."

Mereka bertiga terdiam sejenak, seakan sedang memproses ulang semua kejadian yang baru saja terjadi.

Lalu Tama menepuk bahu Wisnu dengan ekspresi kasihan. "Yah, apapun yang terjadi … selamat berjuang, bro."

Wisnu hanya bisa mendesah dalam-dalam.

"Terima kasih," katanya lemas. "Aku sangat membutuhkannya."

Mereka bertiga tertawa kecil, tapi tidak ada yang benar-benar merasa ringan.

Akhirnya, toko pun tutup, dan satu per satu mereka pulang.

Saat Wisnu mengayuh sepedanya di jalan yang sepi, pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Vaya.

Bukan hanya tentang bagaimana ia berbicara, tetapi juga bagaimana ia menatapnya.

>> B E R S A M B U N G <<

› Kazehiro